Bersamaredup sinar mentari, akhirnya kudapatkan jawaban bahwa Rio bukanlah manusia setengah dewa yang bisa menjelma dan mempunyai kekuatan teleportasi sehingga bisa berpindah tempat secepat sambaran kilat. Ternyata ia hanyalah manusia yang sama denganku, yang memang tinggal sebagai tetanggaku. Cerpen Karangan: Vira Maulisa Dewi.
Postedby Cerita Silat ala Rumah Kayu at 3:05 PM. GULITA malam memeluk ribuan pepohonan yang memenuhi hutan di bibir tebing yang berbatasan dengan sebuah samudera. Mohiyang Kalakuthana melangkah keluar dari pondok kayu yang terletak di hutan tersebut. Beberapa tombak di belakangnya, Kiran mengamati dengan waspada.
ReadJilid 1 from the story Serial Bu Kek Siansu (Manusia Setengah Dewa) - Asmaraman S. Kho Ping Hoo by JadeLiong (Jade) with 9,743 reads. bukeksiansu, kungfu
InformasiTeknologi Paling Update. China sedang bersiap untuk mengambil sampel dari Mars, berhasil melampaui NASA dan ESA
harimau asal mula pencak silat yustica s blog. biografi bastian tito pencak silat garuda sakti. jurus dewa mabuk iks pi kera sakti kudus. resensi cerita silat daftar cersil khu lung tjan id. ilmu silat kanuragan dari wiro sabelng kumpulan jurus. dunia kang ouw pukulan tangan dewa jilid 01. cerita silat manusia setengah dewa eps 5
apa manfaat dari perencanaan usaha budidaya unggas petelur. Akan tetapi Swat Hong tidak mau melayaninya, membuang muka dan melanjutkan langkahnya. Akan tetapi laki-laki itu melompat dan menghadang didepannya sambil bertolak pinggang. "Eitt..... nanti dulu! Berani kau menghina Perwira Malik? Dia bukan hanya lihai dan menembak tepat, juga banyak wanita tergila-gila kepadanya! Dan kau berani memandang rendah?" Swat Hong memandang dengan mata melotot lalu mendengus, "Pergilah!" sambil melangkah terus. "Dan kau laki-laki kurang ajar!" Swat Hong berkata dan sekali dia menggerakan lengannya yang terpegang, dia berbalik sudah memegang pergelangan tangan laki-laki itu dan begitu dia membetot, laki-laki itu jatuh tersungkur mencium tanah! "Aihhh, berani kau memukulku?" Prajurit itu marah sekali dan cepat melompat dan menubruk. Perajurit itu terlempar dan mengaduh-aduh, mukanya membengkak. Melihat ini, lima orang perajurit kawan orang pertama itu menjadi marah dan menerjang maju. "Tangkap, dia tentu mata-mata!" Swat Hong merasa muak sekali dan juga marah. Melihat lima orang itu menerjang dan hendak berlumba menangkap dan merangkulnya, kaki tangannya bergerak dan dalamsegebrakan saja, lima orang itu pun roboh tersungkur dan tidak dapat berlagak lagi karena mengaduh-aduh kesakitan. Tentu saja keadaan menjadi ribut dan banyak anak buah pasukan mengurung, akan tetapi tiba-tiba perwira yang ahli menggunakan anak panah tadi meloncat maju dan menghadik. Setelah orang-orang mundur tidak melanjutkan gerakan mereka untuk mengeroyok, perwira itu membungkuk di depan Swat Hong sambil berkata, "Harap Nona maafkan. Sudah lazim bahwa anak buah pasukan selalu bersikap kasar. Nona tentu bukan orang sini, kalau boleh bertanya hendak ke manakah?" "Hemm..�? pikir Swat Hong. Pantas kalau banyak wanita tergila-gila. Memang perwira yang bernama Malik ini gagah sekali, gagah dan tampan, amat keras daya tariknya terhadap wanita terutama sekali sepasang matanya yang tajam dengan bulu mata panjang lentik dan alis yang tebal itu. Juga dagunya berlekuk dan menambah kejantanannya. Selain tampan dan gagah, juga laki-laki ini pandai bersikap manis terhadap wanita. "Sudahlah, aku pun tidak ingin mencari permusuhan, asal mereka jangan kurang ajar. Bahkan aku ingin menghadap Kaisar untuk membantu perjuangannya. Di manakah aku dapat menghadap Kaisar?" Mendengar ucapan gadis yang cantik jelita dan gagah itu, seketika lenyaplah kemarahan para prajurit. "Aih, kiranya seorang pendekar wanita!" "Tentu tokoh kang-ouw kenamaan!" Perwira Malik menghentikan ribut-ribut itu dan kembali dia tersenyum, manis dan menarik sekali. "Untuk membantu perjuangan, tidak perlu menghadap Sri Baginda, Nona. Tidak mudah menghadap Sri Baginda yang sedang sibuk. Kebetulan di sini juga merupakan markas dan dipimpin Bouw-ciangkun. Banyak pula orang-orang kang-ouw yang telah diterima menjadi sukarelawan. Akan tetapi baru sekarang datang seorang sukarelawati seperti Nona. Ahh, terimalah hormat dan rasa kagumku, Nona. Engkau tentulah yang disebut pendekar wanita dari dunia kang-ouw, bukan?" Swat Hong tidak peduli, yang penting adalah membantu perjuangan untuk membasmi An Lu Shan dan keturunan atau penggantinya. "Dapatkah aku bertemu dengan Bouw-ciangkun?" "Tentu saja. Akan tetapi, perkenankanlah aku memuaskan keinginan hatiku yang sudah terpendam bertahun-tahun untuk menyaksikan kelihaian seorang pendekar wanita dari timur, Nona." Perwira Malik memperlihatkan gendewanya. "Dapatkah Nona mainkan gendewa dan anak panah?" Swat Hong maklum bahwa dia hendak diuji, dan siapa tahu, mungkin perwira ini termasuk seorang di antara para pengujinya. "Senjata ini kurang praktis untuk pertandingan jarak dekat dan terang-terangan." Perwira Malik mengerutkan alisnya, akan tetapi bibirnya tetap tersenyum manis. "Benarkah? Nona, dengan gendewa ini aku dapat merobohkan musuh dalam jarak seratus langkah, biarpun musuh itu menggunakan senajta apa pn untuk melindungi dirinya. Aku dapat melepaskan anak panah terus-menerus dan bertubi-tubi sampai puluhan batang!" "Hemm, mungkin berhasil merobohkan segala burung dan manusia yang bodoh saja." "Wah....!" Malik membelalakkan matanya. "Apakan di dunia ini ada orang yang sanggup menyelamatkan diri dalam jarak seratus langkah dari gendewaku?" "Boleh kaucoba. Aku bersedia." "Eiiiihhh, jangan, Nona! Aku akan menyesal selama hidupku kalau sampai melukaimu, apalagi membunuhmu!" "Tidak perlu khawatir, aku malah akan menghadapi hujan anak panahmu itu dengan tangan kosong!". Orang Han yang pertama kali dirobohkan Swat Hong, kini mendekat dan karena dia maklum akan kelihaian dara itu, kini dia hendak mencari muka dan berkata, "Saudara Malik, jangan memandang rendah seorang lihiap. Dia pasti akan sanggup memenuhi kata-katanya." Atas dorongan dan desakan banyak orang, akhirnya Malik mau juga mencoba kepandaian wanita cantik jelita itu. Dengan tenang Swat Hong melangkah sambil menghitung sampai seratus, langkah pendek-pendek saja, kemudian membalik dan menghadapi Malik dengan mata tak berkedip. "Wah, terlalu dekat....! Terlalu dekat sekali! langkahmu begitu pendek-pendek, Nona. Ini hanyalah lima puluh langkah, tidak ada seratus!" Malik berteriak sambil melangkah mundur sampai lima puluh langkah. Diam-diam Swat Hong memuji kejujuran dan niat baik di hati perwira asing itu. "Terserah kepadamu. Nah, aku sudah siap." katanya. Malik ragu-ragu, mukanya agak pucat. "Tapi...... tapi, setidaknya kau harus membawa pedang untuk menangkis atau sebuah perisai." "Tidak perlu. Seranglah!" Didesak oleh orang banyak, dan memang di dalam hatinya dia juga merasa penasaran sekali, Malik lalu memasang lima batang anak panah di gendewanya, dan masih ada puluhan batang di tempat anak panah yang siap untuk disambar tangan kanan menyusul rombongan anak panah terdahulu. "Nona, siap dan hati-hatilah!" teriaknya dan terdengar suara menjepret ketika tampak lima sinar berturutturut meluncur ke arah Swat Hong, diikuti oleh puluhan pasang mata yang tidak berkedip dan dengan hati penuh ketegangan. Swat Hong melihat betapa lima batang anak panah itu meluncur disekeliling tubuhnya. Tahulah dia bahwa orang itu memang amat hebat ilmu panahnya akan tetapi juga amat lembut hatinya terhadap wanita sehingga sengaja membuat anak panah rombongan pertama menyeleweng. Dia diam saja tidak bergerak membiarkan lima batang anak panah itu lewat, diikuti seruan menahan napas dari semua orang yang sudah merasa ngeri melihat nona itu sama sekali tidak mengelak! Malik membelalakkan matanya. hampir dia tidak percaya. Anak panahnya itu hanya sedikit saja selisihnya dari kulit tubuh wanita itu, namun wanita itu dengan tenang saja berdiri diam tidak bergerak! "Tidak perlu sungkan, bidik yang tepat!" Swat Hong berkata setelah dia merasa yakin bahwa luncuran anak panah itu dapat diikuti dengan pandang matanya sehingga mudah bagi dia untuk menjaga diri. Lima batang lagi anak panah sudah berada di gendewa Malik dengan cepat bukan main dan kembali terdengar suara menjepret ketika lima batang anak panah itu menyambar seperti kilat ke arah Swat Hong. Dara itu melihat betapa lima batang ini menyambar ke arah kakinya semua, maka dia mengerti bahwa Malik masih saja khawatir kalau-kalau mencelakainya, maka dia meloncat dan sekaligus menendang ke bawah sehingga dia bukan hanya mengelak, bahkan berhasil menendang runtuh semua anak panah itu! Malik mengeluarkan seruan kagum dan kini dia pun tidak ragu-ragu lagi akan kehebatan pendekar wanita itu. Anak panahnya meluncur bertubi-tubi seperti hujan derasnya, susul menyusul ke arah tubuh Swat Hong dan dara ini pun memperlihatkan kepandaiannya. Sambil mengelak berloncatan ke sana-sini, tangannya menyambar dan dua batang anak panah ditangkapnya dengan kedua tangannya, lalu dia menggunakan dua batang anak panah itu untuk menangkis semua anak panah yang datang menyambar, kemudian dengan cepat dan tak terduga-duga dia menyambitkan sebatang anak panah yang meluncur cepat ke arah Malik. Malik berteriak kaget dan gendewanya terlepas dari tangan kirinya karena tangan kirinya itu kena sambar sebatang anak panah. Gendewanya terlepas akan tetapi tangan kirinya tidak terluka karena anak panah yang menyambar tangannya itu dilepas dengan cara dibalik sehingga bukan ujung yang runcing yang mengenai tangannya, melainkan ujung belakang yang bulu-bulunya telah dibuang . Malik segera lari menghampiri Swat Hong, memandang penuh kagum, kemudian dia membungkuk sampai dalam sambil berkata, "Duhai....., Nona adalah setangkai bunga di tengah padang pasir! Satu di antara puluhan ribu wanita belum tentu ada yang seperti Nona...... saya merasa kagum dan hormat sekali.......!" Wajah Swat Hong menadi merah. Bukan main hebatnya pujian yang keluar dari mulut pria ini, pujian yang aneh dan istimewa. Akan tetapi sebelum dia menjawab terdengar kaki kuda berderap dan muncullah seorang panglima sebangsa Malik naik kuda. Usianya tentu sudah empat puluhan tahun, tinggi besar dan berwibawa, gagah dan juga tampan, akan tetapi begitu bertemu pandang, Swat Hong merasa tidak suka kepada panglima ini karena pandang mata itu seolah-olah hendak menelanjangi dan sinar mata orang itu seperti dapat menembus pakaiannya! Malik cepat berdiri dengan tegak memberi hormat kepada atasannya. Panglima itu lalu bertanya kepada Malik dalam bahasa mereka sendiri yang tidak dimengerti oleh Swat Hong, dijawab pula oleh Malik. Panglima itu mengangguk-angguk, bicara lagi lalu memutar kudanya pergi dari tempat itu setelah melempar kerling penuh gairah dan kagum ke arah Swat Hong. "Nona, Komandanku tadi bertanya tentang Nona dan menyuruh Nona langsung saja menghadap Bouw-ciangkun untuk melapor. Tentu saja bantuan tenaga seorang yang berkepandaian tinggi seperti Nona amat dihargai dan dibutuhkan. Mari Nona, saya antar." "Kau baik sekali, terima kasih," jawab Swat Hong yang merasa memperoleh seorang sahabat dalam diri perwira yang simpatik ini. "Nama saya Malik, Nona." Swat Hong tersenyum, mengerti bahwa itulah cara yang sopan dari sahabat barunya untuk menanyakan namanya. Mereka memasuki sebuah bangunan besar dan di ruangan dalam, Malik membawa Swat Hong ke dalam sebuah kamar di mana duduk seorang tua berpakaian panglima perang. Orang ini berusia lima puluh tahun lebih, mukanya bulat dan matanya sipit menjadi agak lebar ketika dia memandang Swat Hong yang datang bersama Malik. Setelah memberi hormat, Malik berkata "Nona Han Swat Hong ini ingin menjadi sukarelawati." "Hemm, aku sudah mendengar dari komandanmu. Kau boleh pergi meninggalkan Nona ini di sini," jawab Panglima Bouw dengan sikap angkuh. Menyaksikan sikapnya ini saja Swat Hong sudah merasa kurang senang. Malik memberi hormat, melirik kepada Swat Hong lalu melangkah keluar dengan tegap. Setelah derap kaki Malik tidak terdengar lagi, kamar itu menjadi sunyi sekali biarpun di situ, selain Bouwciangkun dan Swat Hong, masih terdapat empat orang pengawal yang berdiri di sudut kamar seperti arca. Suara Bouw-ciangkun berubah, tidak singkat dan keras seperti tadi, melainkan lunak dan manis. Hal ini membuat Swat Hong makin tidak senang lagi, akan tetapi karena kedatangannya hendak membantu kerajaan melawan pemberontak, bukan hendak berhubungan dengan orang ini, dia tidak banyak cakap, lalududuk. "Kami telah mendengar akan kelihaian Nona yang mendemonstrasikan kepandaian di luar tadi. Kebetulan sekali kedatangan Nona, karena Kaisar memang membutuhkan seorang pengawal wanita untuk menjaga keselamatan keluarga Kaisar. Oleh karena itu, harap Nona menanti di dalam pesanggrahan, kalau kesempatan sudah terbuka, kami akan mengantarkan Nona untuk menghadap Kaisar sendiri." Girang juga hati Swat Hong karena dia lebih senang untuk bekerja dekat dengan keluarga Kaisar daripada bekerja sama dengan para prajurit Kaisar itu. Pula, memang karena merasa bahwa ayahnya adalah masih sedarah dengan keluarga Kaisar maka dia berkeinginan membantu keluarga Kaisar, maka pekerjaan menjadi pengawal untuk melindungi keselamatan keluarga Kaisar amatlah cocok baginya. "Baik, saya akan menanti," jawabnya. Setelah mencatatkan nama Swat Hong, Bouw-ciangkun sendiri lalu mengantarkan dara itu pergi ke pesanggrahan, yaitu sebuah bangunan yang terpencil, berada di pinggir gunung, bangunan yang bentuknya indah dan mungil. Ketika menuju ke bangunan ini, Swat Hong melihat beberapa orang penjaga yang jumlahnya hanya belasan orang akan tetapi senjata mereka aneh, yaitu sebatang pedang yang bengkak-bengkok seperti ular dan memegang perisai yang bentuknya seperti batok kura-kura. "Mereka ini adalah pasukan istimewa, pasukan pengawalku." kata Bouw-ciangkun menjelaskan dengan nada suara bangga ketika Swat Hong memandang mereka itu yang berdiri tegak dan memebri hormat kepada Bouwciangkun dengan gagah. Setelah mereka memasuki pesanggrahan, Bouw-ciangkun melanjutkan, "Mereka terdiri dari orang-orang pilihan, bermacam suku bangsa di barat dan utara." Akan tetapi Swat Hong sudah tidak memperhatikan lagi cerita tentang pasukan pengawal tadi, karena dia sedang memperhatikan keadaan pesanggrahan yang cukup mewah itu. "Rumah ini kosong?" tanyanya. "Memang di kosongkan dan disediakan untuk tamu agung. Karena sekarang tidak ada tamu, maka Nona boleh beristirahat di sini barang sehari dua hari untuk menanti kesempatan Kaisar dapat menerima Nona menghadap. saya akan mengirim dua orang pelayan wanita untuk melayani segala keperluan Nona, dan sekarang juga saya akan berusaha melaporkan kedatangan Nona kepada kaisar." Swat Hong hanya memangguk dan pembesar itu pergi meninggalkannya. Ketika Swat Hong sedang memeriksa keadaan pesanggrahan itu yang ternyata mewah dan lengkap dengan kamar tidur yang indah, masuklah dua orang pelayan wanita membawa perlengkapan dan bahan masakan. "Kami menerima perintah untuk melayani Nona di sini," kata mereka segera ke dapur. Swat Hong merasa tidak enak hatinya. Dia melamar untuk menjadi pejuang membantu Kaisar, akan tetapi dia diterima seperti seorang tamu agung, ditempatkan di rumah mungil dan dilayani dengan istimewa seperti dimanja! Apakah karena dia wanita? Ataukah karena dia memperlihatkan kepandaiannya tadi dan dipilih menjadi pengawal keluarga Kaisar? Dia ingin melihat-lihat keadaan di luar. Akan tetapi baru saja dia meninggalkan pondok itu sejauh belasan langkah, tiba-tiba muncullah tiga orang mengawal istimewa yang bersenjata pedang berbentuk ular dan perisai kura-kura tadi. "Harap Nona jangan meninggalkan pondok . Kami diperintah untuk menjaga pesanggrahan dan kalau Nona memaksa pergi kami harus mengawal Nona." Swat Hong mengerutkan alisnya. Akan tetapi karena maksud itu baik, biarpun dianggapnya tidak ada gunanya, aneh dan menyebalkan, dia tidak menjawab melainkan kembali memasuki pondok, terus ke kamar dan merebahkan diri di atas pembaringan. Dia merasa seperti seorang asing di situ. Tiba-tiba dia tersenyum teringat kepada Malik. Untung ada orang yang simpatik itu. Setidaknya, dia yakin bahwa dia mempunyai seorang sahabat yang boleh dipercaya. Akan tetapi baru saja dia beristirahat di atas tempat tidur yang lunak itu, terdengar suara hiruk pikuk di luar. Swat Hong yang memang selalu merasa tidak enak itu meloncat dan berlari ke luar. Kagetlah dia ketika melihat bahwa yang datang adalah Bouw-ciangkun dan Panglima Arab tinggi besar yang menjadi atasan Malik tadi, diiringkan oleh tujuh orang pelayan pria yang membawa baki tertutup. Begitu berhadapan, Bouw-ciangkun menjura dengan hormat sambil berkata, "Kiong-hi, Nona Han. Kami telah menghadap Kaisar dan karena Beliau masih sibuk, mulai besok lusa Nona boleh menghadap sendiri. Sementara itu, Beliau mengirim kami berdua untuk menemani Nona menerima hidangan yang dikirim dari dapur keluarga Kaisar!" Hati Swat Hong tidak senang dan curiga, akan tetapi karena nama Kaisar disebut-sebut, dia tidak berani menolak. Dia tahu bahwa penolakan hadiah dari Kaisar dapat diartikan penghinaan dan pemberontakan! Banyak dia mengerti tentang peraturan kerajaan, karena selain dia sendiri adalah puteri raja di Pulau Es juga dia banyak membaca kitab-kitab ayahnya tentang penghidupan keluarga Raja di daratan besar. Terpaksa dia membalas dengan menjura penuh hormat, kemudian bersama dua orang panglima itu dia memasuki pondok dan duduk menghadapi meja besar bersama mereka berdua. Setelah hidangan yang lengkap dan masih panas diatur di atas meja dan parapelayan mudur berdiri di sudut, dua orang pelayan wanita muncul melayani mereka makan minum. Bouw-ciangkun memperkenalkan panglima itu sebagai panglima yang menjadi komandan dari pasukan Arab yang membantu. "kami mengandalkan bantuan sahabat-sahabat dari barat ini untuk merampas kembali kota raja." Antara lain Bouw-ciangkun berkata, akan tetapi urusan itu hanya didengarkan sepintas lalu saja oleh Swat Hong yang menghendaki agar pertemuan ini cepat selesai. Dengan tangannya sendiri Bouw-ciangkun lalu mengisi cawan-cawan kosong di depan Swat Hong, Panglima Arab, dan dia sendiri, lalu mengangkat cawan arak sambil berkata, "Mari kita mulai makan minum bersama dengan mengucapkan terima kasih kepada Sri Baginda dengan mengangkat cawan penghormatan untuk kejayaan Sri Baginda Kaisar!" Swat Hong mengangkat cawan dan minum bersama mereka, kemudian Bouw-ciangkun mempersilahkan Swat Hong dan Panglima Arab itu untuk mulai makan. Sambil makan, Bouw-ciangkun dengan gembira menceritakan keadaan mereka, kekuatan yang sedang mereka susun, juga menceritakan kekacauan di kota raja sebagai akibat perebutan kekuasaan di antara para peberontak sendiri. Betapa An Lu Shan dan puteranya tewas dan sekarang Shi Su Beng yang berkuasa juga menghadapi bersaingan dari bekas kawan-kawannya sendiri. "Ha-ha-ha, seperti sekumpulan anjing memperebutkan tulang!" Dia menutup ceritanya sambil tertawatawa. Panglima Arab itu yang diperkenalkan tadi bernama Hussin bin Siddik. Bouw-ciangkun tertawa girang dan melanjutkan makan minum sepuas-puasnya. Setelah kenyang, kedua orang panglima itu berpamit dan sambil tertawa Bouw-ciangkun berkata, "Harap Nona jangan pergi meninggalkan pesanggrahan ini karena siapa tahu tiba-tiba saja Sri Baginda Kaisar telah siap menerima kunjungan Nona. hal itu bisa saja terjadi di siang hari atau di malam hari. Sebaiknya kalau Nona mengaso saja dalam pesanggrahan dan sewaktu-waktu, kalau Sri Baginda menghendaki, aku sendiri atau Panglima Hussin yang akan datang menjemput Nona." Swat Hong mengangguk dan setelah dua orang panglima itu pergi dan meja dibersihkan lalu ditinggal pergi oleh para pelayan, dia lalu minta kepada wanita pelayan untuk menyediakan air. Setelah mandi dan tukar pakaian, Swat Hong kembali beristirahat di dalam kamar yang indah itu. Berada di dalam kamar ini teringatlah dia akan kamarnya sendiri di Pulau Es, kamar yang lebih indah dan lebih menyenangkan lagi. Dia menutup mulut dengan tangan dan menguap..... goyang-goyang kepalanya. Mengapa dia begini mengantuk? Dia menguap lagi. Bukan main! Rasa kantuk sukar dipertahankannya lagi. Aneh sekali! Hari baru menjelang senja, belum malam. Pula habis makan dan mandi, mana bisa mengantuk? Kembali dia menguap dan Swat hong meloncat bangun, duduk sambil memegangi kedua pelipisnya. Ini tidak wajar, pikirnya! Rasa kantuk yang amat hebat dan terbayanglah wajah Panglima Hussin yang mengajaknya minum sampai tiga kali, kemudian terbayanglah dan terdengar lagi kata-kata Bouw-ciangkun yang menyatakan bahwa kalau Kaisar menghendaki, sewaktu-waktu dia atau Panglima Hussin akan datang menjenguknya. Semua ini dilakukan sambil tertawa-tawa dan seakan-akan ada "main mata" di antara kedua orang panglima itu! Dia mengeluh, ingin dia turun membasahi muka denan air, akan tetapi dia tidak kuat, baru saja dia turun, dia sudah terguling ke atas lantai karena kepalanya pening dan Swat Hong sudah tidur di atas lantai dengan pulasnya! Tak lama kemudian, setelah matahari mulai condong ke barat, sesosok bayangan seorang pemuda berkelebat dan mengintai pesangrahan itu dari balik batu-batu gunung. pemuda ini tinggi besar, gagah dan tampan, dengan sebatang pedang di punggungnya, berpakaian sederhana dan matanya bersinar-sinar penuh kemarahan. Pemuda ini adalah Kwee Lun! Bagaimana dia dapat datang di tempat jauh itu? Seperti telah dituturkan di bagian depan, dua tahun yang lalu pemuda ini berpisah dari Swat Hong dan langsung dia pulang ke Pulau Kura-kura di Lam-hai. Tepat seperti dugaannya semula, gurunya, Lam-hai Seng-jin, terheran-heran dan kagum mendengar penuturan muridnya terutama pengalaman muridnya yang bertemu dan bersahabat dengan penghuni Pulau Es! Setelah muridnya selesai menceritakan semua pengalamannya, juga tentang kematian Ouw Soan Cu, gadis Pulau Neraka yang dicintainya dengan suara berduka, kakek itu berkata, "Pengalamanmu sudah cukup, muridku. Sekarang biarlah aku memperdalam ilmumu dan menerima sisa-sisa dari semua kepandaianku. Setelah itu, berangkatlah kau lagi ke daratan besar. Negara sedang kacau balau dilanda oleh para pemberontak. Tenagamu dibutuhkan. Kabarnya kaisar mengungsi ke Secuan, maka sebaiknya kalau kau kelak menyusul ke sana untuk membantu kaisar, jangan membiarkan dirimu terbujuk oleh kaum pemberontak." Demikianlah, Kwee Lun berlatih silat untuk yang terakhir dari gurunya, terutama sekali memperhebat ilmu pedang yang dimainkan bersama dengan kipas di tangan kirinya. Setahun kemudian berangkatlah dia meninggalkan Pulau Kura-kura untuk kedua kalinya, mendarat di daratan besar dan langsung dia pergi ke barat, ke Secuan! Kebetulan sekali dia tiba pada hari itu juga, berbareng dengan datangnya Swat Hong! Hanya bedanya, kalau Swat Hong datang dari timur, adalah Kwee Lun datang dari selatan, akan tetapi mereka memasuki daerah yang sama yaitu yang dikuasai oleh Bouw-ciangkun. Kwee Lun terus melaporkan diri dan langsung diterima sebagai sukarelawan. Dia tidak tahu bahwa pada siang hari itu juga Swat Hong datang dan bertemu dengan perwira Malik dari pasukan Arab yang diperbantukan. Tanpa disengaja, ketika Kwee Lun berjalan-jalan dan bertemu dengan para perajurit Han, bertanya-tanya tentang keadaan, dia mendengar kelakar seorang di antara para prajurit itu. "Wah, enak juga menjadi panglima tentara asing! Selain jaminannya lebih hebat, juga hiburannya lebih luar biasa lagi. Bayangkan saja, dara perkasa yang mengebohkan siang tadi, kabarnya akan diserahkan sebagai hadiah kepada Panglima Hussin!" "Hem, jelita sekali dia!" "Dan masih perawan hijau lagi!" "Akan tetapi ilmu silatnya hebat! jangan-jangan panglima itu akan mampus olehnya!" "Tapi panglima itu terkenal pandai, dan lihat saja Perwira Malik itu, dimana-mana para wanita tergila-gila kepadanya. Agaknya mereka memiliki jimat untuk menundukan hati wanita." Mendengar ini, Kwee Lun mengerutkan alisnya. Tak disangkanya, di tempat seperti ini dia mendengar kan peristiwa yang sepantasnya terjadi di dunia penjahat. Seorang dara dihadiahkan begitu saja! Mendengar bahwa dara itu lihai ilmu silatnya, dia tertarik. "Kalau wanita itu lihai, mana bisa dia dihadiahkan begitu saja?" dia ikut bicara sambil tersenyum. "Aha, kau tidak tahu, kawan. Banyak jalan yang dapat dilakukan oleh Bouw-ciangkun. Dan kabarnya, tidak pernah ada wanita yang dapat melawan apabila dikehendaki oleh Panglima Hussin itu. Apalagi kalau Bouw-ciangkun sudah mengijinkannya, dan dalam hal ini, agaknya Bouw-ciangkun selalu berusaha mengambil hati orang-orang berkulit hitam itu!" Kwee Lun makin tak senang hatinya. Dia mendengarkan dengan teliti dan akhirnya memperoleh keterangan bahwa dara yang hendak dihadiahkan itu kabarnya telah dikurung di dalam pesanggerahan, yaitu rumah kecil terpencil yang oleh para perajurut diberi nama tempat penjagalan perawan! "Hem, semenjak kecil suhu menanamkan sifat pendekar, membela keadilan dan kebenaran kepadaku." Kwee Lun berpikir, "Biarpun sekarang aku menjadi seorang pejuang, tetap aku harus menentang kejahatan, dari siapapun juga datangnya! Dengan pikiran ini, Kwee Lun mulai melakukan penyelidikan dan pada sore hari itu dia sudah mendekati rumah pesanggerahan itu dan menyelinap untuk menyelidiki dari jarak dekat, kalau mungkin memasuki rumah itu dan menolong si gadis yang hendak dijadikan korban. Melihat betapa di empat penjuru terdapat empat orang penjaga yang selalu melakukan perondaan mengelilingi pesanggerahan itu, Kwee Lun bersembunyi dan mengintai. Penjaga-penjaga yang memegang pedang ular dan perisai kura-kura itu kelihatanya bukan penjaga-penjaga sembarangan. Dia harus menanti sampai malam tiba, barulah ada harapan baginya untuk dapat memasuki pesanggrahan itu tanpa diketahui orang. Asal saja dia tidak terlambat, pikirnya. Akan tetapi, tiba-tiba dia melihat seorang perwira Arab yang berkumis rapi datang menghampiri pesanggerahan itu. Empat orang penjaga menghadangnya, mereka bercakap-cakap dan perwira itu dibiarkan oleh para penjaga memasuki pesanggrahan. Hemm, ini agaknya pembesar yang di "hadiahi" gadis itu, pikir Kwee Lun dengan marah sekali. Kalau dia harus menanti lebih lama lagi , mungkin dia akan terlambat. Kebetulan sekali terdapat seorang penjaga meronda di dekat tempat dia bersembunyi, Kwee Lun berseru marah dan dia meloncat dari tempat sembunyinya. Penjaga itu terkejut cepat menarik perisai kura-kura di depan dadanya dan mengangkat pedangnya, siap untuk menyerang. Tubuh Kwee Lun yang meloncat ke atas itu langsung menendang dengan tumit kakikanan di depan. Perisai kura-kura itu ternyata kuat menahan tendangan Kwee Lun, akan tetapi pemegangnya terdorong dan terjengkang bergulingan. Mendengar suara berisik ini, berdatanganlah para penjaga lain dan dalam waktu sebentar saja Kwee Lun terpaksa harus mencabut pedang dan kipasnya, mengamuk dikepung oleh belasan orang penjaga yang bersenjata pedang ular dan perisai kukra-kura itu. Sementara itu, perwira berkumis yang bukan lain adalah Perwira Malik tadi, setelah berhasil meyakinkan para penjaga bahwa dia datang untuk memeriksa apakah dara itu masih berada di pesanggrahan, terkejut mendengar ribut-ribut dan ketika dia menengok, dia melihat seorang pemuda perkasa sedang dikepung para penjaga. Perwira yang cerdik ini menduga bahwa tentu pemuda itu datang untuk menolong Swat Hong, maka dia bergegas memasuki rumah itu. Dua orang pelayan wanita dibentaknya untuk minggir. "Aku harus menjaga dia, ada orang jahat datang! Didorongnya dau pintu kamar dan cepat ditutupnya dari dalam. Melihat Swat Hong rebah terlentang dan tidur pulas di atas lantai, Malik cepat berlutut dan mengeluarkan sebuah botol hijau dari sakunya. "Huh, benar jahat! Mengorbankan siapa saja tanpa pilih bulu!" Gerutunya sambil membuka tutup botol hijau yang cepat dia tempelkan di depan hidungSwat Hong. Tak lama kemudian dara itu terbangun, mengeluh dan merintih, "Aduhh....pening kepalaku....." "Sttt..... Nona Swat Hong...... sadarlah...... aku datang menolongmu......" Malik mengguncang-guncang dara itu. Swat Hong membuka matanya dan terkejut melihat Malik berlutut di dekatnya. Malik kembali mendekatkan botol di depan hidung Swat Hong. Gadis itu memang sudah mempunyai kesan baik terhadap diri Malik, maka dia tidak membantah dan disedotnya botol itu. Tercium bau keras dan dia tersedak lalu berbangkis. "Apa.... apa yang terjadi......?" Swat Hong bertanya, kepalanya masih agak pening. "Lekas kau telan ini...." Malik memberikan sebutir pil hitam. "Engkau telah terkena racun Hashish yang dicampurkan di dalam anggur. Ini obat penawarnya." Teringatlah Swat Hong dan tahulah dia mengapa dia tertidur di lantai. Tanpa bertanya lagi dia lalu menelan pel kecil itu dan benar saja, peningnya hilang dan pikirannya terang kembali. "Nona, aku mendengar bahwa siang tadi kau dijamu oleh mereka. Tahulah aku bahwa kau tentu diberi anggur bercampur hashish. Lekas kau keluar, di luar sedang terjadi pertempuran. Seorang pemuda agaknya datang hendak menolongmu, dia bersenjata pedang dan kipas...." "Kwee Lun.....!" Swat Hong berseru kaget, menyambar pedangnya di atas meja dan hendaklari keluar. "Kau baik sekali, Saudara Malik. Aku berterima kasih kepadamu." "Bukan itu. kau....kau harus lukai aku dengan pedang itu. Kalau tidak, aku akan dihukum mati sebagai pengkhianat." Barulah sadar Swat Hong betapa perwira ini telah menolongnya dengan taruhan nyawa sendiri. "Kau adalah seorang yang amat baik, bagaimana mungkin aku tega untuk melukaimu? Kau sahabatku..... dan ternyata di segala bangasa, ada saja manusianya yang jahat dan baik, tidak ada bedanya dengan bangsa lain. Aku mengerti maksudmu, saudara Malik, nah, biar kurobohkan kau dengan totokan!" Swat Hong bergerak cepat sekali, dan tahu-tahu dua jalan darah di tubuh Malik telah di totoknya dan perwira itu terguling roboh dan tak mampu bergerak karena kaki tangannya menjadi lumpuh, tubuhnya lemas tak mampu bergerak. Swat Hong cepat menyambar botol dan sisa obat penawar, memasukannya di dalam sakunya, kemudian dia menendang meja kursi sampai terpelanting ke kanan kiri sehingga menimbulkan kesan seolah-olah di kamar itu telah terjadi pertempuran, mencabut pedang dari pinggang Malik dan melemparkan pedang di lantai, kemudian dia memegang tangan Malik dan berkata, suaranya terharu, "Selamat tinggal saudara Malik. Sekali lagi terima kasih dan kita takkan bertemu kembali." Hanya dengan bibir dan pandang matanya saja Malik tersenyum penuh kagum, mulutnya hanya dapat berkata, "Kau..... setangkai bunga di padang pasir........" Swat Hong melompat dan berlari ke luar. Dua orang pelayan wanita yang lari mendatangi dia tendang terguling dan menjerit-jerit, kemudian dia terus lari ke luar. Heran juga ketika dia melihat bahwa dugaannya tadi benar ketika mendengar penuturan Malik tentang seorang pemuda bersenjata kipas dan pedang. Kwee Lun telah datang dan mengamuk di luar pesanggrahan! Gerakan pemuda itu hebat bukan main karena memang selama satu tahun dia berlatih dengan tekun. Akan tetapi ternyata para pengeroyoknya juga merupakan pasukan yang terlatih dan memiliki keistimewaan. Bukan hanya senjata mereka yang aneh, yaitu pedang ular dan perisai kura-kura, akan tetapi juga mereka itu membentuk barisan yang kokoh kuat, saling membantu dan banyak menggunakan perisai untuk berlindung, kemudian pedang ular itu meluncur dari depan perisai, persis gerakan seekor kura-kura menyerang dan menyembunyikan kepala di dalam batoknya. Menghadapi kepungan yang ketat ini, Kwee Lun merasa kewalahan juga. Akan tetapi dia mengamuk dengan penuh keberanian dan akhirnya dia dapat membobolkan kepungan dengan jalan berloncatan ke sana-sini, kemudian mendadak dia meloncat melewati kepala pengepung yang berada di belakangnya dan begitu berada di luar kepungan dia berhasil merobohkan dua orang pengeroyok dengan pedang dan kipasnya. Empat belas orang sisa pasukan itu sudah mengepung lagi, akan tetapi mendadak terdengar lengking nyaring dan robohlah empat orang diserang oleh Swat Hong dari luar kepungan. "Kwee-toako, mari kita basmi mereka ini!" seru Swat Hong. Kwee Lun girang bukan main, tak pernah disangkanya bahwa dara yang hendak dijadikan korban itu adalah Han Swat Hong. Dia merasa kecelik juga, karena ternyata bahwa gadis yang akan ditolongnya itu berbalik malah menolongnya! "Kita lari saja, Nona. tidak perlu melawan tentara yang amat banyak!" ";Tidak aku harus bunuh dulu si keparat she Bouw....!" Pada saat itu terdengar suara hiruk pikuk dan berbondong-bondong datanglah pasukan besar dipimpin oleh Bouw-ciangkun sendiri! Melihat Bouw-ciangkun, Swat Hong menjadi marah sekali. Dari mulutnya terdengar suara melengking nyaring dan tubuhnya melesat seperti terbang cepatnya, pedangnya menyambar sebagai sinar kilat ke arah Bouw-ciangkun. panglima ini terkejut, menggerakan pedang menangkis. Terdengar suara berdencing nyaring dan pedang di tangan panglima itu patah disusul robohnya tubuhnya yang berkelojotan karena ternyata lehernya hampir putus terbabat pedang di tangan Swat Hong! Kwee Lun lari mendekat dan mereka sudah dikepung oleh ratusan orang perajurit yang menjadi bengong menyaksikan kematian komandan mereka secara yang sama sekali tidak disangka-sangka itu. Semua orang menduga bahwa tentu nona yang tadinya melamar sebagai sukarelawati dan pemuda yang menjadi sukarelawan ini tentulah mata-mata dari pihak pemberontak! "Tahan semua senjata....!!" Kwee Lun berteriak dan suaranya mengatasi semua keributan itu, semua orang menahan senjata dan memandang kepada pemuda itu dengan marah. Mau bicara apa lagi mata-mata yang sudah membunuh komandan mereka ini? "Saudara-saudara sekalian! Kami berdua bukan mata-mata pemberontak, sama sekali bukan! Bahkan kami adalah musuh-musuh pemberontak. Kami berdua adalah sungguh-sungguh hendak membantu gerakan Sri Baginda Kaisar untuk menghalau pemberontak dari kota raja. Akan tetapi celakanya, Nona Han Swat Hong yang beriktikad baik ini dicurangi oleh Bouw-ciangkun. Sukarelawati yang gagah perkasa ini, yang akan dapat membantu banyak sekali kepada Sri Baginda, oleh Bouw-ciangkun hendak dikorbankan sebagai hadiah kepada panglima Arab, untuk diperkosa! Tentu saja kami melawan kejahatan ini!" "Bunuh.....! Dia telah membunuh Bouw-ciangkun......!" "Jangan percaya hasutan mulut mata-mata pemberontak!" Kini tempat itu penuh dengan perajurit, tidak hanya ratusan, bahkan ribuan banyaknya. Mereka sudah marah semua karena biarpun di antara mereka ada yang dapat memaklumi kebenaran ucapan Kwee Lun, namun kenyataan dibunuhnya Bouw-ciangkun tentu saja menggegerkan dan mengacaukan mereka. Dengan senjata di tangan mereka sudah mengeroyok dua orang itu. "Menyesal tidak berhasil, Nona." "Tidak apa, Toako. Mati di sampingmu membesarkan hati." "Tentu saja, karena engkau seorang yang baik sekali, Kwee-toako." "Kalau begitu, marilah mati bersama!" Pemuda itu dengan wajah berseri sudah siap dengan sepasang senjatanya, mereka saling membelakangi dan saling melindungi. Para perajurit sudah berdesak-desakan hendak menyerbu. Tiba-tiba terdengar suara yang halus dan tenang, namun penuh wibawa, "Harap Cu-wi sekalian tidak menggerakkan senjata.......!" Sungguh ajaib sekali. Biarpun ada di antara mereka yang tidak mempedulikan kata-kata ini dan hendak tetap menyerang, tiba-tiba saja merasa bahwa tangan mereka tidak mampu bergerak! Terdengar seruan-seruan kaget dan heran, dan kini semua mata memandang kepada seorang pemuda yang dengan tenangnya berjalan memasuki kepungan itu, dengan membuka jalan di antara para perajurit. Juga Kwee Lun dan Swat Hong mengeluarkan seruan tertahan. Mereka berdua pun merasa betapa tangan mereka tidak dapat digerakkan! Otomatis mereka pun menoleh dan melihat pula seorang pemuda yang memasuki kepungan itu dengan sikap tenang sekali. Seorang pemuda yang berpakaiannya sederhana, agak kurus, matanya memancarkan sinar yang luar biasa, pemuda yang memandang kepada Swat Hong dengan senyum di bibir. "Su.... Suhenggggg.....!" Tiba-tiba Swat Hong menjerit, pedangnya terlepas dari pegangan dan sambil terisak dia lari menghampiri lalu menubruk pemuda itu yang bukan lain adalah Kwa Sin Liong! "Suheng..... aihhh, Suheng...... Ibuku....." "Tenanglah, Sumoi, tenanglah........" Suara Sin Liong mengandung wibawa yang luar biasa sehingga Swat Hong yang dilanda kekagetan dan keharuan hebat karena sama sekali tidak menyangka bahwa suhengnya masih hidup itu, dapat menenangkan hatinya. "Suheng..... betapa bahagia rasa hatiku! Suheng, jangan kau tinggalkan aku lagi....." "Tidak, Sumoi. Tidak lagi." "Aku cinta padamu, Suheng! Aku cnta padamu!" Tanpa malu-malu Swat Hong meneriakkan suara hatinya ini di tengah-tengah kepungan ratusan, bahkan ribuan orang perajurit! KweeLun memandang semua itu dan dua titik air mata membasahi bulu matanya. Dia merasa terharu, juga girang sekali, girang melihat kebahagian Swat Hong dan sekaligus dia teringat kepada Soan Cu. Dia pun sudah dapat bergerak, melangkah maju dan berkata, "Kwa-taihiap, syukur bahwa engkau masih dalam keadaan selamat. Sungguh aku ikut merasa girang...." Sin Liong tersenyum kepadanya. "Kwee-toako, engkau seorang sahabat yang baik. Simpanlah pedang dan kipasmu, tidak perlu melanjutkan pembunuhan yang tidak ada gunanya ini." Kwee Lun menurut, akan tetapi matanya memandang ragu dan sambil menyarungkan pedang dan menyimpan kipasnya, dia bertanya, "Akan tetapi.... mereka itu....?" Terdengar teriakan-teriakan dari para pengepung. "Tangkap mata-mata musuh!" "Tangkap pembunuh Bouw-ciangkun!" Ribuan orang perajurit sudah bergerak lagi. Swat Hong memegang lengan suhengnya dan Kwee Lun juga mendekati Sin Liong. Betapapun juga, gentar dia menghadapi ribuan orang yang berteriak itu, apalagi dia tidak boleh melawan. Ketenangan Sin Liong membuat dia mencari perlindungan dekat pemuda ini. Sin Liong memegang lengan sumoinya dan terdengarlah suaranya penuh kesabaran dan ketenangan yang wajar, "Cu-wi sekalian tahu bahwa mereka berdua ini bukan mata-mata, dan Cu-wi tahu apa yang telah terjadi. Maka harap Cu-wi perkenankan kami pergi, kemudian sebaiknya melaporkan kepada Sri Baginda apa yang telah terjadi sehingga dapat diambil tidakan tepat, demi ketertiban." Suara ini demikian halus, akan tetapi mengatasi semua teriakan dan anehnya orang-orang itu tidak berteriak-teriak lagi. "Kami hendak pergi sekarang!" Sin Liong memegang lengan Swat Hong dengan tangan kanannya, memegang lengan Kwee Lun dengan tangan kiri, lalu menarik kedua orang itu keluar dari kepungan. Swat Hong dan Kwee Lun melangkah dengan bengong, merasa seperti dalam mimpi saja karena ketika mereka melangkah pergi melalui ribuan orang pasukan itu, tidak ada seorang pun di antara para perajurit yang mencoba untuk menghalangi mereka, bahkan ajaibnya, tidak ada seorang pun yang memandang mereka, seolah-olah para perajurit itu tidak melihat mereka! Dan memang begitulah. Para perajurit itu pun bengong ketika secara tiba-tiba setelah pemuda tampan halus itu berpamit, tiga orang itu tiba-tiba saja lenyap dari situ tanpa meninggalkan bekas! Setelah Sin Liong dan dua orang temannya pergi jauh, barulah gempar di tempat itu dan akhirnya Kaisar memperoleh laporan tentang semua peristiwa yang terjadi. Panglima Hussin dikirim pulang dan pimpinan pasukannya diserahkan kepada Malik! Sementara itu, Sin Liong, Kwee Lun dan Swat Hong pergi meninggalkan Secuan. Ketika mereka tiba jauh dari daerah itu, mereka berhenti dan Swat Hong berkata, "Suheng, mengapa kita meninggalkan Secuan? Aku ingin sekali menjadi sukarelawati, membantu Kaisar dan membasmi pemberontak yang telah mengakibatkan kematian Ibu, kematian Soan Cu dan Ayahnya, bahkan kematian kakek buyutku!" "Benar apa yang dikatakan Nona Swat Hong, Kwa-taihiap. Perjuangan menanti tenaga kita. Marilah kita bertiga membantu kerajaan membasmi pemberontak." Sin Liong menarik napas panjang, memegang tangan sumoinya dan diajak duduk di atas rumput. Swat Hong duduk dekat suhengnya dan memandang wajah suhengnya dengan penuh kagum dan kasih sayang. "Kwee-toako, benarkah engkau tertarik dengan perang, dengan saling bunuh membunuh antara manusia, antara bangsa sendiri itu? Betapa mengerikan, Toako. Menggunakan ilmu silat untuk membela yang lemah, untuk menentang yang jahat masih dapat dimengerti dan masih mending. Akan tetapi bunuh-membunuh hanya untuk membela sekelompok manusia lain saling memperebutkan kemuliaan duniawi, sungguh patut disesalkan. Mereka itu hanya ingin mempergunakan orang lain demi mencapai cita-cita sendiri." "Aih, apa yang dikatakan Suheng memang tepat, Kwee-toako. Ingat saja pengalamanku. Aku jauh-jauh datang untuk menjadi sukarelawati, membantu mereka, akan tetapi belum apa-apa aku sudah akan dikorbankan demi untuk menyenangkan hati panglima asing itu." Swat Hong berkata kemudian dia menceritakan pengalamannya kepada Sin Liong, semenjak mereka berpisah dan dia ditolong oleh kakek buyutnya, sampai dia berpisah dari Kwee Lun meninggalkan ibunya yang menghadapi maut. "Aku tidak berhasil mencari Swi Nio dan Toan Ki yang kutitipi pusaka-pusaka Pulau Es. Maka aku berniat membantu Kaisar sekaligus mencari mereka yang kurasa melarikan diri membawa pusaka-pusaka itu untuk mereka sendiri. Sungguh menggemaskan!" "Jangan tergesa-gesa berperasangka buruk terhadap orang lain, Sumoi. Kelak kita memang harus mencari mereka dan meminta kembali pusaka-pusaka itu untuk kita bawa kembali ke Pulau Es." Kwee Lun juga menceritakan riwayatnya semenjak dia berpisah dari Swat Hong. Kemudian mereka minta agar Sin Liong suka menceritakan riwayatnya. "Bagaimana engkau yang menurut cerita Kakek buyut dilempar ke sumur ular dan ditutup dengan reruntuhan guha, dapat menyelamatkan diri, Suheng?" dan selama ini engkau kemana saja?" "Aku memang nyaris tewas di sumur itu, akan tetapi memang agaknya belum tiba saatnya aku mati, maka batu mustika hijau kepunyaanmu ini telah menolongku, Sumoi." Sin Liong mengeluarkan mustika hijau itu. Swat Hong menerima batu itu dan menciumnya. "Terima kasih, kau telah menyelamatkan Suheng!" katanya girang. Sin Liong lalu menuturkan dengan singkat keadaannya selama dua tahun di dalam sumur ular sampai dia berhasil keluar ketika sumur itu dibongkar oleh Han Bu Ong dan orang-orang kerdil. "Ahh, Ibunya yang mencelakanmu, anaknya yang tanpa sengaja menolongmu!" "Lalu bagaimana kau bisa datang ke Secuan dan menyelamatkan aku dan Kwee-toako?" "Mula-mula aku pergi ke kota raja dan mendengar betapa Ibumu, juga Soan Cu telah tewas di sana, akan tetapi juga bahwa ibu tirimu The Kwat Lin juga tewas pula. Karena aku menduga bahwa peristiwa itu tentu membuat engkau dimusuhi oleh para pemberontak, maka aku yakin bahwa kau tentu membantu Kaisar di Secuan, maka aku segera menyusul ke sini dan kebetulan sekali melihat engkau dan Kwee-toako dikeroyok para perajurit." Sin Liong tidak memberitahukan bahwa sesungguhnya telah terjadi keajaiban pada dirinya sehingga seolah-olah dia tahu bahwa sumoinya berada di Secuan. Seolah-olah apa yang terjadi bukan merupakan rahasia lagi baginya! Tiba-tiba Kwee Lun bertanya nada suaranya hati-hati dan penuh sungkan, "Kwa-taihiap, sejak dulu saya tahu bahwa Taihiap memiliki kepandaian luar biasa. Akan tetapi..... tadi di sana seruan taihiap membuat ribuan orang berhenti bergerak, bahkan aku pun..... tidak mampu bergerak. Kemudian....... ketika kita pergi, terjadi keajaiban, seolah-olah mereka itu sama sekali tidak melihat kita pergi....." Sin Ling hanya tersenyum dan mengangkat pundak tanpa menjawab. "Benar!.. Apa yang telah kau lakukan tadi, Suheng?" Swat Hong juga bertanya. "Tidak apa-apa, Sumoi. Engkau pun melihat sendiri. Kita pergi dari mereka, dan karena tidak ada permusuhan atau kebencian di hatiku, tentu saja mereka pun tidak melakukan apa-apa." Swat Hong memang sejak dahulu sudah tahu akan keanehan watak Suhengnya dan kadang-kadang ucapan suhengnya tidak dimengerti sama sekali, maka jawaban sederhana ini cukup baginya. Tidak demikian dengan Kwee Lun. Pemuda ini menduga bahwa Pemuda Pulau Es itu bukanlah manusia biasa, maka cepat dia berkata, "Kwa-taihaip, jika Taihiap berkenan, saya....... saya mohon petunjuk......" Sin Liong menoleh, memandang. Mereka bertemu pandang dan Sin Liong tersenyum lagi. "Kau sebaiknya pulang saja ke Pulau Kura-kura, Kwee-toako. Dan mengingat engkau suka sekali akan ilmu silat dan aku yakin bahwa engkau tidak akan menggunakan ilmu itu untuk berbuat jahat, maka mungkin aku dapat menambahkan sedikit tingkat ilmumu itu. Harap kau coba-coba mainkan pedang dan kipasmu itu sebaik mungkin." Bukan main girangnya hati Kwee Lun. Dia menjura dengan hormat sambil mengucapkan terima kasih, kemudian dia mencabut pedang dan kipasnya lalu bermain silat di depan Sin Ling dan Swat Hong. Seperti kita ketahui, dari kitab kuno Sin Liong memperoleh ilmu luar biasa, yaitu mengenal semua inti ilmu silat dari gerakan pertama saja. Maka setelah Kwee Lun mainkan jurus-jurus simpanan yang paling lihai dan menghentikan permainan silatnya, Swat Hong bertepuk tangan memuji, sedangkan Sin Liong berkata, "Ada kelemahan-kelemahan di dalam beberapa jurusmu, Toako." Pemuda luar biasa ini lalu memberi petunjuk kepada Kwee Lun yang menjadi terheran-heran, kagum dan girang sekali. Petunjuk-petunjuk itu merupakan penyempurnaan dari semua ilmu menerima dan melatih petunjuk-petunjuk ini dan demikianlah, sampai hampir sebulan lamanya, tiga orang ini melakukan perjalanan ke timur dan disepanjang perjalanan, Kwee Lun menerima petunjuk-petunjuk dari Sin Liong, bahkan Kwee Lun menerima pelajaran latihan untuk menghimpun tenaga sinkang. Selama sebulan itu, Kwee Lun memperoleh keyakinan bahwa pemuda Pulau Es ini benar-benar bukan seorang manusia biasa. Tidak tanduknya, bicaranya, pandang matanya, dan betapa pemuda itu dapat mengerti ilmu silatnya lebih sempurna daripada dia sendiri! Maka ketika tiba saatnya berpisah, dia tanpa ragu-ragu menjatuhkan diri berlutut di depan Sin Liong! "Harap jangan berlebihan, Kwee-toako," kata Sin Liong. "Wah, Toako. Apa-apaan ini?" Swat Hong juga mencela. "Kwa-taihiap, saya boleh dibilang adalah murid Taihiap. Dan Han-lihiap, agaknya belum tentu selama hidupku akan dapat bertemu lagi dengan Ji-wi Kalian. Perkenankan saya, Kwee Lun, menghaturkan terima kasih dan selama hidup saya tidak akan melupakan Ji-wi!" "Hushhhh..... sudahlah, Toako. Kita berpisah di sini. Engkau ke selatan dan kami akan terus ke timur. Mari, Sumoi, kita lanjutkan perjalanan," Swat Hong beberapa kali menengok dan melihat Kwee Lun masih berlutut dengan mata basah air mata! Dia pun terharu, akan tetapi tidak lagi merasa sengsara seperti ketika dia berpisah dari Kwee Lun hampir dua tahun yang lalu, kini Sin Liong, suhengnya, pria yang dicintainya, berada di sampingnya. Tidak ada lagi perkara apa pun di dunia ini yang dapat menyusahkan hatinya lagi! Sudah terlalu lama kita meninggalkan BuSwi Nio dan Lie Toan Ki, dua orang muda yang dipercaya oleh Swat Hong untuk menyelamatkan pusaka-pusaka Pulau Es. Benarkah dugaan Swat Hong bahwa mereka itu bertindak curang, mengangkangi sendiri pusaka-pusaka yang secara kebetulan terjatuh ketangan mereka itu? Sama sekali tidak demikian dan mari kita mengikuti perjalanan mereka semenjak mereka meninggalkan kota raja. Malam hari itu, mereka berhasil lolos keluar dari kota raja dan semalam suntuk terus melarikan diri ke barat. Pada keesokan harinya, dengan tubuh lesu dan lelah, mereka sudah tiba jauh dari kota raja dan selagi mereka hendak mengaso, tiba-tiba terdengar derap kaki kuda dari belakang. Mereka terkejut dan cepat menyelinap ke dalam semak-semak untuk bersembunyi. Akan tetapi, empat orang yang menunggu kuda itu sudah melihat mereka dan begitu tiba di tempat itu, mereka meloncat turun, mencabut senjata dan seorang di antara mereka berseru, "Dua orang pengkhianat rendah, keluarlah!" Dari tempat persembunyian mereka, Swi Nio dan Toan Ki mengenal empat orang itu. Mereka adalah bekas-bekas teman mereka ketika masih membantu An Lu Shan dahulu di masa "perjuangan". Karena mengenal mereka dan tahu bahwa mereka itu adalah orang-orang kang-ouw yang dahulu juga membantu pemberontakan karena sakit hati kepada kelaliman Kaisar, Swi Nio dan Toan Ki meloncat keluar. Liem Toan Ki tersenyum memandang kepada kakek berusia lima puluh tahun yang memimpin rombongan empat orang itu. Kakek ini bernama Thio Sek Bi, murid dari seorang tokoh kang-ouw kenamaan, yaitu Thian-tok Bhong Sek Bi! Adapun tiga orang yang lain adalah orang-orang kang-ouw yang agaknya tunduk kepada Thio Sek Bi ini, namun menurut pengetahuan Toan Ki, kepandaian mereka tidaklah perlu dikhawatirkan. Hanya orang she Thio ini lihai. "Thio-twako, kita sama mengerti bahwa perjuangan kita hanya untuk menghalau Kaisar lalim. Urusan kami di istana The Kwat Lin sama sekali tidak ada hubungannya dengan urusan perjuangan. Harap Toako tidak mencampuri urusan pribadi dan suka mengalah, membiarkan kami pergi dengan aman." "Ha-ha-ha-ha! Liem Toan Ki, enak saja kau bicara! Setelah berhasil memperoleh pusaka-pusaka keramat, mau lolos begitu saja dan melupakan teman! Kami berempat tentu akan menerima uluran tanganmu yang bersahabat kalau saja persahabatan itu kau buktikan dengan membagikan sebagian pusaka itu. Demikian banyaknya, buat apa bagi kalian? Membagi sedikit kepada kawan, sudah sepatutnya, ha-ha!" Thio Sek Bi berkata sambil menudingkan senjata toya ditangannya ke arah punggung Toan Ki, di mana terdapat buntalan pusaka yang dititipkan kepadanya oleh Swat Hong. "Ya, sebaiknnya bagi rata, bagi rata antara teman sendiri, Saudara Liem Toan Ki dan Nona Bu Swi Nio!" kata orang ke dua sedangkan teman-temannya juga mengangguk setuju. Toan Ki terkejut. Mengertilah dia bahwa tentu empat ini malam tadi ikut mengepung dan mereka mendengar penitipan pusaka itu oleh Swat Hong , maka mereka lalu diam-diam mengejar sampai di hutan ini. "Hem, saudara-saudara. Kalau kalian tahu bahwa ini adalah pusaka tentu kalian tahu pula bahwa ini bukanlah milikku, dan aku hanya dititipi saja dan tidak berhak membagi-bagikan kepada siapapun juga." "Ha-ha-ha! Lagaknya! Siapa mau percaya omonganmu? Pusaka-pusaka dari Pulau Es yang hanya dikenal di dunia kang-ouw sebagai dalam dongeng telah berada di tangan kalian dan kalian benar-benar tidak menghendakinya? Bohong!" kata Thio Sek Bi sambil tertawa mengejek. "Bohong atau tidak, apa yang dikatakan oleh Ki-koko adalah tepat! kami tidak kan membagi pusaka kepada kalian atau siapapun juga. Habis kalian mau apa?" Bu Swi Nio membentak sambil mencabut pedangnya. "Ha-ha, wah lagaknya! Kalau begitu, pusaka itu akan kami rampas dan kalian berdua, mati atau hidup, akan kami seret kembali ke kota raja!" Kata Thio Sek Bi sambil memutar toyanya, diikuti oleh tiga orang kawannya. Swi Nio dan Toan Ki menggerakan senjata dan melawan dengan mati-matian. Ilmu toya yang dimainkan oleh Thio Sek Bi amat hebat dan aneh karena dia adalah murid dari Thian-tok. Thian-tok terkenal sebagai seorang ahli racun dan sebagai pemuja tokoh dongeng Kauw-cee-thian Si Raja Monyet, maka yang paling hebat di antara ilmu silatnya adalah ilmu silat toya panjang yang disebut Kim-kauw-pang seperti senjata tokoh dongeng Kau-cee-thian sendiri! Muridnya ini, biarpun senjatanya toya, namun dimainkan dengan gerakan yang amat aneh dan sebentar saja Toan Ki sudah terdesak olehnya. Namun, Liem Toan Ki adalah seorang murid Hoa-san-pai yang memiliki dasar ilmu yang bersih dan kuat. Selain itu, dia sudah mempunyai banyak pengalaman, bahkan tidak ada yang tahu bahwa dia adalah murid Hoa-san-pai karena selain dia tidak pernah mengaku karena takut membawa-bawa nama Hoasan- pai dengan pemberontakan, juga ilmu silatnya sudah dia campur dengan ilmu silat lain sehingga tidak kentara benar. Dengan gerakan pedang yang indah dan cepat, dia dapat menjaga diri dari desakan toya di tangan Thio Sek Bi. Di lain pihak, Swi Nio yang menghadapi pengeroyokan tiga orang itu, tidak mengalami banyak kesulitan. Wanita muda ini pernah digembleng oleh The Kwat Lin, sedikit banyaknya telah mewarisi ilmu yang dahsyat dari wanita itu, maka kini dikeroyok oleh tiga orang lawan yang tingkatnya dibawah dia, tentu saja dia dengan mudah dapat mempermainkan mereka. Terdengar Swi Nio mengeluarkan suara melengking berturut-turut seperti yang biasa dikeluarkan oleh The Kwat Lin, dan tiga orang lawannya roboh berturut-turut dan terluka parah, tidak mampu melawan lagi. Sambil melengking keras, Swi Nio meloncat dan membantu kekasihnya yang terdesak oleh toya Thio Sek Bi. "Cring! Tranggggg......!" Swi Nio terhuyung, akan tetapi Thio Sek Bi merasa betapa telapak tangannya panas. Liem Toan Ki tidak menyia-nyiakan kesempatan itu, menubruk maju dan memutar pedangnya kemudian dibantu oleh kekasihnya dia terus mendesak sehingga permainan toya dari murid Thian-tok itu menjadi kacau. Akhirnya, tiga puluh jurus kemudian, robohlah Thio Sek Bi, lengan kanannya terbacok dan terluka parah, juga pundak kirinya terobek ujung pedang Swi Nio. "Lekas.....! Kita pakai kuda mereka!" Liem Toan Ki berkata kepada kekasihnya. Swi Nio menyambar kendali dua ekor kuda terbaik, sedangkan Toan Ki lalu mencambuk dua ekor kuda yang lain sehingga binatang-binatang itu kabur ketakutan. Kemudian mereka meloncat ke atas punggung kuda rampasan itu dan membalapkan kuda meninggalkan tempat itu. "Mestinya mereka itu dibunuh, akan tetapi aku tidak tega melakukannya," kata Toan Ki. "Benar, belum tentu mereka itu jahat." "Moi-moi, berhenti dulu," tiba-tiba Toan Ki berkata. Swi Nio menahan kudanya dan melihat kekasihnya seperti orang bingung. "Tidak baik kalau kita menuruti permintaan Nona Han Swat Hong pergi ke Awan Merah." Bu Swi Nio mengerutkan alisnya dan memandang kepada kekasihnya dengan penuh selidik. Selama ini, dia selain mencinta, juga kagum dan percaya penuh kepada kekasihnya yang dianggapnya seorang pria yang gagah perkasa dan patut dibanggakan. Akan tetapi sekarang dia memandang penuh curiga. jangan-jangan kekasihnya juga ketularan penyakit seperti empat orang tadi, menginginkan pusaka Pulau Es! Biarpun dia sendiri belum pernah membuka-buka pusaka-pusaka itu, namun dia maklum bahwa pusaka-pusaka Pulau Es yang berada di tangan gurunya adalah pusaka yang tak ternilai harganya, benda keramat yang tentu mengandung ilmu-ilmu mukjizat! Mendengar nada suara kekasihnya, Toan Ki mengangkat muka memandang. Mereka bertemu pandang dan Toan Ki tersenyum, memegang tangan kekasihnya dan mencium tangan itu. "Ihhhh! kau berdosa padaku, memandang penuh curiga seperti itu!" katanya tertawa. "Tidak, Moi-moi, tidak ada pikiran yang bukan-bukan di dalam hatiku. Aku hanya teringat akan bahaya besar kalau kita ke Awan Merah. Thio Sek Bi tadi adalah murid Thian-kok, sedangkan Thian-kok adalah suheng dari Puncak Awan Merah di Tai-hang-san! Kalau murid dari Sang Suheng seperti Thio Sek Bi tadi, apakah kita dapat mengharapkan sute akan lebih baik? Jangan-jangan kita seperti ular-ular menghampiri penggebuk!" "Sialan! Kau samakan aku dengan ular? Koko, kalau begitu, bagaimana baiknya sekarang?" Swi Nio menghentikan kelakarnya karena menjadi khawatir juga. "Swi-moi, tugas yang kita pikul bukanlah ringan. Apalagi karena agaknya sudah banyak yang tahu bahwa kita berdualah yang memegang pusaka-pusaka Pulau Es, maka kurasa langkah-langkah kita tentu akan dibayangi orang-orang kang-ouw yang ingin merampas Pusaka Pulau Es. Ke mana pun kita pergi, kita tentu akan dicari oleh mereka." Swi Nio menjadi pucat. Baru dia sadar betapa berat dan berbahaya tugas mereka. "Aihh, kalau begitu bagaimana baiknya?�? "Tidak ada jalan lain kecuali berlindung ke Hoa-san. Aku akan minta bantuan Hoa-san-pai agar suka menerima kita bersembunyi di sana dan menyembunyikan pusaka di sana. Hanya Hoa-sa n-pai saja yang dapat kupercaya dan kiranya tidak sembarangan orang berani main gila di Hoa-san-pai." "Engkau benar, Koko dan aku setuju sekali. Akan tetapi, bagaimana nanti kalau yang mempunyai pusaka ini menyusul kita ke Puncak Awan Merah dan tidak mendapatkan kita di sana?" "Lebih baik begitu dari pada mendapatkan kita di sana tanpa pusaka lagi, atau mendengar bahwa kita tewas dan pusaka dirampas orang! Sebagai orang-orang yang sakti, tentu mereka akan dapat mencari kita atau menduga bahwa aku berlindung ke Hoa-san-pai. Mari kita berangkat, Moi-moi, hatiku tidak enak sebelum kita tiba di Hoa-san." Demikianlah, dua orang itu lalu bergegas melanjutkan perjalanan ke Hoa-san. Setelah tanpa halangan mereka tiba di bukit itu, Toan Ki mengajak kekasihnya langsung menghadap ketua Hoa-san-pai yang terhitung twa-supeknya sendiri yang tidak pernah dijumpainya. Setelah bertemu dengan Kong Thian Cu, ketua Hoa-san-pai pada waktu itu, seorang kakek tinggi kurus yang bersikap lemah lembut dan rambutnya sudah putih semua, serta merta kedua orang muda itu menjatuhkan diri berlutut. "Teecu Liem Toan Ki menghaturkan hormat kepada Twa-supek," kata Toan Ki. "Teecu Bu Swi Nio menghaturkan hormat kepada Locianpwe," kata Swi Nio penuh hormat. Kakek itu mengangguk-angguk. "Duduklah dan bagaimana engkau dapat menyebut pinto sebagai Twa supek, orang muda?" "Teecu adalah murid dari Suhu Tan Kiat yang membuka perguruan silat di Kun-min dan menurut Suhu, katanya beliau adalah sute dari Twa-supek yang menjadi ketua di Hoa-san-pai, sungguhpun Suhu berpesan agar teecu tidak menyebut-nyebut nama Hoa-san-pai kepada siapapun juga." Kakek itu kelihatan terkejut, lalu menarik napas panjang, mengelus jenggotnya dan kembali mengangguk-angguk. "Tan-sute memang murid Suhu, akan tetapi sayang, pernah dia membuat mendiang Suhu marah dan mengusirnya. Padahal bakatnya baik sekalli. Kiranya dia membuka perguruan silat? Dan dia pesan agar muridnya tidak membawa nama Hoa-san-pai? Bagus, ternyata dia jantan juga. Di manakah dia sekarang dan bagaimana keadaannya?" "Suhu telah tewas dalam keadaan penasaran, difitnah pembesar sebagai pemberontak dan dijatuhi hukuman mati." "Karena itulah maka teecu sebagai muridnya yang juga menderita karena orang tua teecu juga menjadi korban keganasan pembesar pemerintah, lalu ikut berjuang bersama An Lu Shan, kemudian setelah berhasil tecu mengundurkan diri karena teecu tidak menghendaki kedudukan apa-apa. Apalagi melihat betapa An Goanswe menerima bantuan orang-orang dari kaum sesat, maka teecu mengundurkan diri." "Bagus, baik sekali engkau mengambil keputusan itu, karena biarpun engkau tidak menyebut nama Hoa-san- pai, namun pinto akan ikut merasa menyesal kalau ada orang yang mewarisi kepandain Hoa-san-pai mempergunakan kepandaian itu untuk urusan pemberontak. Sekarang engkau bersama Nona ini datang menghadap pinto ada keperluan apakah?" "Teecu datang untuk mohon pertolongan Twa-supek. Nona ini adalah tunangan teecu, dia puteri dari mendiang Lu-san Lojin." "Siancai....! Lu-san Lojin sudah meninggal? Pinto pernah bertemu satu kali dengan ayahmu, Nona. Seorang yang gagah perkasa!" Kemudian kakek ini menoleh kepada Liem Toan Ki dan bertanya, "Pertolongan apakah yang kalian harapkan dari pinto?" Dengan terus terang tanpa menyembunyikan sesuatu Liem Toan Ki lalu menceritakan tentang penyerbuannya bersama para penghuni Pulau Es, betapa kemudian puteri Pulau Es telah menitipkan Pusaka Pulau Es kepada mereka berdua, kemudian betapa mereka dihadang orang jahat yang hendak merampas pusaka dan mereka mengambil keputusan untuk bersembunyi di Hoa-san-pai. Kakek itu menjadi bengong mendengar penuturan panjang lebar itu, beberapa kali memandang ke arah buntalan di punggung Toan Ki dan memandang wajah mereka berdua seperti orang yang kurang percaya. "Siancai.... kalau tidak melihat wajah kalian berdua yang agaknya bukan orang gila dan bukan pembohong, pinto sukar untuk percaya bahwa kalian telah bertemu bahkan bertanding bahu-membahu dengan orang-orang Pulau Es! Pinto kira bahwa nama Pulau Es hanya terdapat dalam dongeng belaka." "Karena teecu yakin bahwa tentu orang-orang di dunia kang-ouw akan saling berebut untuk merampas pusaka-pusaka ini, maka teecu berdua mengambil keputusan untuk berlindung di Hoa-san-pai sampai yang berhak atas pusaka-pusaka itu datang mengambilnya." Sampai lama kakek itu termenung dan menundukan kepalanya, dipandang dengan hati gelisah dan tegang oleh Toan Ki dan Swi Nio. Akhirnya kakek itu mengangkat mukanya memandang dan berkata, suaranya bersungguh-sungguh. "Selamanya Hoa-san-pai menjaga nama dan kehormatan sebagai partai orang-orang gagah. Entah berapa banyak anak murid Hoa-san-pai tewas dalam mempertahankan kebenaran dan keadilan, bahkan ada pula yang tewas tanpa pinto ketahui apa sebabnya dan di mana tewasnya seperti Ke-esan Ngo-han, lima orang murid pinto yang dahulu bertugas melindungi Sin-tong....." Tiba-tiba Swi Nio mengeluarkan teriakan tertahan dan ketika kakek itu memandang kepadanya, dia cepat berkata, "Mendiang Subo adalah bekas ratu Pulau Es yang menyeleweng dan bersekutu dengan Kiam-mo Cai-li Liok Si memberontak kepada pemerintah. Pernah teecu mendengar penuturan Subo ketika menceritakan kelihaian Kiam-mo Cai-li bahwa Kee-san Ngo-hohan terbunuh oleh Kiam-mo Cai-li itu." Ketua Hoa-san-pai itu kelihatan terkejut dan sinar matanya menjadi keras, "Hemm, kiranya iblis betina itu yang membunuh murid-murid pinto....! " "Akan tetapi iblis itu telah tewas di tangan Nona Han Swat Hong puteri Pulau Es yang menitipkan pusaka kepada teecu berdua, Twa-supek," Toan Ki berkata. Kakek itu mengangguk-angguk dan mendengarkan penuturan mereka berdua tentang penyerbuan hebat di kota raja, di dalam istana dari The Kwat Lin, bekas Ratu Pulau Es yang minggat dan melarikan Pusaka-pusaka Pulau Es itu. "Kalau begitu, sudah sepatutnya kalau Hoa-san-pai membantu para penghuni Pulau Es. Kalian boleh tinggal di sini dan biarlah Hoa-san-pai yang melindungi kalian dan pusaka-pusaka itu sampai yang berhak datang mengambilnya." "Sebelumnya teecu berdua menghaturkan banyak terima kasih atas kebijaksanan dan kemuliaan hati Twa-supek. dan teecu ingin mengajukan permohonan ke dua......" Kakek itu tersenyum. "Permohonanmu yang paling hebat, menegangkan dan berbahaya telah pinto terima dan urusan pusaka ini hanya kita bertiga saja yang mengetahuinya, tidak boleh kalian bocorkan keluar agar tidak menimbulkan keributan, sekarang, ada permohonan apa lagi yang hendak kau kemukakan?" "Teecu...... mohon .....karena teecu berdua sudah tidak mempunyai keluarga lagi, dan teecu berdua sudah cukup lama bertunangan, maka.... teecu mohon berkah dan doa restu Twa-supek untuk menikah di sini." Toan Ki yang hidupnya sudah penuh dengan segala macam pengalaman hebat itu, tidak urung tergagap ketika mengucapkan permintaan ini, sedangkan Bu Swi Nio menundukkan mukanya yang menjadi mereh sekali. Kong Thian-cu tertawa bergelak, lalu berkata, "Pernikahan adalah peristiwa amat menggembirakan. Tentu saja pinto suka sekali memenuhi permintaan ini. Liem Toan Ki, engkau adalah murid Hoa-san-pai pula, tentu saja engkau berhak untuk menikah di sini, disaksikan oleh semua murid Hoa-san-pai yang berada di sini." Demikianlah, Pusaka-pusaka Pulau Es yang di rahasiakan itu disimpan oleh Kong Thian-cu sendiri di dalam kamar pusaka yang tersembunyi, tidak ada anggauta Hoa-san-pai lain yang mengetahuinya dan sebulan kemudian diadakanlah perayaan sederhana namun khidmat untuk melangsungkan upacara pernikahan antara Liem Toan Ki dan Bu Swi Nio. Pada malam pertama pernikahan itu Bu Swi Nio menangis di atas dada suaminya, menangis dengan penuh keharuan, kedukaan yang bercampur dengan kegembiraan mengenangkan semua pengalamannya, kematian ayahnya dan kakaknya, malapetaka yang menimpa dirinya ketika dalam keadaan mabok dan tidak ingin diri dia diperkosa oleh Pangeran Tan Sin Ong. Dia memeluk suaminya dan berterima kasih sekali karena dia dapat membayangkan bahwa kalau tidak ada pria yang kini menjadi suaminya dengan syah dan terhormat ini tentu dia sudah membunuh diri dan andai kata dalam keadaan hiduppun ia akan mendrita aib dan terhina. Sampai dua tahun suami isteri yang saling mencinta dan berbahagia ini hidup di Hoa-san-pai, menjadi anggota-anggota dan anak murid Hoa-san-pai yang tekun berlatih dan rajin bekerja. Akan tetapi mereka gelisah sekali karena sampai selama ini, Han Swat Hong atau lain tokoh Pulau Es tidak ada yang muncul bahkan gadis luar biasa dari Pulau Neraka, Ouw Soan Cu, juga tidak muncul. Tentu saja hati mereka akan menjadi lebih lega dan bebas dari kekhawatiran kalau saja pusaka-pusaka Pulau Es itu sudah diambil oleh yang berhak dan tidak menjadi tanggung jawab mereka. Lebih hebat lagi kegelisahan hati mereka ketika pada suatu hari Ketua Hoa-san-pai, Kong Thian-cu yang sudah tua itu, meninggal dunia karena sakit. Sebelum meninggal dunia, Kong Thian-cu memberitahukan di mana dia menyembunyikan pusaka-pusaka itu yang tidak diketahui orang lain. Setelah Kong Thian-cu meninggal dunia, kedudukan Ketua Hoa-san-pai digantikan oleh seorang tokoh Hoa-san-pai lain, terhitung sute dari Kong Thian-cu yang telah menjadi seorang tosu yang saleh, berjuluk Pek Sim Tojin. Ketua yang baru ini pun tidak tahu akan rahasia Pusaka Pulau Es, sehingga kini rahasia pusaka itu seluruhnya menjadi tangung jawab Liem Toan Ki dan isterinya. Biarpun selama dua tahun itu tidak terjadi sesuatu, namun hati suami isteri ini selalu merasa tidak tenteram. Bahkan mereka berdua seringkali merundingkan bagaimana baiknya. Hendak meninggalkan Hoa-san-pai dan mencari Swat Hong, mereka tidak berani meninggalkan Hoa-san-pai di mana pusaka itu disimpan, juga mereka tidak tahu ke mana harus mencari Han Swat Hong. Tinggal diam saja di Hoa-san mereka merasa makin lama makin gelisah. Selama itu, tidak ada satu kali pun mereka berani memeriksa pusaka yang disimpan di tempat yang amat rapat di kamar pusaka oleh mendiang Kong Thian-cu. Akhirnya mereka terpaksa menahan diri, dan saling berjanji bahwa kalau setahun lagi pemilik pusaka yang sah tidak muncul, mereka akan menghadap Pek Sim Tojin, menceritakan dengan terus terang dan menyerahkan pusaka itu untuk dipelajari bersama sehingga dengan demikian pusaka itu ada manfaatnya demi kemajuan dan kebaikan Hoa-san-pai sendiri. "Suheng, kita berhenti istirahat dulu di sini!" Swat Hong berkata. Sin Liong menoleh kepada dara itu, tersenyum dan berkata, "Engkau lelah, Sumoi?" Swat Hong mengangguk dan Sin Liong menghentikan langkahnya, lalu keduanya duduk dibawah sebatang pohon besar di lereng bukit itu. Tempat perhentian mereka itu ditepi jalan yang merupakan lorong setapak, di sebelah kiri terdapat dinding bukit, di sebelah kanan jurang yang amat curam. Pemandangan di seberang jurang amatlah indahnya, tamasya alam yang tergelar di bawah kaki mereka, sehelai permadani hidup yang permai dengan segala macam warna berselang-seling, kelihatan kacau namun menyedapkan pandangan karena di dalam kekacauan itu terdapat keselarasan yang wajar. Sawah ladang bekas hasil tangan manusia berpetak-petak, digaris oleh sebatang sungai yang berbelok-belok, dengan rumpun di sana-sini diseling pohon-pohon besar yang masih bertahan di antara perobahan yang dilakukan oleh tangan-tangan manusia. Sebatang pohon yang daun-daunnyatelah menguning dan banyak yang rontok, kelihatan menyendiri dan menonjol di antara segala tumbuh-tumbuhan menghijau , dan seolah-olah segala keindahan berpusak kepada pohon menguning hampir mati itu. Matahari yang berada di atas kepala tidak menimbulkan bayangan-bayangan sehingga haritampak cerah sekali. Sinar matahari dengan langsung dan bebas menyinari bumi dan segala yang berada di atasnya, terang menderang tidak ada gangguan awan. Di dalam keheningan itu, Swat Hong dapat melihat ini semua. Ketika tanpa disengaja tangannya yang digerakkan untuk menyeka keringat bertemu dengan lengan Sin Liong, barulah dia sadar akan dirinya dan sekelilingnya. Dan dia terheran. Semenjak dia bertemu dengan suhengnya dan melakukan perjalanan ini, seringkali dia tenggelam ke dalam keindahan yang amat luar bias, yang sukar dia ceritakan dengan kata-kata. Dia merasa tenteram, tenang dan penuh damai sungguhpun suhengnya jarang mengeluarkan kata-kata. Dia seperti merasa betapa diri pribadi suhengnya bersinar cahaya yang hangat dan aneh, terasa ada getaran yang ajaib keluar dari pribadi suhengnya yang mempengaruhinya dan mendatangkan suatu perasaan yang menakjubkan, yang mengusir segala kekesalan, segala kerisauan, dan segala kedukaan. Sudah beberapa kali dia ingin mengutarakan ini kepada suhengnya, namun setiap kali dia hendak bicara, mulutnya seperti dibungkamnya sendiri oleh keseganan yang timbul dari perasaan halus dan lembut terhadap suhengnya itu, sesuatu yang belum pernah dirasakannya semula. Dia mencinta suhengnya, ini sudah jelas. Namun sekarang timbul perasaan lain yanglebih agung daripada sekedar cinta biasa, perasaan yang membuat dia penuh damai. "Suheng......." Dia memberanikan hatinya berkata. Sin Liong mengangkat muka memandangnya sambil tersenyum. Senyumnya begitu lembut penuh kasih, pandang matanya begitu bersinar penuh pengertian sehingga Swat Hong merasa betapa seolah-olah sebelum dia bicara, suhengnya itu telah tahu apa yang terkandung di dalam hatinya! Inilah yang biasanya membuat membungkam dan tidak dapat melanjutkan kata-katanya. Kini dia mengeraskan hati dan berkata dengan suara lirih, "Suheng, kita akan ke manakah?" "Ke Hoa-san, sudah kuberitahukan kepadamu," jawabnya sederhana. "Bagaimana kau bisa tahu bahwa mereka berada di Hoa-san?" Sin Liong tersenyum, senyum cerah, secerah sinar matahari di saat itu, senyum yang bebas dan wajar tidak menyembunyikan sesuatu tidak membawa arti sesuatu. "Sumoi, pusaka itu kau berikan kepada Liem Toan Ki dan tunangannya, dan karena Liem Toan Ki adalah murid Hoa-san-pai, maka tentu saja mereka berada di Hoa-san." Swat Hong mengangguk-angguk, memang dia tahu bahwa Toan Ki adalah murid Hoa-san, akan tetapi dia lupa bahwa dia tidak pernah menceritakan hal ini kepada suhengya! "Bagaimana kalau mereka tidak berada si sana, Suheng?" Kembali senyum itu. Senyum seorang yang begitu pasti lebih agung daripada sekedar cinta biasa, perasaan yang membuat dia penuh damai. "Sumoi, apakah gunanya memikirkan hal-hal yang belum terjadi? Membayangkan hal-hal yang belum terjadi adalah permainan buruk dari pikiran, karena hal itu hanya akan menghasilkan kecemasan dan kekhawatiran belaka. Apa yang akan terjadi kelak kita hadapi sebagaimana mestinya kalau sudah terjadi di depan kita." Setelah tubuh mereka beristirahat dengan cukup, keduanya lalu melanjutkan perjalanan menuju ke Hoasan. Makin lama Swat Hong makin mendapat kesan bahwa suhengnya benar-benar telah berubah, jahu bedanya dengan dahulu. Pada suatu hari, ketika mereka tiba di kaki Pegunungan Hoa-san dan beristirahat, Swat Hong tidak dapat menahan rasa keinginan tahunya dan dia berkata, "Suheng, setelah dua tahun berpisah denganmu dan berjumpa kembali, aku memperoleh kenyataan bahwa engkau telah berubah sekali!" "Aku tidak tahu apanya yang berubah, memang kelihatannya engkau masih biasa sepeti dulu, Suhengku yang sabar, tenang dan bijaksana. Akan tetapi entahlah, engkau berubah benar, sungguhpun aku sendiri tidak dapat mengatakan apanya yang berubah." Sin Liong tersenyum dan sinar matanya berseri. "Memang setiap manusia seyogianya mengalami perubahan, Sumoi. Kita masing-masing haruslah berubah, tidak terikat dengan masa lalu, dengan segala macam kebiasaan masa lalu, setiap hari, setiap detik kita haruslah baru! Kalau demikian, barulah hidup ada artinya!" Swat Hong hendak berkata lagi, akan tetapi tiba-tiba Sin Liong memegang tangannya dan mengajaknya bangkit berdiri lalu berlahan-lahan melanjukan perjalanan mulai mendaki bukit pertama. Ketika Swat Hong hendak menanyakan sikapyang tiba-tiba ini dari suhengnya, dia mendengar suara orang dan tampaklah olehnya banyak orang berbondong-bondong naik ke pegunungan Hoa-san, datangnya dari berbagai penjuru. Mereka itu terdiri dari bermacam orang, dengan pakaian yang bermacam-macam pula, namun jelas bahwa rata-rata memiliki gerakan yang ringan dan tangkas dan mudah bagi Swat Hong untuk mengetahui bahwa mereka adalah orang-orang kang-ouw! Melihat kenyataan bahwa tidak ada di antara mereka yang memperhatikan Sin Liong dan Swat Hong, hanya memandang sepintas lalu saja seperti mereka itu saling memandang, tahulah Swat Hong bahwa mereka itu bukan merupakan satu rombongan, melainkan terdiri dari banyak rombngan sehingga tentu saja mereka mengira bahwa dia dan suhengnya adalah anggauta rombongan lain. Hati Swat Hong diliputi penuh pertanyaan. Siapakah mereka dan apa kehendak mereka itu? Apakah di Puncak Hoa-san terdapat perayaan dan mereka ini adalah para tamu yang berkujung ke Hoa-san-pai, akan tetapi melihat sikap suhengnya diam dan tenang saja, Swat Hong merasa malu untuk bertanya dan teringatlah dia akan kata-kata suhengnya tentang permainan pikiran yang membayangkan masa depan yang menimbulkan kekhawatiran belaka. Mau tidak mau dia harus membenarkan karena kini dia merasakan sendiri. Biarlah dia hadapi apa yang sedang terjadi sebagaimana mestinya dan sebagai apa adanya tanpa merisaukan hal-hal yang belum terjadi! Ketika akhirnya mereka tiba di Puncak Hoa-san, di depan markas perkumpulan Hoa-san-pai yang besar, Swat Hong menjadi terkejut. Di tempat itu ternyata tidak terdapat perayaan apa-apa dan kini banyak tosu dan anggauta Hoa-san-pai berkumpul dan berdiri di ruangan depan yang tinggi, sedangkan di bawah anak tangga, di halaman depan penuh dengan orang-orang kang-ouw yang bersikap menantang! Ketika dia melirik ke arah suhengnya, dia melihat Sin Liong bersikap masih biasa dan tenang, dan suhengnya ini pun memandang ke depan dengan perhatian sepenuhnya. Maka dia pun lalu memandang lagi dan dia melihat seorang tosu berambut putih dengan tenang berdiri menghadapi para orang-orang kang-ouw itu sambil menjura dengan sikap hormat lalu berkata dengan suara halus namun cukup nyaring, "Harap Cu-wi sekalian sudi memaafkan kami yang tidak tahu akan kedatangan Cu-wi maka tidak mengadakan penyambutan sebagaimana mestinya. Pinto melihat bahwa Cu-wi adalah tokoh-tokoh kang-ouw dari bermacam golongan dan tingkat, dan pada hari ini berbondong datang mengunjungi Hoa-san-pai, tidak tahu ada keperluan apakah?" Swat Hong memandang para orang kang-ouw itu dan diantaranya banyak tokoh aneh yang tidak dikenalnya itu, dengan heran dia melihat adanya Siang-koan Houw Tee Tok, tokoh yang tinggal di Puncak Awan Merah di Tai-hang-san itu! "Suheng, itu Tee Tok berada pula di sini," bisikannya sambil menyentuh lengan suhengnya. "Aku sudah melihatnya," kata Sin Liong perlahan, "Dan yang di sebelah sana itu adalah Bhong Sek Bin yang berjuluk Thian-tok Racun Langit. Bekas suheng dari Tee Tok, dan itu adalah Thian-he Tee-it Ciang Ham Ketua kang-jiu-pang di Secuan. yang di sana itu adalah Lam-hai Seng-jin, tosu majikan Pulau Kura-kura di Lamhai....." "Guru Kwee-toako?" Sin Liong mengangguk. Swat Hong memandang penuh perhatian dan terheran-heran melihat suhengnya mengenal orang-orang yang memiliki julukan aneh-aneh itu. Thian-he Tee-it berarti Di Kolong Langit Nomer Satu! Dan Lam-hai Seng-jin berarti Manusia dari laut Selatan! "Dan itu adalah Gin-siauw Siucai Pelajar Bersuling Perak, seorang bertapa di Bukit Bengsan dan yang di ujung itu adalah seorang yang pernah menyerang Pulau Neraka seperti yang pernah kuceritakan kepadamu, Sumoi. Dialah Tok-gan Hai-liong Naga Laut Mata Satu Koan Sek, seorang bekas bajak laut." "Wah, begitu banyak orang pandai mendatangi Hoa-san-pai, ada apakah, Suheng?" "Kita melihat dan mendengarkan saja." Sementara itu, ucapan dan pertanyaan Ketua Hoa-san-pai tadi mendatangkan suasana berisik ketika para pendatang yang jumlahnya ada lima puluhan orang itu saling bicara sendiri tanpa ada yang menjawab langsung pertanyaan Ketua Hoa-san-pai. Agaknya mereka itu merasa sungkan dan saling menanti, menyerahkan jawaban kepada orang lain yang hadir di situ. Betapapun juga, para tokoh kang-ouw itu merasa segan juga karena Hoa-san-pai terkenal sebagai sebuah perkumpulan atau partai persilatan yang besar, yang selama ini tidak pernah mencampuri urusan perebutan kekuasaan atau tidak pernah pula mencampuri urusan kang-ouw yang tidak ada hubungannya dengan mereka. Orang-orang Hoa-san-pai terkenal sebagai orang-orang gagah yang disegani di dunia persilatan, maka tentu saja mereka itu diliputi perasaan sungkan. Pek Sim Tojin yang berambut putih dan bersikap tenang itu melihat seorang kakek tinggi besar bermuka tengkorak yang menyeramkan maju ke depan, maka melihat bahwa belum juga ada yang mau menjawab, dia lalu berkata ditujukan kepada kakek tinggi besar bermuka tengkorak itu. "Kalau pinto tidak salah mengenal orang, Sicu adalah Thian-tok Bhong Sek Bin. Sicu adalah seorang yang amat terkenal di dunia kang-ouw dan mengingat bahwa kedatangan Sicu pasti mempunyai kepentingan besar, maka pinti harap Sicu suka berterus terang mengatakan apa keperluan itu." Thian-tok Bhong Sek Bin menyeringai penuh ejekan. "Ha-ha-ha, engkau benar, Totiang! Aku adalah Bhong Sek Bin dan memang bukan percuma jauh-jauh aku datang mengunjungi Hoa-san-pai. Tentang mereka semua ini aku tidak tahu, akan tetapi kedatanganku adalah untuk bicara dengan dua orang yang bernama Liem Toan Ki dan Bu Swi Nio. Suruh mereka berdua keluara bicara dengan aku dan aku tidak akan membawa-bawa Hoa-san-pai!" Ucapan ini disambut oleh suara berisik lagi di antara para tamu, bahkan banyak kepala dianggukan tanda setuju dan di sana sini terdengar teriakan, Pek Sim Tojin mengerutkan alisnya dan mengelus jenggotnya yang putih. "Pinto tidak menyangkal bahwa di antara anak murid Hoa-san-pai terdapat dua orang yang bernama Liem Toan Ki dan isterinya bernama Bu Swi Nio. Akan tetapi, selama ini mereka adalah murid-murid Hoa-san-pai yang tekun dan baik, bahkan tidak pernah turun dari Hoa-san, tidak pernah melakukan keonaran di luar, apalagi membuat permusuhan dengan golongan manapun. Kini Cu-wi sekalian berbondong datang, agaknya bersatu tujuan untuk menemui mereka! Pinto sebagai ketua Hoa-san-pai yang bertanggung jawab atas semua sepak terjang murid-murid Hoa-san-pai, berhak mengetahui apa yang terjadi antara Cu-wi dengan mereka!" Hening sejenak dan agaknya semua tamu kembali merasa sungkan dan ragu-ragu untuk menjawab. Sementara itu, hati Swat Hong terasa tegang begitu mendengar nama Liem Toan Ki dan Bu Swi Nio disebut-sebut. Dia menunjukan pandang matanya ke atas ruangan depan, namun di antara para anggauta Hoa-san-pai, dia tidak meliahat adanya kedua orang itu. "Suheng...., agaknya mereka benar berada di sini seperti yang Suheng duga...." bisik Swat Hong dengan hati tegang, akan tetapi suhengnya memberi isyarat agar dia tenang saja. "Sumoi, aku berpesan, kalau nanti terjadi apa-apa, kau serahkan saja kepadaku dan jangan kau ikut turun tangan, ya!" Dengan penuh kepercayaan akan kemampuan suhengnya, Swat Hong mengangguk akan tetapi hatinya berdebar penuh ketegangan. Tidak salah lagi, pikirnya yang menduga-duga, tentu orang-orang kang-ouw ini mencari Liem Toan Ki dan Bu Swi Nio berhubung dengan Pusaka-pusaka Pulau Es itu! Kalau tidak demikian apalagi? Melihat bahwa tidak ada orang yang menjawab pertanyaan Ketua Hoa-san-pai itu, Thian-he Tee-it Ciang Ham yang datang bersama lima orang muridnya, mengacungkan tombak di tangan kanannya, ke atas dan berteriak. "Totiang, sebagai KetuaHoa-san-pai tentu saja kau berhak mengetahui sepak terjang muridmu, akan tetapi kalau urusan ini tidak menyangkut Hoa-san-pai, bagaiman kami dapat bicara denganmu? Ini adalah urusan pribadi, urusan Liem Toan Ki sendiri, maka suruh dia keluar agar kami dapat bicara dengan dia! Kalau Totiang bersikeras, berarti Hoa-san-pai akan mencampuri urusan pribadi!" Berkerut alis Ketua Hoa-san-pai itu. Ucapan tadi, biarpun tidak secara langsung, sudah merupakan tantangan dan hanya terserah kepada Hoa-san-pai untuk melayani tantangan itu ataukah tidak. Maka dia tidak mau bertindak sembrono dan ingin melihat dulu bagaimana duduk perkaranya. Ketua Hoa-san-pai ini memang belum sempat diberi tahu oleh Liem Toan Ki dan isterinya tentang pusaka Pulau Es itu. "Supek, biarlah teecu berdua yang menghadapi mereka!" Tiba-tiba terdengar suara orang dan muncullah Liem Toan Ki dan isterinya dari dalam, mereka sudah kelihatan mempersiapkan diri dengan senjata pedang di pinggang dan pakaian ringkas. Wajah mereka agak pucat, namun sikap mereka gagah dan tidak jerih. Liem Toan Ki meloncat ke depan, Di atas ruangan depan itu berdampingan dengan istrinya, menghadapi orang-orang kang-ouw itu sambil berkata, "Sayalah Liem Toan Ki dan isteri saya Bu Swi Nio. Tidak tahu urusan apakah yang membawa Cu-wi sekalian datang mencari kami di Hoa-san?" Hiruk pikuklah para tamu itu setelah mereka melihat sepasang suami isteri muda muncul dari dalam. Pertama-tama yang berteriak adalah Thian-tok Bhong Sek Bin, "Liem Toan Ki dan Bu Swi Nio, kalian telah berani melukai muridku! Aku baru bisa mengampuni kalian kalau kalian menyerahkan pusaka-pusaka yang kau bawa itu!" "Hemm, kami terpaksa melukai muridmu karena dia menyerang kami, Locianpwe. Pusaka apa yang Locianpwe maksudkan?" "Pura-pura lagi, keparat! Pusaka Pulau Es!" teriak Thian-tok marah. "Serahkan Pusaka Pulau Es kepada kami!" Macam-macam teriakan para tokoh kang-ouw dan Liem Toan Ki mengangkat kedua lengannya ke atas. "Cu-wi sekalian, apa buktinya bahwa kami berdua menyimpan Pusaka Pulau Es?" "Orang she Liem, kau masih berpura-pura lagi bertanya? Aku dan banyak orang melihat betapa gadis Pulau Es itu menyerahkan pusaka itu kepadamu!" Tiba-tiba terdengar suara orang yang bukan lain adalah Thio Sek Bi, murid Thian-tok yang pernah berusaha merampok pusaka itu. Mendengar ucapan ini dan melihat munculnya murid Thian-tok dan beberapa orang bekas pengawal yang dulu ikut bertempur di istana The Kwat Lin, tahulah Toan Ki dan Swi Nio bahwa menyangkal tidak akan ada gunanya lagi. "Kita harus mempertahankan mati-matian," bisik Swi Nio kepada suaminya "Cu-wi sekalian! Kami berdua tidak menyangkal lagi bahwa memang telah dititipkan kepada kami pusaka oleh Nona Han Swat Hong, dua tahun yang lalu. Akan tetapi, kami tidak akan menyerahkan pusaka itu kepada siapapun juga kecuali kepada yang berhak, yaitu Nona Han Swat Hong!" Teriakan-teriakan hiruk pikuk menyambut ucapan lantang ini. "Kalau begitu, kalian akan menjadi tawananku!" Thian-tok membentak marah sambil melangkah ke depan, akan tetapi gerakannya ini segera diikuti oleh banyak orang dan jelas bahwa mereka hendak memperebutkan Liem Toan Ki dan istrinya agar menjadi orang tawanan mereka, tentu untuk dipaksa menyerahkan pusaka! "Siancai..... harap Cu-wi bersabar dulu.....!" Tiba-tiba dengan suara yang halus namun berpengaruh, Ketua Hoa-san-pai berkata sambil mengangkat kedua tangan ke atas, "Biarkan pinto bicara dulu!" "Totiang, kau hendak bicara apa lagi?" Thian-tok membentak marah, alisnya berdiri dan matanya melotot. "Pinto mengaku bahwa urusan pusaka Pulau Es itu sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan Hoa-san-pai dan Hoa-san-pai pun tidak mengetahuinya. Maka sebagai Ketua Hoa-san-pai, pinto hendak bertanya dulu kepada murid Liem Toan Ki. Ini adalah urusan dalam dari Hoa-san-pai, kiranya Cu-wi tidak akan mencampurinya!" Terdengar teriakan-teriakan, "Silahkan! Silahkan, tapi cepat dan serahkan mereka kepada kami!" Pek Sim Tojin lalu menghadapi Liem Toan Ki dan bertanya, "Toan Ki, apa artinya ini semua? Benarkah kalian menyembunyikan Pusaka Pulau Es di Hoa-san-pai?" Liem Toan Ki dan Bu Swi Nio segera menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Ketua Hoa-san-pai itu. Liem Toan Ki segera berkata, "Harap Supek mengampunkan teecu berdua. Adalah mendiang Twa-supek yang mengijinkan teecu berdua dan Beliau yang melarang teecu berdua menceritakan kepada siapapun juga, bahkan Beliau yang membantu teecu berdua dalam hal ini. Karena sekarang mereka telah mengetahuinya dan hendak menggunakan paksaan, biarlah teecu berdua menghadapinya sendiri tanpa membawa-bawa Hoa-san-pai." Setelah berkata demikian, Toan Ki dan Bu Swi Nio meloncat bangun, mencabut pedang dan berkatalah Toan Ki dengan suara lantang, "Haiiii, kaum kang-ouw dengarlah! Urusan ini adalah urusan kami berdua suami isteri, bukan sebagai murid Hoa-san-pai, maka kalau kalian begitu tidak tahu malu hendak merampas Pusaka Pulau Es, biar kami menghadapi kalian sampai titik darah penghabisan!" "Keparat, aku tidak membiarkan kau mapus sebelum kalian menyerahkan pusaka itu." "Tahan!" Tiba-tiba Pek Sim Tojin membentak dan sikapnya angker sekalil. "Cu-wi sekalian sungguh terlalu, memperebutkan pusaka milik orang lain dan sama sekali tidak memandang mata kepada Hoa-san-pai, hendak membikin ribut di sini. Siapa saja tidak akan pinto ijinkan untuk menggunakan kekerasan di Hoa-san-pai!" "Tepat sekali! Aku Tee-tok Siangkoan Houw pun bukan seorang yang tak tahu malu! Aku tidak akan memperbolehkan siapapun menjamah Pusaka Pulau Es yang menjadi milik Nona Han Swat Hong!" Tiba-tiba tokoh Tai-han-san yang tinggi besar itu sudah melompat ke atas ruangan luar dan mendampingi Toan Ki dan Swi Nio dengan sikap gagah! "Ha-ha-ha, itu baru namanya laki-laki sejati! Tee-tok, kau membikin aku merasa malu saja! Aku pun tua bangka yang tidak berguna mana ingin memperebutkan pusaka orang lain? Aku pun tidak membiarkan siapa pun memperebutkan pusaka itu!" Lam-hai Seng-jin, guru Kwee Lun, tosu yang bersikap halus dengan tangan kiri memegang kipas dan tangan kanan memegang hudtim, telah melangkah ke ruangan depan mendampingi Tee-tok. "Masih ada aku yang menentang orang-orang kang-ouw tak tahu malu hendak merampas pusaka orang!" Tampak bayangan berkelebat disertai suara halus melengking dan diruang depan itu nampak Gin-siauw Siucai Si Sastrawan yang bersenjata suling perak dan mauwpit! Melihat ini Thian-tok tertawa bergelak dengan hati penuh kemarahan, apalagi melihat bekas sutenya, Tee Tok, mempelopori lebih dulu membela Hoa-san-pai dan murid Hoa-san-pai yang membawa Pusaka Pulau Es yang amat dikehendakinya. "Ha-ha-ha! Kalian pura-pura menjadi pendekar budiman? Hendak kulihat sampai di mana kepandaian kalian!" Thian-tok sudah lari ke depan, diikuti oleh banyak tokoh kang-ouw lagi dan dapat dibayangkan betapa tentu sebentar akan terjadi perang kecil yang amat hebat antara para anggauta Hoa-san-pai dibantu oleh tiga tokoh kang-ouw itu melawan para orang kang-ouw yang memperebutkan pusaka. Seruan ini halus dan ramah, tidak mengandung kekerasan sesuatu pun, akan tetapi anehnya, semua orang merasa ada getaran yang membuat mereka menghentikan gerakan mereka mencabut senjata dan kini semua mata memandang ke arah ruangan depan itu karena tadi ada berkelebat dua sosok bayangan orang ke arah situ. Ternyata Sin Liong dan Swat Hong telah berdiri di ruangan depan markas Hoa-san-pai. Dengan sikap tenang sekali Sin Liong menghadapi semua orang, terutama sekali memandang tokoh-tokoh besar dunia persilatan yang hadir, dan yang semua memandang kepadanya dengan mata terbelalak, kemudian terdengar pemuda ini berkata, "Cu-wi Locian-pwe mengapa sejak dahulu sampai sekarang gemar sekali memperebutkan sesuatu?" Thian-tok Bhong Sek Bin yang berwatak kasar memandang dengan terbelalak, demikian pula Thian-he Tee-it Ciang Ham, Lam-hai Seng-jin, Gin-siauw Siucai dan para tokoh lain yang belasan tahun lalu pernah hendak memperebutkan bocah ajaib, Sin-tong yang bukan lain adalah Sin Liong sendiri. Mereka merasa kenal dengan pemuda ini, akan tetapi lupa lagi. "Ka...... kau siapakah.....?" akhirnya Thian-tok bertanya. "Ha-ha-ha, kalian lupa lagi siapa dia ini?" Tiba-tiba Tee Tok Siangkoan Houw berseru keras, hatinya girang dan lega bukan main bahwa dia tadi tidak ragu-ragu melindungi Pusaka Pulau Es. Melihat munculnya pemuda yang dia tahu memiliki kelihaian yang luar biasa itu, dia girang sekali. "Coba lihat dengan baik-baik, belasan tahun yang lalu di lereng Pegunungan jeng-hoa-san kalian juga memperebutkan sesuatu. Siapa dia?" Teringatlah mereka semua dan kini memandang Sin Liong dengan mata terbelalak. "Mau apa kau datang ke sini?" Thian-tok bertanya dengan suara agak berkurang galaknya. Sin Liong sudah menjura kepada Ketua Hoa-san-pai, kepada Tee tok dan lain tokoh yang tadi membela Hoa-san-pai, diikuti oleh Swat Hong kemudian Swat Hong berkata kepada Toan Ki dan Swi Nio, "Terima kasih kami haturkan kepada Ji-wi yang ternyata adalah orang-orang gagah yang pantas dipuji dan dikagumi kesetiaan dan kegagahannya. Sekarang saya harap Ji-wi suka mengembalikan pusaka- pusaka itu kepadaku." Toan Ki dan Swi Nio menjura dan Toan Ki menjawab, "Harap Lihiap suka menanti sebentar." kemudian pergilah dia bersama Swi Nio ke sebelah dalam, diikuti pandang mata Ketua Hoa-sanpai yang menjadi terheran-heran. "Mau apa kalian dua orang muda datang ke sini?" kembali Thian-tok bertanya. "Harap Locianpwe ketahui bahwa kami berdua adalah penghuni Pulau Es yang datang untuk mengambil kembali Pusaka Pulau Es. Pusaka itu adalah milik Pulau Es dan harus dikembalikan ke sana." "Penghuni Pulau Es....??" Suara ini bukan hanya keluar dari mulut para tamu, tetapi juga dari pihak Hoa-san- pai dan mereka yang membelanya, kecuali Tee Tok Siangkoan Houw yang sudah tahu akan keadaan pemuda dan pemudi itu. Tak lama kemudian muncullah Toan Ki dan Swi Nio. Toan Ki membawa bungkusan yang dulu dia terima dari Swat Hong, lalu menyerahkan bungkusan itu kepada Swat Hong sambil menjura dan berkata, "Dengan ini kami mengembalikan pusaka yang Lihiap titipkan kepada kami dengan hati lega!" Memang hatinya lega dan girang sekali dapat terlepas dari tanggung jawab yang amat berat itu. Swat Hong membuka dan meneliti pusaka-pusaka itu. Melihat bahwa pusaka itu masih lengkap, dia makin kagum. "Suheng tidak pantas kalau kita tidak membalas budi mereka ini." Sin Liong tersenyum, mengangguk, kemudian dia berkata kepada Thian-tok dan lain tamu yang masih memandang dengan bengong dan kini dari mata mereka itu terpancar ketegangan dan keinginan besar. Setelah Pusaka Pulau Es yang terkenal itu tampak di depan mata, mana mungkin mereka mundur begitu saja tanpa usaha untuk mendapatkannya? "Cu-wi Locianpwe jauh-jauh datang ke sini, harap suka memaklumi bahwa pusaka-pusaka ini telah kembali ke pemiliknya dan akan dikembalikan ke Pulau Es. Maka kami berdua mengharap sudilah Su-wi tidak mengganggu lagi Hoa-san-pai dan suka meninggalkan tempat ini." "Kami harus mendapatkan pusaka itu!" "Kami minta bagian!" Teriakan-teriakan itu terdengar riuh rendah dan Sin Liong lalu berkata lagi dengan halus, "Kami berdua akan berada di sini selama tiga hari, kemudia kami akan meninggalkan Hoa-san-pai. Kalau kita tidak berada di sini, masih belum terlambat bagi kita untukbicara lagi tentang pusaka. Amatlah tidak baik bagi nama Cu-wi Locianpwe kalau mengganggu Hoa-san-pai yang sama sekali tidak tahu-menahu tentang hal ini. Nanti kalau kami sudah meninggalkan Hoa-san-pai, boleh kita bicara lagi." Melihat sikap orang-orang Hoa-san-pai, dan sekarang sudah jelas bahwa pusaka itu berada di tangan Sin-tong dan dara muda itu, Thian-tok lalu mendengus dan berkata, "Baik, kami menanti di bawah bukit. Kalian berdua tidak akan dapat terbang lalu." Pergilah mereka itu meninggalkan Hoa-san-pai, akan tetapi semua orang tahu belaka bahwa mereka tentu akan mengurung tempat itu dan tidak akan membiarkan Sin Liong dan Swat Hong lolos dari situ membawa pergi pusaka-pusaka Pulau Es yang amat mereka inginkan itu. Sin Liong lalu menjura kepada Ketua Hoasan- pai, para tokoh Hoa-san-pai, Toan Ki dan Swi Nio, juga kepada Tee Tok dan mereka yang tadi membela Hoa-san-pai, kemudian berkata, "Terutama kepada Saudara Liem Toan Ki dan Nyonya, sudah sepantasnya kalau kami meninggalkan sedikit ilmu untuk Jiwi pelajari. Dan kepada para Locianpwe, kiranya akan ada manfaatnya kalau saya melayani para Locianpwe main-main sedikit untuk memperluas pengetahuan ilmu silat." Semua orang menjadi ragu-ragu karena tidak tahu akan maksud hati pemuda yang aneh itu, akan tetapi Tee-tok Siangkoan Houw sudah tertawa bergelak lalu meloncat ke halaman depan. "Marilah, ingin aku tua bangka ini memperdalam sedikit kepandaianku!" Sin Liong tersenyum lalu melangkah perlahan ke pekarangan. "Silahkan Siangkoan Locianpwe menggunakan Pek-liu-kun Ilmu Silat Tangan Geledek!" katanya tenang. "Harap Locianpwe jangan sungkan dan keluarkanlah jurus-jurus simpanan dari Pek-liu-kun!" Tee Tok sudah maklum akan kehebatan pemuda ini, dan setelah dua tahun tidak jumpa, kini sikap pemuda ini luar biasa sekali, bahkan dengan kata-kata biasa saja pemuda itu sudah mengundurkan semua orang yang tadi sudah bersitegang hendak menggunakan kekerasan. Dia dapat menduga bahwa bukanlah percuma pemuda ini mengajak dia berlatih silat, tentu ada niat-niat tertentu. Karena dia merasa bahwa dia tidak mempunyai maksud jahat dan tadi membela Pusaka Pulau Es dengan sungguh hati, dia kini pun tanpa ragu-ragu lagi lalu mengeluarkan gerengan keras dan tubuhnya berkelebat ke depan. Dengan sepenuh tenaga dan perhatiannya, dia menyerang pemuda itu dengan jurus-jurus simpanan dari Ilmu Silat Pek-lui-kun yang dahsyat. "Haiiittt..... eihhh.....?" Bukan main heran dan kagetnya ketika melihat pemuda itu menghadapi dengan gerakan-gerakan yang sama! Tiap jurus yang dimainkannya, dihadapi oleh Sin Liong dengan jurus yang sama pula dan dipakai sebagai serangan balasan namun dengan cara yang sedemikian hebatnya sehingga jurus yang dimainkannya itu tidak ada artinya lagi! Jurus yang dimainkan oleh pemuda itu untuk menghadapinya jauh lebih ampuh, dan sekaligus menutup semua kelemahan yang ada, menambah daya serang yang amat hebat sehingga dalam jurus pertama saja, kalau pemuda itu menghendaki, tentu dia sudah dirobohkan sungguhpun dia sudah hafal benar akan jurusnya sendiri itu! Bukan main girang hati kakek itu. Dia terus menyerang lagi dengan jurus lain, dan sama sekali dia menggunakan delapan belas jurus terampuh dari Pek-lui-kun dan yang kesemuanya selain dapat dihindarkan dengan baik oleh Sin Liong, juga telah dengan sekaligus "diperbaiki" dengan sempurna. Semua gerakan ini dicatat oleh Tee Tok dan setelah dia selesai mainkan delapan belas jurus pilihan itu, dia melangkah mundur dan menjura sangat dalam ke arah Sin Liong. "Astaga.... kepandaian Taihiap seperti dewa saja......., saya...... saya menghaturkan banyak terima kasih atas petunjuk Taihiap....." katanya agak tergagap. "Ah, Locianpwe terlalu merendah," jawab Sin Liong. Tee Tok lalu menjura ke arah Ketua Hoa-san-pai dan yang lain-lain, seketika pamit dan pergi dengan langkah lebar dan wajah termenung karena dia masih terpesona dan mengingat-ingat gerakan-gerakan baru yang menyempurnakan delapan belas jurus pilihannya tadi! Lam Hai Seng-jin bukan seorang bodoh. Dia adalah seorang tokoh kawakan yang berilmu tinggi. Melihat peristiwa tadi, tahulah dia bahwa pemuda ini memang bukan orang sembarangan dan agaknya telah mewarisi ilmu mukjizat yang kabarnya dimiliki oleh penghuni Pulau Es. Maka dia tidak mau menyianyiakan kesempatan itu dan dai sudah meloncat maju dengan senjata hudtim dan kipasnya. "Orang muda yang hebat, kau berilah petunjuk kepadaku!" "Totiang, muridmu Kwee Lun Toako adalah sahabat baik kami, harap Totiang sudi mengajarnya baik-baik," jawab Sin Liong dan dia pun segera menghadapi serangan kipas dan hudtim dengan kedua tangannya. Biarpun dia tidak menggunakan kedua senjata itu, namun kedua tangannya digerakan seperti kedua senjata itu, dan dia pun mainkan jurus-jurus yang sama, namun gerakannya jauh lebih hebat, bahkan sempurna. Seperti juga tadi, kakek ini memperhatikan dan dia telah menghafal dua puluh jurus campuran ilmu hudtim dan kipas. "Terima kasih, terima kasih..... Siancai, pengalaman ini takkan kulupakan selamanya." Dia menjura kepada yang lain lalu berlari pergi. "Totiang, sampaikan salamku kepada Kwee-toako!" seru Swat Hong, akan tetapi kakek itu hanya mengangguk tanpa menoleh karena dia pun sedang mengingat-ingat semua jurus tadi agar tidak sampai lupa. Berturut-turut Gin-siauw Siucai juga menerima petunjuk ilmu silat suling perak dan mauwpitnya, kemudian Ketua Hoa-san-pai juga menerima petunjuk ilmu pedang Hoa-san-kiamsut. Para tokoh kang-ouw yang mengurung tempat itu di lereng puncak, terheran-heran melihat tiga orang tokoh itu meninggalkan puncak seperti orang yang termenung. Akan tetapi diam-diam mereka menjadi girang karena tiga orang lihai itu tidak membantu atau mengawal muda-mudi Pulau Es yang mereka hadang. Tiga hari lamanya Sin Liong dan Swat Hong tinggal di Hoa-san, setiap hari menurunkan ilmu-ilmu tingi kepada Toan Ki dan Swi Nio sehingga kedua orang suami isteri ini kelak akan menjadi tokoh-tokoh kenamaan dan mengangkat nama Hoa-san-pai sebagai partai persilatan yang besar dan lihai. Pada hari ke empatnya, pagi-pagi mereka meninggalkan markas Hoa-san-pai, diantar sampai ke pintu gerbang oleh Ketua Hoa-san-pai, Toan Ki, Swi Nio dan para pimpinan Hoa-san-pai. "Taihiap, Lihiap, pinto khawatir Jiwi akan mengalami gangguan di jalan. Menurut laporan para anak murid pinto, orang-orang kang-ouw itu masih menanti di lereng gunung." Pek Sim Tojin berkata dengan alis berkerut. "Bagaimana kalau kami mengantar Ji-wi sampai melewati mereka dengan selamat?" Sin Liong tersenyum. "Terima kasih, Locianpwe. Akan tetapi, menghindari mereka berarti membuat mereka terus merasa penasaran. Sebaliknya malah kalau kami berdua menemui mereka dan membereskan persoalan seketika juga." Toan Ki dan Swi Nio yang selama tiga hari menerima petunjuk dari Sin Liong, telah menaruh kepercayaan penuh akan kesaktian pemuda Pulau Es ini, maka mereka tidak merasa khawatir. Mereka maklum bahwa pemuda dan gadis dari Pulau Es itu bukanlah manusia sembarangan, apalagi pemuda itu memiliki wibawa yang tidak lumrah manusia, gerak-geriknya demikian penuh kelembutan, penuh belas kasih sehingga tidaklah mungkin dapat terjadi sesuatu yang buruk menimpa seorang manusia seperti ini! Memang benar seperti yang dilaporkan oleh anak buah Hoa-san-pai bahwa para tokoh kang-ouw itu, dipelopori oleh Thian-tok, masih menghadang di lereng puncak. Thian-tok yang tadinya mengandalkan kepandaiannya sendiri, setelah menyaksikan betapa pemuda dan dara Pulau Es itu telah mendapatkan kembali pusaka-pusakanya, diam-diam telah mengajak semua tokoh lain bersekutu dengan janji bahwa kalau pusaka dapat dirampas, dia akan memberi bagian kepada mereka semua. Terutama yang menjadi pembantunya sebagai orang ke dua adalah Thian-he Tee-it Ciang Ham yang tingkat kepandaiannya hanya berselisih atau kalah sedikit saja dibandingkan dengan kepandaian Racun Langit itu. Maka ketika Sin Liong yang membawa pusaka di punggungnya bersama Swat Hong berjalan berlahan dan tenang melalui tempat itu, segera para tokoh kang-ouw itu muncul dan telah mengurung dua orang muda itu dengan ketat, mempersiapkan senjata masing-masing dengan sikap mengancam. Sin Liong menggelenggelengkan kepala. "Hal itu tidak bisa dilakukan, Cu-wi Locianpwe. Pusaka-pusaka ini adalah milik Pulau Es turun-temurun, mana mungkin sekarang diserahkan kepada orang lain? Setelah kami berdua berhasil menemukannya kembali, kami harus mengembalikannya kepada Pulau Es, tempatnya semula. Maka harap Cu-wi suka memaklumi hal ini dan tidak memaksa kepada kami." "Orang muda yang keras kepala! Kalau kami memaksa, bagaimana?" "Terserah kepada Cu-wi sekalian. Sumoi, harap Sumoi suka pergi dulu ke pinggir, jangan menghalangi para Locianpwe ini." Swat Hong mengangguk dan tersenyum, kemudian tubuhnya berkelebat dan terkejutlah semua orang kang-ouw itu ketika melihat gadis itu meloncat seperti terbang saja, melayang melalui kepala mereka dan kini telah berdiri di luar kepungan! Sungguh merupakan bukti kepandaian ginkang yang amat hebat! Sin Liong sengaja menyuruh sumoinya pergi keluar dari kepungan karena tidak menghendaki sumoinya itu naik darah dan turun tangan menggunakan kekerasan terhadap orang-orang kang-ouw ini. Setelah kini melihat sumoinya keluar dari kepungan, dia lalu menyilangkan kedua lengannya di depan dada, berkata, "Silahkan kepada Cu-wi apa yang hendak Cu-wi lakukan setelah jelas kukatakan bahwa Pusaka Pulau Es tidak akan kuberikan kepada Cu-wi." Melihat sikap tenang dan penuh tantangan ini, para tokoh kang-ouw menjadi marah juga. Pemuda itu tidak memegang senjata, berdiri dalam kepungan dan pusaka itu berada di dalam buntalan yang berada di punggungnya. Maka serentak orang-orang kang-ouw yang sudah mengilar dan ingin sekali merampas pusaka itu menerjang maju dan berebut hendak menyerang Sin Liong dan mengulur tangan hendak merampas buntalan. Pemuda itu hanya berdiri tersenyum, berdiri tegak dan menyilangkan kedua lengannya sambil memandang tanpa berkedip mata. Semua orang terhuyung-huyung mundur karena belum juga tangan mereka menyentuh pemuda itu, hati mereka sudah lemas dan luluh menghadapi wajah yang tersenyum itu, tangan mereka seperti lumpuh dan tenaga mereka seperti lenyap seketika membuat mereka terhuyung dan hampir jatuh saling timpa! Thian-tok dan Thian-he Tee-it menjadi kaget dan marah sekali melihat keadaan teman-teman mereka itu. Kedua orang itu berilmu tinggi ini memang membiarkan teman-teman mereka turun tangan lebih dulu untuk menguji kepandaian pemuda yang keadaannya amat mencurigakan karena terlampau tenang itu. Kini melihat betapa teman-temannya mundur tanpa pemuda itu menggerakan sebuah jari tangan pun, kedua orang itu terkejut marah dan penasaran. Thian-tok menerjang ke depan dengan senjata Kim-kauw-pang di tangannya, sedangkan Ciang Ham juga sudah meloncat dekat dengan senjata tombak di tangan. "Orang muda, serahkan pusaka itu!" Thian-tok membentak. "Sin-tong, jangan sampai terpaksa aku menggunakan tombak pusakaku!" Ciang ham juga menghardik. Akan tetapi Sin Liong tetap tidak bergerak hanya berkata, "Terserah kepada Ji-wi Locianpwe, Ji-wi yang melakukan dan Ji-wi pula yang menanggung akibatnya." Thian-tok membentak dan tongkatnya yang panjang sudah menyambar ke arah kepala pemuda itu. Sin Liong sama sekali tidak mengelak, bahkan berkedip pun tidak ketika melihat tongkat itu menyambar ke arah kepalanya, disusul tombak di tangan Thian-he Tee-it CiangHam yang menusuk ke arah lambungnya. Thian-tok Bhong Sek Bin dan Thian-he Tee-it Ciang ham berteriak kaget dan meloncat ke itu tepat mengenai kepala dan tombak itu pun tepat menusuk lambung, namun kedua senjata itu terpental kembali seperti mengenai benda yang amat kuat, bahkan telapak tangan mereka terasa panas! Tentu saja mereka merasa penasaran, biarpun ada rasa ngeri di dalam hati mereka. Pada saat itu, orang-orang kang-ouw lainnya yang melihat betapa dua orang lihai itu sudah menyerang dengan senjata, juga menyerbu ke depan. Sin Liong tetap diam saja ketika belasan batang senjata yang bermacam-macam itu datang bagaikan hujan menimpa tubuhnya. Semua senjata tepat mengenai sasaran, akan tetapi tidak ada sedikit kulit tubuh pemuda itu yang lecet, kecuali pakaiannya yang robek-robek dan orang-orang itu terpelanting ke sana-sini, bahkan ada yang terpukul oleh senjata mereka sendiri yang membalik. Makin keras orang menyerang, makin keras pula senjata mereka membalik. Bahkan Thian-tok sudah mengelus kepalanya yang benjol terkena kemplangan tongkatnya sendiri, sedangkan paha Ciang ham berdarah karena tombaknya pun membalik tanpa dapat ditahannya lagi ketika mengenai tubuh Sin Liong untukyang kedua kalinya. Ketika mereka memandang dengan mata terbelalak kepada Sin Liong, mereka melihat pemuda itu masih tersenyum-senyum, masih berdiri tegak dengan kedua lengan bersilang di depan dada, hanya bedanya, kini pakaiannya robek-robek dan penuh lobang. Thian-tok dan Thian-he Tee-it adalah orang-orang yang terkenal di dunia persilatan sebagai tokoh-tokoh besar yang sudah banyak mengalami pertempuran. Mereka tahu pula bahwa orang yang memiliki sinkang amat kuat dapat menjadi kebal, akan tetapi selama hidup mereka belum pernah menyaksikan kekebalan seperti yang dihadapi mereka sekarang ini. Kekebalan yang agaknya tanpa disertai pengerahan tenaga. Apalagi melihat cahaya aneh seperti melindungi tubuh pemuda itu, mereka maklum bahwa pemuda ini bukan orang sembarangan. Tanpa melawan saja pemuda ini telah membuat mereka tidak berdaya, betapa hebatnya kalau pemuda ini mengangkat tangan membalas! "Maafkan kami......!" Thian-tok berseru lalu melompat dan berlari pergi. "Sin-tong, maafkan......!" Ciang Ham juga berkata lalu menyeret tombaknya, terpincang-pincang pergi dari situ. Tentu saja para tokoh lain yang memang sudah merasa ngeri dan jerih, melihat kedua orang yang diandalkan itu lari, cepat membalikkan tubuh dan berserabutan lari dari situ meninggalkan SinLiong yang masih berdiri tegak di tempat itu. Swat Hong lari menghampiri suhengnya, lalu memeluk suhengnya itu. "Suheng......., kau tidak apa-apa......?" tanyanya. Sin Liong menggeleng kepala dan tersenyum. "Pakaian rusak mudah diganti, akhlak yang rusak lebih menyedihkan lagi karena mendatangkan malapetaka." "Ada apakah, Sumoi......?" Swat Hong menggelengkan kepala dan dia melepaskan rangkulannya, melangkah mundur dua tindak dan memandang suhengnya dengan pandang mata penuh takjub dan juga jerih. "Suheng, kau...... kau berbeda dari dulu......." "Aih, Sumoi, aku tetap Sin Liong suhengmu yang dahulu." "Tidak, tidak.....! kau berbeda sekali. Ilmu apakah yang kau pergunakan tadi? Mendiang Ayahku sekalipun tidak pernah memperlihatkan ilmu mujijat seperti itu........" "Apakah keanehannya, Sumoi? Ilmu yang berdasarkan kekerasan tentu hanya mengakibatkan pertentangan dan kerusakan belaka, dan setiap bentuk kekerasan hanya akan mecelakakan diri sendiri." "Suheng, ajarilah aku ilmu tadi....." "Tidak ada yang bisa mengajar, kelak kau akan mengerti sendiri, Sumoi. marilah kita lanjutkan perjalanan kita." Setelah berkata demikian, Sin Liong memegang tangan sumoinya dan terdengar jerit tertahan dara itu ketika dia merasa bahwa dia dibawa lari oleh suhengnya dengan kecepatan seperti terbang saja! Dia sendiri adalah seorang ahli ginkang yang memiliki ilmu berlari cepat cukup luar biasa, akan tetapi apa yang dialaminya sekarang ini benar-benar seperti terbang, atau seperti terbawa oleh angin saja! Makin yakinlah hatinya bahwa suhengnya telah menjadi seorang yang amat luar biasa kesaktiannya, menjadi seorang manusia setengah dewa! Gerakan pembalasan yang dilakukan oleh Kaisar Kerajaan Tang yang baru, yaitu kaisar Su Tiong, yang dilakukan dari Secuan, amat hebat. Gerakan pembalasan untuk merampas kembali ibu kota Tiang-an dari tangan pemberontak ini dibantu oleh pasukan yang dapat dikumpulkan di Tiongkok bagian barat, dibantu pula oleh pasukan Turki, bahkan pasukan Arab. Dengan bala tentara yang besar dan kuat, Kaisar Su Tiong melakukan serangan balasan terhadap pemerintah pemberontak yang tidak lagi dipimpin oleh An Lu Shan karena jenderal pemberontak itu telah tewas. Perang hebat terjadi selama sepuluh tahun, dan di dalam perang ini, para pemberontak dapat dihancurkan dan kota demi kota dapat dirampas kembali sampai akhirnya ibu kota dapat direbut kembali oleh Kaisar Su Tiong. Di dalam perang ini, Han Bu Ong putera The Kwat Lin yang bersama orang-orang kerdil membantu pemerintah pemberontak, tewas pula dalam pertempuran hebat sampai tidak ada satu orang pun orang kerdil tinggal hidup. Dalam tahun 766 berakhirlah perang yang mengorbankan banyak harta dan nyawa itu, namun kerajaan Tang telah menderita hebat sekali akibat perang yang mula-mula ditimbulkan oleh pemberontak An Lu Shan itu. Kematian yang diderita rakyat, pembunuhan-pembunuhan biadab yang terjadi di dalam perang selama pemberontakan ini adalah yang terbesar menurut catatan sejarah. Menurut catatan kuno, tidak kurang dari tiga puluh lima juta manusia tewas selama perang yang biadab itu! Bukan hanya kerugian harta dan nyawa saja, akan tetapi juga setelah perang berakhir, Kerajaan Tang kehilangan banyak kekuasaan atau kedaulatannya! Bantuan-bantuan yang diterima oleh Kaisar di waktu merebut kembali kerajaan, membuat Kaisar terpaksa membagi-bagi daerah kepada para pembantu yang diangkat menjadi gubernur-gubernur yang lambat laun makin besar kekuasaannya dan seolah-olah menjadi raja-raja kecil yang berdaulat sediri. Di samping itu, pemberontak An Lu Shan membentuk pasukan-pasukan yang ketika pemberontak dihancurkan, melarikan diri ke perbatasan dan menjadi pasukan-pasukan liar yang selalu merupakan gangguan terhadap kekuasaan pemerintah. Demikianlah, dengan dalih apapun juga, pemberontakan lahiriah hanya mendatangkan kerusakan dan malapetaka, karena tidaklah mungkin perdamaian diciptakan oleh perang! Menurut sejarah di seluruh dunia, tidak pernah ada revolusi jasmani mendatangkan perdamaian dan kesejahteraan. Kiranya hanyalah revolusi batin, revolusi yang terjadi di dalam diri setiap orang manusia, yang akan dapat mengubah keadaan yang menyedihkan dari kehidupan manusia di seluruh dunia ini. Dengan tewasnya Han Bu Hong di dalam perang itu, maka habislah semua tokoh yang keluar dari Pulau Es dan Pulau Neraka. Yang tinggal hanyalah Sin Liong dan Swat Hong berdua saja, akan tetapi kedua orang ini pun sudah kembali ke Pulau Es dan semenjak peristiwa di Hoa-san-pai itu, tidak ada lagi yang tahu bagaimana keadaan kedua orang itu dan, di mana adanya mereka! Yang jelas, Pulau Es masih ada dan kedua orang suheng dan sumoi yang saling mencinta itu pun masih hidup. Buktinya, beberapa tahun kemudian kadang-kadang mereka itu muncul sebagai manusia-manusia sakti menyelamatkan belasan orang nelayan yang perahunya diserang badai. Didalam kegelapan selagi badai mengamuk dahsyat itu, ketika perahu-perahu mereka dipermainkan badai dan nyaris terguling, tiba-tiba muncul sebuah perahu kecil yang didayung oleh seorang pria berpakaian putih dan seorang wanita cantik, dan kedua orang ini dengan kesaktian luar biasa menggunakan tali untuk menjerat perahu-perahu itu kemudian menariknya keluar dari daerah yang diamuk badai! Apakah mereka itu Sin Liong dan Swat Hong, tidak ada orang yang mengetahuinya karena setiap kali muncul menolong para nelayan dan para penghuni pulau-pulau yang berada di utara, kedua orang itu tidak pernah memperkenalkan nama mereka. Kalau benar mereka itu adalah Sin Liong dan Swat Hong, bagaimanakah jadinya dengan mereka? Apakah suheng dan sumoi yang saling mencinta dan yang telah kembali ke Pulau Es itu langsung menjadi suami isteri? Hal ini pun tidak ada yang tahu, karena agaknya bagi mereka berdua, menjadi suami isteri atau bukan adalah hal yang tidak penting lagi. Diri mereka telah dipenuhi oleh cinta kasih, bukan cinta kasih yang biasa melekat di bibir manusia pada umumnya, karena cinta kasih seperti itu telah diselewengkan artinya, cinta kasih kita manusia hanya akan mendatangkan kesenagan dan kesusahan belaka dan justeru karena cinta kasih kita itu mendatangkan kesenangan maka dia mendatangkan pula kesusahan karena kesenangan dan kesusahan adalah saudara kembar yang tak mungkin dapat dipisah. Puluhan tahun, bahkan seratus tahun kemudian di dunia kang-ouw timbul semacam cerita setengah dongeng tentang seorang manusia setengah dewa yang mereka sebut Bu Kek Siansu, seorang laki-laki tua yang sederhana namun yang pribadinya penuh cinta kasih, cinta kasih terhadap siapa pun dan apa pun. Bu Kek Siansu yang dikenal sebagai tokoh Pulau Es dan menurut cerita tradisi dari keturunan tokoh-tokoh seperti Tee Tok Siangkoan Houw, Lam Hai Sengjin dan muridnya, Kwee Lun, Gin-siauw Siucai, tokoh-tokoh Hoa-san-pai, katanya bahwa Bu Kek Siansu itu adalah anak yang dahulu disebut Sin-tong Anak Ajaib, yaitu pemuda Kwa Sin Liong yang menghilang bersama sumoinya, Han Swat Hong, dan yang kabarnya menetap di Pulau Es, tidak pernah lagi terjun ke dunia ramai. Dan memang seorang manusia seperti Bu Kek Siansu tidak pernah mau menonjolkan diri, selalu bergerak tanpa pamrih, hanya digerakan oleh cinta kasih. Maka kita pun tidak mungkin dapat mengikuti seorang manusia seperti Bu Kek Siansu, dan hanya kadang-kadang saja dapat melihat muncul di antara orang banyak, dan di dalam dunia persilatan, Bu Kek Siansu akan muncul di dalam ceritera "Suling Emas". Demikinlah, terpaksa pengarang menutup cerita "Bu Kek Siansu" ini yang hanya dapat menceritakan pengalaman pemuda Kwa Sin Liong sewaktu dia belum menjadi seorang Bu Kek Siansu, sewaktu dia belum memiliki cinta kasih sehingga masih diombang-ambingkan oleh suka dan duka dalam kehidupannya. Dengan mengenangkan isi nyanyian yang dinyanyikan oleh anak nelayan itu, penulis mengajak para Pembaca Budiman untuk sama-sama mempelajari dan mudah-mudahan kita pun akan memiliki Cinta Kasih melalui pengenalan diri pribadi. Teriring salam bahagia dari pengarang dan sampai jumpa kembali di kisah SULING EMAS
Kwa Sin Liong Naga Sakti adalah anak tunggal dari keluarga Kwa, seorang pedagang obat terkenal di kota Kun Leng, sebelah timur Pegunungan Jeng Hoa San. Dikisahkan pada suatu malam rumahnya disatroni 3 orang pencuri yang kemudian membunuh Ayah Ibunya dengan bacokan golok. Pada saat itu umur Sin Liong lima tahun. Ketiga pencuri itu kemudian tertangkap dan dibantai oleh para tetangganya yang gemas karena telah dengan kejam membunuh keluarga Kwa. Semua kejadian itu; pembunuhan Ayah Ibunya dan pembantaian ketiga pencuri disaksikan Kwa Sin Liong dengan mata kepalanya sendiri sehingga membuatnya ngeri. Dia kemudian lari dari rumahnya dan sampai ke gunung Jeng Hoa San atau Gunung seribu bunga. Karena merasa nyaman dia menetap di gunung tersebut sampai 2 tahun lamanya dan belajar obat-obatan. Karena kepandaiannya dalam hal pengobatan dia kemudian mendapat julukan Sin Tong atau anak ajaib dari warga belajar pengobatan, kebiasaannya menjemur diri di sinar matahari pagi dan di bawah terang bulan purnama membuatnya memiliki tulang kuat dan darah yang bersih. Kenyataan ini menarik minat kaum datuk persilatan untuk mengangkatnya menjadi murid. Perebutan atas diri Sin Liong akhirnya dimenangkan oleh Pangeran Han Ti Ong, seorang sakti keturunan raja yang bertempat tinggal di sebuah tempat yang mendekati dongeng di laut utara, yang dikenal di kalangan kangouw sungai-telaga dengan nama Pulau Sin Liong pada usia muda sudah berhasil memecahkan intisari dari bela diri dan kemudian juga mewarisi kemampuan menirukan serta mengetahui kelemahan ilmu orang lain dalam sekali lihat dari suhunya Pangeran Han Ti Ong, penguasa Pulau Es. Kwa Sin Liong menjadi pewaris Pulau Es, setelah kerajaan yang dipimpin Han Ti Ong musnah diterjang banjir besar. Karena kemampuan silat dan filsafatnya yang tak terukur nalar, dia kemudian dijuluki Bu Kek Siansu dan dilegendakan sebagai manusia setengah Kek Siansu mempunyai kebiasaan menurunkan satu jenis ilmu silat setiap awal musim semi, tanpa membedakan siapapun yang beruntung mendapat petunjuknya, sesat atau lurus. Namun secara resmi Bu Kek Siansu hanya mempunyai tiga orang murid, yakni Kwee Seng, Kam Bu Song dan Kam Han Ki. Tokoh lain yang beruntung mendapat petunjuk darinya meski tidak secara langsung ada juga seperti Maya dan Khu Siauw Bwee. Tokoh legenda ini terakhir kali muncul di kangouw pada episode Istana Pulau Es.
Sin Liong bertanya, suarnya gemetar karena dia merasa tegang sekali. Benarkah bahwa Swat Hong terancam nyawanya dan mungkin sekali sudah tewas? Hampir dia memekik untuk melampiaskan kekhawatirannya. Tidak! Tidak mungkin! Tidak boleh! "Di mana dia? Hayo katakan!" Dia mengguncang tangan orang kerdil itu. Tubuh orang itu menggigil. "Dia... di dalam guha sana itu.... lihat, di sana ada lubang besar, bukan?" "Tidak.... tidak, aku takut....! Mereka menjebaknya di sana, tempat itu adalah sarang laba-laba raksasa yang mengerikan. Kurasa dia sudah tewas ....." Sin Liong tidak perduli dan menyeret orang itu menuju ke lubang besar yang berada di sebelah kiri lorong, melalui bantu-batu menonjol yang ujungnya seruncing pedang. Setelah tiba di situ, tiba-tiba dia mendengar suara lirih. "Sumoi....!" Dia berteriak. "Suheng.... aihhhh.... Suheng....!" Terdengar suara tangis. Swat Hong yang menangis. Masih hidup! Hampir Sin Liong bersorak saking girangnya dan dia mendorong orang kerdil itu sampai terguling-guling lima meter jauhnya. Orang kerdil itu merangkak dan pergi akan tetapi Sin Liong tidak memperdulikannya lagi. Dia sudah memasuki guha dan terus ke dalam, membelok ke kiri, ke arah suara Swat Hong. Tiba-tiba dia terbelalak, otomatis dia memasang kuda-kuda dengan pedang tiangkat tinggi-tinggi dan tangan kiri siap di depan dada. Matanya yang terbelalak memandang tajam kepada seekor laba-laba raksasa sebesar kerbau, dengan sepasang anggauta bulat seperti mata melotot kepadanya. Di belakang laba-laba itu tampak sarang laba-laba yang bukan main besarnya, benang sarang laba-laba itu sebesar jari-jari tangan, nampak kuat sekali dan di tengah-tengah sarang itu, tubuh Swat Hong menempel dengan kedua lengan terpentang, juga kakinya agak terpentang dan bagian tubuh dara itu agaknya melekat kepada sarang itu, tak dapat dilepaskan lagi. Gadis itu menangis ketika melihatnya dan hanya dapat berkata, "Suheng....., cepat kau bunuh binatang menjijikan itu....!" Sin Liong mencium bau harum yang aneh dan keras, dan maklumlah dia bahwa tempat itu penuh dengan hawa beracun! Laba-laba ini selain besar sekali juga beracun. Heran dia mengapa Swat Hong masih dapat hidup, akan tetapi dia tidak memperdulikan atau memusingkan hal itu, yang penting adalah menolong sumoinya. "Tenanglah, Sumoi. Aku segera menolongmu," Katanya dengan suara gemetar saking girang dan terharunya Laba-laba itu memandang buas. Begitu melihat Sin Liong, dia merangkak maju dengan cepat sekali dan tiba-tiba, berbarengan dengan gerakan kaki depan dan mulutnya, sinar putih menyambar ke arah Sin Liong. Itulah benang besar yang mengandung daya lekat luar biasa sekali, Sin Liong menggerakan pedang rampasannya dan tali putih itu terbabat putus, kemudian dia melangkah maju, mengelak dari sambaran tali ke dua kemudian dari samping dia menggerakan kaki menendang. Betapa besar pun ukuran tubuh binatang itu, namun terkena tendangan kaki Sin Liong, dia terlempar, terbanting pada dinding batu, terhuyung-huyung lalu menghamburkan banyak benang putih ke arah Sin Liong. Pemuda ini meloncat untuk mengelak dan ketika dia memandang lagi, ternyata laba-laba itu telah lari menghilang melalui sebuah lubang di celah-celah dinding batu. Cepat Sin Liong menghampiri Swat Hong, berusaha menurunkan tubuh gadis itu, akan tetapi ternyata sukar sekali karena sarang itu mengandung daya lekat yang dapat merobek pakaian Swat Hong. Sin Liong menggerakan pedangnya karena dia melihat bahwa sarang itu tergantung pada benang-benang pokok terbesar yang malang melintang dan melekat pada tanah dan pada langit-langit guha. Pedangnya menyambar-nyambar dan runtuhlah sarang itu, membawa tubuh Swat Hong terjatuh ke bawah. Gadis itu telah lemas sekali dan tentu akan terbanting kalau saja tidak disambar oleh Sin Liong. Pemuda itu membersihkan benang-benang laba-laba itu dan memondong tubuh sumoinya yang lemas menjauhi tempat itu. Ketika dia tiba di bagian yang lebar dari lorong itu, dia menurunkan sumoinya yang duduk bersandar batu. "Bagaimana keadaanmu, Sumoi?" tanyanya sambil memeriksa nadi lengan sumoinya. Detik jantungnya lemah, mukanya pucat dan tenaganya habis, akan tetapi yang mengkhawatirkan adalah kenyataan bahwa sumoinya itu telah keracunan! "Untung.... untung kau datang, Suheng.... kalau tidak.....aku sudah hampir tidak kuat....." Gadis itu tiba-tiba merangkul dan menangis dipundak Sin Liong. Pemuda itu membiarkan saja Swat Hong menangis. Tak lama kemudian dia berkata, "Laba-laba itu beracun, kau terkena hawa beracun, akan tetapi berapa lama kau tertawan seperti itu?" "Sejak malam tadi....... ahhhh, mengerikan sekali, Suheng...." "Sudahlah, mari kubantu engkau mengusir hawa beracun yang mengeram di tubuhmu." "Nanti dulu aku harus menceritakan dulu kepadamu....." Swat Hong berkata terengah-engah, "Ceritaku akan dapat mengusir kengerian yang masih mencengkeram hatiku suheng." Sin Liong mengangguk. Menurut halis menyelidikan tadi, biarpun terserang hawa beracun namun keadaan Swat Hong tidak berbahaya dan malah lebih berbahaya ketegangan dan pukulan batin yang dideritanya selama satu malam itu. Memang menceritakan kengerian yang mencengkeram merupakan obat mujarab pula, seolah-olah kengerian yang ditahan-tahan itu memperoleh jalan keluar dan dapat meringankan hati yang tertekan. "Aku mengejar mereka dan mereka itu lenyap. Aku penasaran dan mencari terus, selalu tampak berkelebatnya bayangan mereka sehingga pengejaranku terarah. Aku sama sekali tidak mengira bahwa mereka memang memancingku ke tempat ini. Ketika aku melihat bahwa cuaca mulai gelap, aku melihat pula sinar api di depan dan terus aku mengejarnya. Kemudian, di antara sinar obor aku melihat beberapa orang kerdil lari memasuki guha ini. Aku cepat mengejar dan melihat bayangan mereka dekat sekali. Kupikir asal dapat menangkap seorang diantara mereka dan memaksanya menjadi petunjuk jalan, tentu beres. Maka melihat bayangan mereka begitu dekat di dalam guha ini, aku menerjang dan melompat maju, bermaksud menangkap seorang di antara mereka." Sin Liong mendengarkan penuh perhatian dan diam-diam dia membandingkan pengalaman sumoinya dan pengalamannya sendiri. Ternyata jalan pikiran mereka untuk menawan seorang lawan adalah sama, hanya sayangnya, sumoinya tidak tahu bahwa dia sedang dipancing memasuki jebakan yang amat mengerikan. "Ketika aku meloncat itu, aku tidak tahu bahwa di depanku terdapat sarang laba-laba itu. Tubuhku tertangkap, aku meronta-ronta namun laba-laba itu terus menambah tali-tali mengerikan itu yang mempunyai daya melekat luar biasa. Aku meronta terus sampai kehabisan napas dan melihat laba-laba itu begitu dekat, seolah-olah hendak menjilatku dan hendak menggigit, aku pingsan entah beberapa kali." "Hemm, engkau masih untung dapat terhindar, Sumoi. Sungguhpun aku merasa heran sekali...." "Dapat kaubayangkan betapa ngeriku, Suheng, ketika aku siuman, tak jauh dari situ terdapat obor yang mendatangkan cahaya remang-remang amat mengerikan, dan aku terjerat sama sekali tak mampu bergerak, dan laba-laba itu ...... mendekati aku, lalu mundur kembali, mendekati lagi seperti ragu-ragu.....ihh, melihat kaki yang berbulu itu, meraba-raba....." Swat Hong kembali menutupi mukanya dan terisak-isak. "Memang hebat sekali pengalamanmu, Sumoi. Akan tetapi yang penting, engkau dapat terhindar. Hanya satu hal aku tidak mengerti, mengapa selama itu laba-laba raksasa tadi tidak menggigitmu? Padahal dia amat berbisa." Swat Hong mengeluarkan sebuah batu sebesar kepalanya, batu yang berkilauan mengeluarkan cahaya hijau. "Ah kiranya engkau membawa bekal Batu Mustika Hijau? Pantas! Tentu saja binatang itu tidak berani menggigitmu, bahkan setiap kali mendekat menjadi ketakutan dan mundur kembali. Untung sekali, Sumoi, sekarang, marilah kubantu engkau mengusir hawa beracun dari tubuhmu." "Baiklah Suheng.... aku...... ahhhh......" Tiba-tiba napasnya menjadi sesak dan Swat Hong terguling pingsan! Sin Liong cepat menyambar tubuh sumoinya dan memeriksanya. Dia merasa heran sekali karena begitu memeriksa, dia mendapat kenyataan bahwa keadaan sumoinya tidak seringan yang diduganya semula. hal ini adalah karena tadi sumoinya meletakan Batu Mustika Hijau itu di pinggangnya, maka ketika pada pemeriksaan pertama, hawa beracun agak tertolak oleh mustika itu sehingga kelihatanya hanya ringan. Sekarang, setelah batu itu dikeluarkan, daya tolak racun dari batu itu meninggalkan tubuh Swat Hong dan hawa beracun yang amat jahat itu menyerang sepenuhnya membuat Swat Hong roboh pingsan. Sin Liong tidak ragu-ragu lagi, cepat dia memijat tengkuk dan mengurut kedua urat besar di pundak. Swat Hong mengeluh lirih dan membuka matanya. "Sumoi, kau ternyata terluka hebat juga di sebelah dalam tubuhmu oleh hawa beracun itu. Lekas kau buka baju atas, aku harus mengerahkan sinkang, menempelkan tangan di punggungmu, langsung tidak tertutup pakaian." Suara Sin Liong sungguh-sunggu dan Swat Hong juga mengerti akan keadaannya yang berbahaya. Dia merasa penting dan dadanya sesak sekali, maka tanpa membuang waktu lagi dia lalu membuka bajunya, duduk membelakangi Sin Liong dan membiarkan punggungnya terbuka sama sekali. "Aughhh....ahhh, panas sekali..... ah, Suheng, badanku seperti dibakar rasanya...." Swat Hong merintih sambil memegangi bajunya dan mencegah baju itu merosot. "Tenanglah, Sumoi. Biar kumulai, kau menerima sajalah hawa sinkang dariku." Sambil duduk bersila di belakang Swat Hong, Sin Liong lalu mnyalurkan tenaga sinkang yang dingin, menempelkan telapak tangan pada pungung yang berkulit putih mulus, halus dan pada saat itu panas sekali. Setelah telapak tangannya menempel, baru Sin Liong tahu betapa hawa beracun itu mendatangkan hawa panas yang makin lama makin hebat. Ahh, dia terlalu sembrono, mengira luka sumoinya tadi ringan saja sehingga tidak segera mengobati sumoinya. Swat Hong merasa tersiksa, mulutnya terbuka dan dia merintih-rintih. Hawa panas luar biasa yang menyerang dari dalam membuatnya berpeluh, akan tetapi kini terasa olehnya betapa dari telapak tangan di punggungnya itu masuk perlahan-lahan hawa dingin, sedikit demi sedikit. Dia ingin membatu Sin Liong akan tetapi diurungkannya niat itu. Biarlah, dia ingin melihat sampai di mana pemuda itu akan membelanya. Dia tahu bahwa mengerahkan Swat-im-sin-kang untuk mengusir hawa beracun yang panas itu membutuhkan pengerahan tenaga yang kuat, apalagi harus dilakukan sedikit demi sedikit dengan hatihati sehingga akan menghabiskan tenaga. Pula, begitu merasa telapak tangan pemuda itu di punggungnya yang telanjang, semacam perasaan aneh memasuki hatinya dan dia ingin agar telapak tangan suhengnya itu tidak lekas dilepaskan dari pungungnya! Karena itulah dia tidak mau membantu, membiarkan suhengnya mengerahkan tenaga sendiri untuk mengusir hawa beracun itu. Sin liong tidak menaruh curiga, hanya mengira bahwa sumoinya terlalu lelah sehingga tidak kuat membantunya. Hal ini malah membuat dia makin bersemangat mengerahkan tenaganya. Mukanya mulai meneteskan keringat dan dia memejamkan matanya, memusatkan seluruh hati dan pikirannya ke dalam usaha pengobatan itu. Dia tidak tahu betapa sumoinya tersiksa, bukan hanya tersiksa oleh bentrokan antara tenaga Swat-im-sin-kang yang mengusir hawa beracun panas melainkan juga tersiksa oleh perasaannya sendiri yang tidak karuan. Tidak melihat betapa Swat Hong mengepal tangan kirinya, mulutnya terbuka terengah-engah, dan dimukanya tidak hanya peluh yang menetes, melainkan juga air mata! Juga keuda orang muda ini tidak tahu betapa di tempat itu muncul bayangan seorang kakek yang berdiri tegak memandang mereka sambil mengelus jenggotnya. Kakek ini berpakaian rapi dan sederhana bentuknya namun yang terbuat dari kain yang mahal, jenggotnya yang panjang terpelihara rapi, sudah banyak putihnya, dan rambutnya yang putih juga tersisir rapi dan digelung ke atas, diikat dengan pembungkus rambut sutera biru dan ditusuk dengan tusuk konde emas. Wajah kakek ini biarpun sudah tua namun masih kelihatan tampan dan bersih, ketampanan yang membayangkan kekejaman, apa lagi dari sinar mata dan tarikan mulutnya yang seperti orang mengejek. Kalau tidak melihat mulut dan sinar matanya, kakek ini tentu akan menimbulkan rasa hormat karena dia lebih pantas menjadi seorang pendeta atau pertama yang agung. Kakek itu mengelus jenggotnya dan pandang matanya tertuju kepada tubuh belakang Swat Hong yang telanjang. Sinar matanya seperti membelai-belai punggung yang melengkung indah itu, yang terakhir di bawah membesar sampai ke pinggul yang hanya tertutup sebagian oleh baju yang merosot, dari samping punggung tampak membayang tonjolan buah dada yang gagal tertutup sama sekali oleh baju yang dipegang oleh tangan Swat Hong. Dalam keadaan tanggung-tanggung ini, telanjang sama sekali bukan dan tertutup rapat juga bukan, keadaan Swat Hong mendatangkan daya tarik yang luar biasa, dan mudah membangkitkan gairah seo rang pria yang memang benaknya penuh terisi oleh khayalan-khayalan cabul! Siapakah kakek yang usianya kurang lebih enam puluh tahun akan tetapi masih begitu tertarik melihat punggung telanjang seorang dara? Dia adalah seorang bertapa yang belum lama turun dari pertapaannya di lereng Pegunungan Himalaya. Selama dua puluh tahun dia meninggalkan daratan besar merantau ke barat dan akhirnya bertapa di lereng Himalaya, bertemu dengan pertapa-pertapa sakti dan mempelajari ilmu. Dahulunya dia adalah seorang tosu yang ingin memperdalam ilmunya. Akan tetapi setibanya di Himalaya, dia bertemu dengan ahli ilmu hitam sehingga pelajaran Agama To diselewengkan menjadi pelajaran kebatinan yang penuh dengan ilmu sihir yang aneh-aneh. Dan karena memang di dalam dirinya belum bersih, ilmu hitam yang dipelajarinya membuat semua kekotoran di dalam dirinya itu menonjol dan mencari jalan keluar, dibantu dengan ilmu sihirnya sehingga pendeta Agama To ini menyeleweng menjadi seorang pertapa atau pendeta palsu yang tidak segan-segan melakukan apa pun demi mencapai kenikmatan dan kesenangan dunia. Nama pendeta ini adalah Ouwyang Cin Cu, sorang yang memiliki kepandaian silat tinggi, akan tetapi lebih-lebih lagi, memiliki kekuatan sihir yang membuat dia terpakai sekali tenaganya oleh Jenderal An Lu Shan. Berkat ilmu sihir dari Ouwyang Cin Cu inilah, yang merupakan obat "guna-guna" , maka An Lu Shan yang kasar itu berhasil memikat hati Yang Kui Hui! Dia mengunjungi An Lu Shan dan dengan demonstrasi kepandaiannya, baik silat maupun sihir, dia diterima dengan tangan terbuka dan diberi kedudukan tinggi, yaitu penasihat urusan dalam dari Jenderal itu! Tentu saja dia tidak dapat menjadi penasehat urusan perang karena dia sama sekali tidak mengerti akan ilmu perang. Mulailah Ouwyang Cin Cu hidup mewah dan terhormat di dalam istana An Lu Shan, segala kehendaknya terlaksana. Kemewahan, kehormatan, dan pelampiasan nafsu berahinya karena disediakan banyak pelayan-pelayan wanita muda yang cantik-cantik untuk kakek ini! Pada waktu itu, Ouwyang Cin Cu diutus oleh An Lu Shan untuk mengunjungi Rawa Bangkai, karena An Lu Shan yang sudah tahu akan kelihaian dua orang wanita The Kwat Lin dan Kiam-mo Cai-li, mempunyai niat untuk menarik kedua wanita itu sebagai pembantu dalam dan pengawalnya. Hal ini menunjukan kecerdikan Jenderal itu. Dia tahu bahwa The Kwat Lin adalah bekas Ratu Pulau Es, maka selain memiliki ilmu silat yang hebat, tentu juga memiliki ambisi-ambisi pribadi terhadap kerajaan yang hendak mereka gulingkan dan rampas. maka kalau wanita seperti itu diberi kesempatan memperoleh kekuasaan dengan pasukan yang kuat, kelak tentu akan menjadi penghalang dan saingan belaka. Berbeda kalau wanita itu ditugaskan mengawalnya, segala gerak-geriknya dapat diawasi selain tenaganya dapat dipergunakan untuk mengawalnya sehingga dia akan merasa lebih aman dan terjamin keselamatannya. Demikianlah, Ouwyang Cin Cu lalu diutusnya mengunjungi Rawa Bangkai setelah lima orang utusan pertama ke Rawa Bangkai yaitu Bi Swi Nio, Liem Toan Ki dan tiga orang kakek lain berhasil dengan baik mengunjungi Rawa Bangkai. Sekali ini, Ouwyang Cin Cu membawa surat pribadinya yang dengan ramah mengundang kedua orang wanita itu untuk mengunjungi istananya untuk mengadakan perundingan. Kedatangan Ouwyang Cin Cu menimbulkan kegemparan, juga disambut dengan kagum oleh The Kwat Lin dan Kiam-mo Cai-li. Ketika lima orang utusan yang terdahulu datang, Kiam-mo Cai-li telah memberikan rahasia jalan menuju ke Rawa Bangkai tanpa menyeberangi rawa, yaitu melalui jalan terowongan di bawah tanah, dari balik gunung yang dijaga oleh orang-orang kerdil yang juga sudah takluk dan menjadi kaki tangannya. Maka kedatangan Ouwyang Cin Cu sekali ini tidaklah sukar, dan Ouwyang Cin Cu dengan kepandaiannya yang tinggi dapat menyelinap melalui terowongan dan menembus ke pulau di tengah rawa. Betapa kagetnyasemua orang ketika melihat seorang kakek datang menunggangi seekor harimau! The Kwat Lin dan Kiam-mo Cai-li melompat ke depan, siap untuk menghadapi lawan, akan tetapi Ouwyang Cin Cu yang masih duduk di atas pungung harimau itu tertawa, memperlihatkan deretan giginya yang masih lengkap. "Apakah Jiwi yang bernama The-lihiap dan Kiam-mo Cai-li yang terkenal itu?" "Benar, siapakah Totiang?" Tanya The Kwat Lin hati-hati karena sikap tosu ini menunjukan bahwa dia adalah seorang yang berilmu tinggi. "Ha-ha-ha, benar-benar tidak berlebihan yang pinto dengar. Kalian selain gagah perkasa juga amat cantik. Pinto adalah Ouwyang Cin Cu, utusan pribadi An-goanswe dan inilah surat beliau untuk Jiwi!" Dia menggosok kedua telapak tangannya dan tampaklah asap mengepul tinggi. Asap itu membentuk bayangan seorang pelayan istana yang cantik, yang berjalan terbongkok-bongkok kepada kedua orang wanita itu dan menyerahkan sebuah sampul surat! Tentu saja The Kwat Lin dan Kiam-mo Cai-li bengong terlongong menyaksikan permainan sulap yang hebat ini. The Kwat Lin menerima surat itu sambil mengerahkan sinkangnya dan.....wushhhh, wanita pelayan itu lenyap tanpa bekas! "Ha-ha-ha, The-lihiap benar hebat!" Ouwyang Cin Cu berseru dan dia meloncat turun dari atas punggung harimau, lalu meniup ke arah harimau itu dan..... harimau itu tertiup dan melayang tinggi lalu lenyap di angkasa! Tentu saja semua ini adalah hasil sihir dari Ouwyang Cin Cu. Harimau dan pelayan wanita itu tentu saja tidak ada sesungguhnya, yang ada hanyalah Ouwyang Cin Cu yang mempergunakan kekuatan sihirnya mempengaruhi dua orang wanita itu sehingga mereka melihat apa yang dikhayalkan oleh Ouwyang Cin Cu! Padahal, yang menyerahkan surat adalah pendeta itu sendiri yang datang dengan jalan kaki. Kiam-mo Cai-li tertawa. "Hi-hik, kiranya utusan An-goanswe adalah seorang tukang sulap!" Ouwyang Cin Cu memandang wanita itu sambil tersenyum. Mereka saling pandang dan sudah ada kecocokan di antara mereka. Kiam-mo Cai-li dapat melihat bahwa kakek itu, biarpun usianya sudah enam puluh tahun, namun masih tampan gagah dan matanya bersinar-sinar penuh nafsu! Sebaliknya Ouwyang Cin Cu juga dapat mengenal Kiam-mo Cai-li, seorang wanita yang biarpun usianya sudah setengah abad lebih, namun memiliki nafsu yang besar dan awet muda karena terlalu banyak mempermainkan dan menghisap hawa muda dari banyak perjaka! Dia tersenyum makin lebar dan berkata, "Bukankah Cai-li suka akan ilmu sulap? Kita berdua suka bicara dan bersikap terang-terangan, tanpa menutupi badan sama sekali, bukan?" Kalau bukan Kiam-mo Cai-li yang terkena sihir itu, tentu dia akan menjerit saking kaget dan ngerinya. Betapa tidak akan ngeri kalau tiba-tiba dia melihat dia sendiri dan Ouwyang Cin Cu tidak berpakaian sama sekali, telanjang bulat sama sekali di tengah-tengah orang banyak itu! Akan tetapi, ketika dia melirik dan melihat bahwa The Kwat Lin dan yang lain-lain tidak mengadakan berubahan apa-apa, tahulah dia bahwa yang melihat mereka telanjang bulat itu hanyalah mereka berdua! Diapun tersenyum dan menjelajahi tubuh telanjang kakek itu dengan pandang mata kagum, seperti yang dilakukan pula oleh Ouwyang Cin Cu kepadanya. Pertapa cabul itu lalu diterima sebagai tamu terhormat, dijamu oleh The Kwat Lin dan Kiam-mo Cai-li. Seperti dapat diduga lebih dulu, di antara Ouwyang Cin Cu dan Kiam-mo Cai-li segera terjadi hubungan gelap yang amat mesra. The Kwat Lin tahu akan hal ini dan diam-diam merasa geli, akan tetapi karena dia pun tahu akan kesukaan Kiam-mo Cai-li yang sering mengeram laki-laki muda di dalam kamarnya, dia pura-pura tidak tahu. Persiapan lalu dibuat oleh kedua orang wanita itu untuk ikut Ouwyang Cin Cu mengunjungi An Lu Shan. Akan tetapi sebelum mereka berangkat, terjadilah peristiwa kedatangan Sin Liong dan Swat Hong yang dikabarkan oleh orang-orang kerdil kepada mereka. Ketika mendengar dengan jelas dan tahu bahwa yang datang menyerbu adalah Kwa Sin Liong dan Han Swat Hong, muka The Kwat Lin menjadi pucat sekali. Dia tahu bahwa biarpun dia jarang bertemu tanding di daratan besar setelah dia lari dari Pulau Es, namun menghadapi kedua orang muda itu dia tidak boleh main-main, apalagi menghadapi Sin Liong yang dia tahu memiliki ilmu kepandaian hebat sekali dapat dikatakan mewarisi seluruh kepandaian bekas suaminya, Han Ti Ong! "Aihh...., mereka datang.....??" Tak terasa lagi keluar seruan dari mulutnya. Kiam-mo Cai-li dan Ouwyang Cin Cu yang sedang duduk berhadapan di meja makan bersama The Kwat Lin, memandang dengan kaget dan juga heran. Baru sekarang Cai-li menyaksikan sahabatnya itu kelihatan takut! "Siapakah mereka, Lin-moi?" Persahabatan antara The Kwat Lin dan Kiam-mo Cai-li telah menjadi sedemikian eratnya sehingga mereka saling menyebut moi-moi dan cici. "Mereka?" Kwat Lin menjawab dan mukanya masih pucat. "Mereka adalah penghuni Pulau Es. Kwa Sin Liong adalah murid utama dari Han Ti Ong, sedangkan Han Swat Hong adalah puterinya!" Kiam-mo Cai-li dapat menduga bahwa tentu kedatangan mereka itu mempunyai niat yang tidak baik. "Habis, apa yang harus kita lakukan?" "Kita harus siap menghadapi mereka. Mereka lihai sekali, terutama Sin Liong! Atau jebakan agar mereka terperosok. kalau sampai mereka berhasil menerobos ke sini, berbahaya sekali!" Kata Kwat Lin, masih tetap takut. "Wah, Ibu. Mengapa bingung? Bukankah di sini terdapat Bibi Cai-li, juga ada Ouwyang Totiang, dan Ibu sendiri di samping puluhan orang anak buah. Biarkan mereka datang dan kita hancurkan mereka!" Tiba-tiba Bu Ong berkata dengan gayanya yang jumawa. Mendengar ini, Ouwyang Cin Cu tertawa dan mengelus kepala pemuda tanggung itu. "Engkau hebat sekali, Han-kongcu! masih kecil ini memiliki keberanian yang luar biasa. Benar puteramu, The-lihiap. Biarlah para orang kerdil menjebak mereka, kalau jebakan itu tidak berhail, biarlah pinto yang menghadapi mereka. Li-hiap dan Cai-li boleh siap-siap saja menyambut mereka sebagai tawanan atau sebagai mayat." Kiam-mo Cai-li segera mengatur sendiri orang-orang kerdil untuk memancing dan menjebak Sin Liong dan Swat Hong, sedangkan Ouwyang Cin Cu mengintai dan membayangi gerakan dua orang muda itu. The Kwat Lin juga sudah siap-siap kalau kedua orang pembantu itu gagal. Demikianlah, setelah Sin Liong berhasil menyelamatkan Swat Hong dan sedang mengobatinya, muncul Ouwyang Cin Cu mengagumi ketelanjangan punggung Swat Hong yang berkulit putih mulus dan halus menggairahkan hatinya itu. Melihat betapa dengan pengerahan sinkang pemuda itu berhasil mengusir hawa beracun, dia menjadi kagum sekali kepada pemuda itu. Timbullah keinginan yang aneh dalam batin kakek yang penuh kecabulan itu. nafsunya yang tadi bergolak hanya dengan melihat punggung yang putih mulus dari Swat Hong itu kini berubah. Dia dapat melihat bahwa pemuda dan pemudi di dalam guha itu masih murni, maka timbullah keinginannya menyaksikan mereka itu bermain cinta! Memang demikianlah, Kecabulan bukan hanya keinginan untuk berzinah sendiri dengan orang yang menimbulkan nafsunya, melainkan juga dapat berbentuk keinginan untuk menyaksikan orang lain bermain cinta. Hal ini juga timbul karena kekagumannya menyaksikan pemuda itu sanggup mengusir hawa beracun dengan sinkang, tanda bahwa pemuda itu merupakan lawan tangguh. Jika dia berhasil menggunakan sihir dan guna-guna untuk membuat pemuda itu "jatuh" tentu dalam keadaan seperti yang dikehendakinya itu, akan mudah saja menawan dua orang muda yang agaknya ditakuti oleh The Kwat Lin itu. Bagaikan bayangan setan saja, kakek itu menyelinap di balik batu dan tak lama kemudian tampak asap mengepul dari tiga batang hio dupa yang menyebarkan bau harum, sedangkan kakek itu sendiri sudah duduk bersila, kedua lengan diluruskan ke depan, ke arah muda-mudi itu dan sepasang matanya terbelalak memandang seperti sepasang mata setan! Ilmu sihir yang dipergunakan oleh Ouwyang Cin Cu adalah ilmu hitam yang dikuasainya dengan latihan-latihan yang berat dan mengerikan. Di dalam ilmu ini terkandung kekuasaan mukjizat yang hanya dikenal oleh mereka yang memuja setan iblis dan segala roh jahat yang mereka percaya ditambah dengan kekuatan dari tenaga sakti sinkang dan latihan yang tekun, dicampur dengan bermacam mantra yoga. Untuk melatih kekuatan matanya, bertahun-tahun Ouwyang Cin Cu bertapa menghadapi dupa membara sampai kekuatan pandang matanya dapat membuat api membara di ujung dupa itu membesar atau mengecil, mengepulkan asap atau tidak menurut kehendak pikiran yang disalurkan melalui pandangan matanya yang tajam itu. Kini, dibantu dengan bau asap dupa yang harum dan aneh, dia mulai menjatuhkan sihirnya, matanya memandang dengan pengaruh yang amat dahsyat, bibirnya berkemak-kemik membaca mantra. Mula-mula Swat Hong yang terpengaruh hawa mukjizat itu. Hal ini tidaklah mengherankan karena tentu saja Sin Liong memiliki daya tahan yang jauh lebih kuat dibandingkan dengan sumoinya, juga memang sebelumnya Swat Hong sudah tersiksa oleh perasaannya sendiri, perasaan mesra yang aneh yang sejak tadi menyelinap dan mengaduk hatinya ketika merasa betapa telapak tangan suhengnya menyentuh punggungnya. Karena memang sudah timbul perasaan wajar dari seorang gadis yang normal dan sehat, terdorong oleh rasa cintanya kepada suhengnya itu, maka tidaklah mengherankan ketika diserang oleh kekuatan sihir, Swat Hong mudah sekali terkena. Dia mengeluh dan merintih lirih, tubuhnya gemetar semua, mukanya berubah merah seperti dibakar, napasnya terengah-engah, kedua tangannya mengepal dan dia tidak peduli lagi bajunya yang tadi ditahan dengan tangan di bagian depan daadnya, merosot dan terbuka. Setelah gelisah bergerak ke kanan kiri, kemudian dia menoleh, memandang kepada suhengnya yang masih duduk bersila dengan muka menunduk dan mata terpejam. "Iihhhh.... aahhh.... Suheng....!" Swat Hong mengeluh, lalu membalikan tubuhnya dan serta merta merangkul leher Sin Liong sambil terengah-engah seperti orang hendak menangis. Sin Liong membuka matanya dan dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika dia melihat bahwa sumoinya dalam keadaan setengah telanjang karena pakaian bagian atasnya terlepas setelah merangkulnya. Dia berseru dan barulah dia merasa betapa kepalanya seketika menjadi pening, pandang matanya menjadi berkunang dan hidungnya mencium bau yang harum dan aneh sekali. Baru sekarang terasa olehnya betapa tubuh sumoinya mendekap ketat dan jari-jari tangannya merasakan kulit yang lunak halus dan hangat. Jantungnya berdebar dan pada saat itu, dengan isak tertahan Swat Hong telah memperketat pelukannya dan menciumnya. Bagaikan dalam mimpi Sin Liong merasa seolah- olah dia terseret oleh harus yang amat dahsyat, yang membuat bibirnya membalas ciuman itu, yang memaksa kedua lengannya merangkul dan mendekap. Namun, seketika itu juga timbul hawa panas dari pusat di pusarnya, hawa panas yang naik ke atas dan membuyarkan semua hal yang membuat dia pening dan seperti mabok itu. Memang pada dasarnya Sin Liong adalah seorang anak yang ajaib, yang sama sekali tidak pernah dipermainkan oleh lamunan yang bukan-bukan, yang bersih sama sekali, kebersihan yang khas dan wajar, tidak dibuat-buat dan memang pada dasarnya dia memiliki kekuatan batin yang tidak lumrah manusia biasa. Maka begitu dia terserang oleh sihir, biarpun dia sendiri belum tahu bahwa ada orang jahil yang mempermainkannya, namun secara otomatis kebersihan hatinya telah meninggalkan hawa panas menolak kekuasaan asing yang kotor itu. Begitu hawa panas naik dan membuyarkan pengaruh jahat, seperti baru terbuka mata pemuda itu. Baru tampak olehnya kepulan asap yang harum, keadaan Swat Hong yang tidak wajar. Seketika tahulah dia bahwa keadaan ini bukan sewajarnya dan pasti dibuat oleh seorang yang jahat. Begitu telinganya menangkap suara gerakan dari kiri, dia cepat menengok dan tampaklah olehnya seorang kakek tua yang duduk bersila dan meluruskan kedua lengannya ke arah mereka, dan dari kedua lengan itu, juga dari kedua matanya, menyambar tenaga mukjizat ke arah mereka. Lengking yang panjang dan nyaring dahsyat dan mengandung getaran tenaga sakti dari dalam pusarnya, keluar dari mulut Sin Liong dan dia sudah meloncat berdiri. Lengkingan yang dahsyat itu menyebar getaran yang sedemikian kuatnya sehingga kekuatan sihir yang dipergunakan Ouwyang Cin Cu buyar sama sekali, bahkan tubuh kekek itu tergetar. Swat Hong juga terbebas dari cengkeraman sihir itu, dia menjadi pucat sekali, terbelalak, mengeluh perlahan lalu terguling roboh, pingsan! Dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati Ouwyang Cin Cu ketika dia sedang menikmati hasil ilmu sihirnya, melihat betapa muda-mudi itu sudah mulai terpengaruh, tiba-tiba pemuda itu mengeluarkan suara melengking sedemikian dahsyatnya sehingga dia merasa betapa jantungnya seperti akan copot! Melihat betapa pengaruh sihirnya buyar, dia segera bangkit berdiri. "Manusia jahat, apa yang telah kaulakukan?" Sin Liong menegur dan melompat ke depan kakek itu. Kakek itu mengerahkan tenaga mujijatnya, disalurkan melalui tangan kanannya yang dibuka jari-jari tangannya dan diselojorkan ke arah muka Sin Liong, memandang tajam sambil berkata, "Orang muda berlututlah kau di depan Ouwyang Cin Cu....!" Akan tetapi, untuk kedua kalinya kakek itu mengalami kekagetan. Biasanya, setiap orang lawan akan dapat dibikin tidak berdaya dengan kekuatan sihirnya. Akan tetapi sekali ini pemuda itu hanya memandang kepadanya dengan sinar mata jernih halus dan sama sekali tidak berlutut seperti yang diperintahkannya dengan suara berwibawa itu. Dia memperhebat pencurahan tenaga sihirnya, namun tetap saja pemuda itu sama sekali tidak terpengaruh. Tentu saja Sin Liong dapat merasakan serangan tenaga aneh ini, dia merasa betapa ada hawa yang menyerangnya, keluar dari lengan dan pandang mata kekak itu, yang membuatnya tergetar dan seperti ada kekuatan aneh memaksanya agar dia menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu. Namun dia mengerti bahwa hal itu tidak semestinya dan tidak sewajarnya, maka dia tidak mau mentaati perintah itu melainkan memandang dengan sinar mata tajam penuh teguran kepada kakek yang dianggapnya jahat itu. Melihat betapa kekuatan sihirnya sekali ini tidak berhasil, Ouwyang Cin Cu menjadi penasaran sekali . Sihirnya boleh gagal akan tetapi dia masih memiliki ilmu silat dan kekuatan yang dahsyat. Dara itu cantik menarik. Usahanya menikmati tontonan yang tidak senonoh gagal, maka sebaiknya pemuda ini dibunuh saja dan dara itu ditawan! "Mampuslah kau...." Bentaknya penasaran dan kini dia tidak menggunakan ilmu sihir lagi, melainkan meloncat dan menerkam seperti seekor serigala kepada Sin Liong, tangan kirinya mencengkeram ke arah dahi pemuda itu sedangkan sedangkan tangan kanannya dengan jari terbuka membacok ke arah dada kiri lawan. Sin Liong menangkis dengan kedua tangannya dan akibatnya tubuh kakek itu terdorong ke belakang sampai terhuyung-huyung. Mata kakek itu terbelalak saking kagetnya. Tak disangkanya bahwa pemuda yang sanggup membuyarkan ilmu sihirnya ini juga berhasil menangkis serangan dan membuat tubuhnya terhuyung dan hampir jatuh! Maklum bahwa dia berhadapan dengan sorang pemuda yang luar biasa. Ouwyang Cin Cu meloncat, membalikan tubuhnya dan lari! Teringat dia akan sikap takut yang tampak pada wajah bekas Ratu Pulau Es ketika mendengar akan kedatangan pemuda dan pemudi ini dan baru sekarang dia tahu mengapa bekas Ratu itu kelihatan takut-takut. Kiranya pemuda ini memang memiliki kesaktian yang amat hebat! Dia perlu mencari bantuan, karena menghadapi seorang diri saja amat berbahaya. Sin Liong yang ingin menangkap kakek itu dan mencari keterangan tentang The Kwat Lin, segera mengejar sambil berseru, "Orang tua jahat, kau hendak lari ke mana? Tunggu, kau harus menjawab beberapa pertanyaanku!" Mendengar suara Sin Liong dekat sekali di belakangnya, Ouwyang Cin Cu mempercepat larinya, akan tetapi dengan gerakan yang lebih cepat lagi Sin Liong terus mengejarnya. Setelah keluar dari dalam jalan terowongan itu, di lapangan terbuka yang agak jauh letaknya dari guha di mana Sin Liong meninggalkan Swat Hong tadi, terpaksa Ouwyang Cin Cu tidak dapat melarikan diri lagi karena Sin Liong telah menyusul dekat sekali di belakangnya. "Kakek jahat, berhenti dulu!" Sin Liong membentak. Tiba-tiba Ouwyang Cin Cu membalikan tubuhnya dan begitu membalik, segulung sinar biru menyambar ke arah pusar Sin Liong dan sinar putih menyambar ke antara kedua matanya. Sinar biru itu adalah sebatang pedang tipis yang biasanya dibelitkan di pinggang sebagai sabuk oleh kakek itu, sedangkan sinar putih itu adalah jenggot panjangnya yang ternyata dapat dipergunakan sebagai senjata yang sangat ampuh! Sin Liong yang sudah menduga bahwa kakek yang jahat itu tentu tidak segan-segan bermain curang, sudah menjaga diri maka begitu melihat menyambarnya sinar biru dan putih itu, cepat dia sudah mencelat ke atas. Demikian cepat gerakan pemuda ini sehingga Ouwyang Cin Cu melongo, mengira bahwa pemuda itu pandai menghilang! Akan tetapi gerakan angin menyambar di belakangnya membuat dia membalik dan ternyata pemuda itu telah berada di belakangnya dan tadi ketika mengelak pemuda itu telah mempergunakan ginkang untuk meloncat melalui atas kepalanya. Akan tetapi gerakan pemuda itu sedemikian cepatnya sehingga dia sendiri sampai hampir tidak melihatnya, hanya melihat bayangan berkelebat dan pemuda itu lenyap. Berdebar jantung kakek itu. Selama hidupnya belum pernah ia bertemu dengan lawan seperti ini! Dia mengusir rasa gentarnya dan mulai mainkan pedangnya dengan gerakan yang amat cepat. Pedang itu berubah menjadi gulungan sinar biru dan mengeluarkan suara bedesing-desing nyaring sekali, dan serangan pedang ini masih dia selingi dengan pukulan-pukulan tangan kiri dengan telapak tangan terbuka, memukulkan hawa sinkang yang amat kuat. Memang Ouwyang Cin Cu bukan orang sembarangan. Pertapa Himalaya ini selain pandai sihir, juga memiliki ilmu silat yang tinggi, tenaga sinkangnya amat kuat dan pedang yang dipergunakannya adalah sebatang pedang tipis dari baja biru yang amat ampuh. Akan tetapi satu kali ini dia bertemu dengan batunya! Tubuh Sin Liong berkelebatan dan ke mana pun pedang dan tangan kiri menyerang, selalu hanya bertemu dengan angin belaka. Dua puluh jurus lebih kakek itu menyerang bertubi-tubi sampai napasnya terengah-engah. Tiba-tiba Sin Liong berseru, Pedang itu terlepas dari tangan Ouwyang Cin Cu dan jatuh ke atas tanah mengeluarkan suara mendencing nyaring. Ternyata bahwa lengan kanan kakek tua itu kena ditampar oleh jari tangan Sin Liong, mendatangkan rasa nyeri yang amat hebat, bukan hanya nyeri, akan tetapi juga hawa dingin seolah-olah menggigit daging dan urat, membuat tangan kakek itu tidak kuat lagi memegang pedang. Untung bagi Ouwyang Cin Cu, pada saat pedangnya terlepas itu, muncul The Kwat Lin dan Kiammo Cai-li! Bagaikan dua sosok bayangan setan, dua orang wanita sakti ini sudah menerjang ke depan sambil meloncat dan terdengar suara melengking tinggi dari mulut Kiam-mo Cai-li ketika dia menyerang berbareng dengan The Kwat Lin yang juga menyerang tanpa mengeluarkan suara. "Heeeeeeeeeiiiiiiiiitttttttttt!!! Wir-wirrr......singggg..... singggg!!" Pedang payung di tangan Kiam-m- Cai-li sudah bergerak menyambar menyusul lengkingannya, juga dibarengi dengan menyambarnya rambut panjangnya dan kuku tangan kirinya yang sekaligus menerjang dengan serangan yang amat dahsyat! Namun Sin Liong lebih memperhatikan sinar pedang merah yang menyambarnya tanpa suara itu karena dia tahu bahwa pedang Ang-bwe-kiam di tangan The Kwat Lin yang menyambar tanpa suara itu jauh lebih berbahaya dari pada semua serangan Kiam-mo Cai-li yang banyak ribut itu. Sin Liong mendengus dan kaki tangannya bergerak menangkis rambut dan kuku, tubuhnya mencelat menghindari sinar merah pedang The Kwat Lin dan ujung kakinya yang menendang pergelangan tangan Kiam-mo Cai-li berhasil menangkis tusukan pedang payung. Pada saat itu, dari belakang, menyambar sinar biru dari pedang Ouwyang Cin Cu yang ternyata telah menyambar pula pedangnya yang tadi terlepas dan kini ikut mengeroyok. Sin Liong berseru, membiarkan pedang lewat dekat sekali dengan lehernya karena dia memang sengaja berlaku lambat dan begitu pedang lewat, jari tangannya menyentil, kuku jari tangannya bertemu batang pedang biru itu. "Tringgggg.... Auuhhh....!" Untuk kedua kalinya, pedang biru itu terlepas dari pegangan tangan Ouwyang Cin Cu dan kini melayang jauh dan lenyap kedalam semak-semak ! The Kwat Lin dan Kiam-mo Cai-li sudah menerjang lagi, akan tetapi Sin Liong meloncat jauh ke belakang, lalu berkata kepada The Kwat Lin, Suaranya halus akan tetapi penuh wibawa sehingga tanpa disadarinya sendiri, Kiam-mo Cai-li menghentikan gerakannya, memandang kepada pemuda itu dengan sinar mata penuh cahaya kagum. Otomatis hatinya tergerak melihat pemuda yang luar biasa ini, pemuda yang wajahnya mengeluarkan cahaya lembut, sedikit pun tidak membayangkan kekerasan dan yang memiliki sepasang mata yang aneh dan indah. "Hemmmm, bocah kurang ajar! Engkau masih ingat bahwa aku adalah Subomu!" bentak The Kwat Lin dengan suaranya menyindir untuk menutupi guncangan hatinya. "Subo adalah isteri Suhu, mana teecu berani kurang ajar? Kedatangan teecu bersama Sumoi adalah untuk memenuhi pesan Suhu." Kembali hati The Kwat Lin terguncang penuh rasa takut dan ngeri, takut kalau-kalau suaminya yang dia tahu amat sakti itu muncul di situ. Akan tetapi mendengar bahwa Sin Liong datang memenuhi pesan suaminya, hatinya lega karena hal itu berarti bahwa suaminya tidak ikut datang! "Hemm, pesan apakah dari Suhumu?" Sin Liong yang memang berawatak polos dan tidak suka menyem bunyikan sesuatu di dalam hatinya, berkata lantang, "Subo, Suhu minta agar supaya semua pusaka Pulau Es yang Subo bawa pergi, diserahkan kembali kepada teecu untuk teecu kembalikan ke Pulau Es." Mendengar permintaan ini tanpa menjawab lagi The Kwat Lin lalu menggerakan pedangnya dan mengirim serangan langsung yang amat dahsyat. Gerakannya memang cekatan sekali dan pedangnya hanya tampak sebagai sinar mereh yang meluncur seperti panah api menuju ke arah tubuh Sin Liong. Pemuda ini kembali mencelat ke belakang berjungkir balik dan berdiri dengan tenang. "Subo harap dengarkan permintaan teecu. Pusaka-pusaka itu tidak boleh di bawa keluar dari Pulau Es. Teecu tidak suka melawan Subo, akan tetapi kalau Subo tidak mengembalikan pusaka-pusaka itu, terpaksa teecu...." Bentak The Kwat Lin dan tubuhnya sudah melayang ke depan dengan cepat seperti seekor burung garuda terbang menyambar, didahului oleh sinar mereh pedang Ang-bwe-kiam di tangannya. Terpaksa Sin Liong mengelak sambil membalas dengan totokan tangan kirinya menuju ke pergelangan tangan yang memegang pedang, namun bekas ibu gurunya itu dengan cepat telah menarik kembali pedangnya dan melanjutkan serangannya secara bertubi-tubi dengan jurus-jurus pilihan dari Ngaheng- kiam sut yang dimainkan oleh The Kwat Lin ini hebat bukan main karena diperkuat dengan latihan- latihannya di Pulau Es di bawah bimbingan suaminya, Han Ti Ong yang sakti. Juga berkat latihan sinkangnya di pulau dingin itu, tenaga yang menggerakkan pedang itu pun amat luar biasa sehingga Angbwe- kiam menyambar-nyambar dengan hawa dingin yang menyusup tulang lawannya biarpun tubuh belum sampai tercium pedang. Tubuh Sin Liong lenyap dan yang tampak hanya bayangannya saja berkelebatan di antara dua sinar pedang itu yang bergulung-gulung mengurung dirinya. Pemuda itu terpaksa mengerahkan seluruh keringanan tubuhnya untuk mengelak dan berloncatan ke sana-sini, kemudian mempercepat lagi gerakannya ketika Kiam-mo Cai-li sudah menerjang juga dengan kemarahan meluap karena kejatuhannya tadi dianggapnya amat memalukan. Tiga orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali, ketiganya memegang senjata-senjata pusaka ampuh, mengeroyok Sin Liong dengan mati-matian! Bukan main hebatnya pertandingan mati-matian itu! Sekali ini, baru sekali inilah, Sin Liong benar-benar diuji semua hasil jerih payahnya mempelajari ilmu silat tinggi di Pulau Es. Diuji hasil warisan hampir seluruh ilmu kepandaian Raja Pulau Es Han Ti Ong yang telah dikuasainya secara matang. Dengan tangan kosong saja dia menghadapi serbuan maut yang dilancarkan secara bertubi-tubi oleh tiga orang lawan yang sakti itu. Sebelumnya, dengan tingkat kepandaian Sin Ling yang sudah luar biasa tingginya, sukar lagi diukur sampai di mana tingkatnya, dengan mudah dia dapat mengikuti semua gerakan tiga orang lawannya dan karena itu dia dapat menghindarkan diri dari semua serangan. Dengan ilmunya mengenal semua dasar gerakan ilmu silat yang dipelajarinya dari kitab kuno Inti Sari Gerakan Silat, sekali pandang saja dia dapat mengetahui perkembangan gerakan lawan dan bahkan dengan mudah dapat menirunya. Akan tetapi ada dua hal yang penting yang membuat dia repot juga menghadapi pengeroyokan tiga orang lihai itu. Pertama, harus diakui bahwa biarpun tingkat ilmu silatnya lebih tinggi dan dia memiliki dasar lebih kuat dan lebih bersih sehingga sinkangnya kuat sekali, namun dia kalah matang dalam latihan. Usianya masih terlalu muda dan dia belum mengalami banyak pertandingan, apalagi melawan orang-orang yang ahli, tidak seperti tiga orang pengeroyoknya yang telah mempunyai pengalaman banyak sekali dalam pertandingan silat. Kedua, dan ini merupakan kenyataan yang paling hebat, adalah bahwa Sin Liong memiliki dasar watak yang halus budi dan penuh belas kasihan. Wataknya ini membuat dia tidak tega menjatuhkan pukulan maut, apalagi membunuh lawannya. Andaikata dia tidak memiliki dasar watak seperti ini, dengan kepandaiannya yang hebat, tentu dia akan mampu membunuh mereka seorang demi seorang. Tadi pun, kalau dia menghendaki, tentu Kiam-mo Cai-li sudah dapat dia robohkan untuk selamanya. Kini, menghadapi tiga orang lawan yang mengeroyoknya dan yang berusaha sunguh-sunggu untuk membunuhnya, Sin Liong menjadi repot juga. Apalagi dia hanya mengelak, menangkis, dan kadangkadang membalas serangan dengan gerakan yang diperlambat dan diperlunak karena takut kalau-kalau salah tangan membunuh orang. Dengan demikian, dia lebih banyak diserang daripada balas menyerang. Seratus jurus telah lewat dan pemuda yang luar biasa ini belum juga dapat dikalahkan oleh para pengeroyoknya. Hal ini membuat mereka bertiga menjadi penasaran, marah dan malu sekali. Biarpun di tempat itu tidak ada orang lain kecuali para anak buah mereka yang kini mulai bermunculan dan mengurung tempat itu, orang-orang kerdil dan juga para anak buah Rawa Bangkai, namun tiga orang itu tentu saja merasa malu bahwa mereka bertiga maju bersama dengan senjata lengkap sampai seratus jurus tidak mampu membekuk atau menewaskan seorang pemuda yang bertangan kosong! The Kwat Lin yang selama ini merasa bahwa dia tidak menemukan tandingan, biarpun tahu betapa lihainya murid bekas sumoinya ini, namun dia telah dibantu oleh dua orang pandai dan belum juga dapat menang, maka dia merasa penasaran sekali. Kiam-mo Cai-li yang selama ini terkenal sebagai datuk kaum sesat yang lihai, selama hidupnya baru sekali ini dia mengeroyok seorang pemuda dengan dua orang teman yang kepandaiannya lebih tinggi dari dia sendiri, maka dia pun sekali Ouwyang Cin Cu. Sebelum ini sukar membayangkan bahwa dia, yang memiliki ilmu-ilmu luar biasa, akan mengeroyok seorang pemuda seperti itu. Hal ini benar-benar menyakitkan hati dan menghancurkan kebanggaan hati mereka akan ilmu kepandaian mereka masing-masing yang sudah terkenal di dunia kang-ouw. "Pemuda setan, mampuslah!!" Ouwyang Cin Cu berteriak keras, pedang birunya untuk ke sekian lainya menyambar ganas ke arah leher Sin Liong, sedangkan tangan kirinya mencengkeram ke arah perut. Pada saat itu, Sin Liong baru saja menyingkirkan pedang di tangan The Kwat Lin yang menyambar kakinya dengan cara menendang pergelangan tangan bekas ibu gurunya itu sehingga The Kwat Lin terpaksa menarik kembali pedangnya dan meloncat ke samping. Kiam-mo Cai-li yang sudah memuncak kemarahannya itu pun memba rengi serangan Ouwyang Cin Cu dari belakang, kukunya mencengkeram ke arah punggung Sin Liong sedangkan pedang payungnya berputar-putar mengancam tengkuk. Dalam detik berbahaya itu Sin Liong maklum akan datangnya ancaman maut dari depan dan belakang. Tiba-tiba dia berteriak, tubuhnya melesat ke atas dan tak dapat dicegah lagi, pedang payung bertemu dengan pedang biru. Pada saat itulah Sin Liong yang mencelat ke atas itu bergerak cepat bukan main, tubuhnya sudah berjungkir balik, menukik turun dan kedua tangannya menyambar seperti sepasang garuda. Ouwyang Cin Cu dan Kiam-mo Cai-li mengeluh. Kakek itu terhuyung dan memuntahkan darah segar, sedangkan Kiam-mo Cai-li terguling-guling, kemudian meloncat berdiri dengan muka pucat. Baju di pundak ke dua orang sakti ini robek terkena tamparan tangan Sin Liong! "Orang muda, lihai ini....!!" Tibatiba Ouwyang Cin Cu berseru aneh sekali, pedang birunya diputar-putar merupakan sinar biru bergulunggulung di depannya. Sin Liong mengira bahwa kakek itu akan menyerangnya atau akan menggunakan senjata rahasia, maka dia memandang penuh perhatian. Terkejutlah dia ketika sekali memandang, berarti sekali menuruti kata-kata kakek itu, dia merasa betapa pandang matanya sukar dialihkan lagi dari gulungan sianr biru itu! "Orang muda, engkau telah lelah, mengasolah.... duduklah kau.....!" Kembali suara kakek itu mendengung dengan aneh dan mendatangkan pengaruh yang ajaib. Sin Liong menggoyang-goyang kepalanya, berusaha mengusir pengaruh yang memaksanya untuk duduk itu. Seketika dia merasa tubuhnya lelah bukan main. Dia maklum bahwa kakek itu kembali menggunakan ilmu hitamnya dan kesadaran ini mendatangkan kekuatan kepada dirinya. Dia mengerahkan sinkangnya untuk menolak pengaruh itu sehingga tubuhnya kadang-kadang diserang kelelahan, kemudian lenyap lagi, datang lagi seolah-olah terjadi "pertandingan" yang tidak tampak. Akan tetapi, karena terlalu mencurahkan perhatiannya kepada kakek yang menyerangnya dengan sihir, dan menggunakan sinkangnya untuk melawan pengaruh aneh itu, perhatian Sin Liong terhadap dua orang lawan lainya menjadi berkurang banyak. Dua orang wanita itu tentu saja tidak mau menyia-nyiakan kesempatan baik ini. Melihat betapa pemuda itu kelihatan bengong dan menghentikan gerakannya, Kiam-mo Cai-li cepat menyerang, akan tetapi dia didahului oleh The Kwat Lin yang sudah menusukkan Ang-bwe-kiam ke arah lambung Sin Liong, disusul oleh tusukan pedang payung dan cengkeraman kuku tangan kiri Kiam-mo Cai-li, kemudian disusul oleh hantaman tan gan kiri The Kwat Lin yang mengandung imkang amat dahsyatnya. Ketika merasa adanya angin yang menyambar-nyambar menyerangnya, Sin Liong berusaha mengelak. Dengan kedua tangannya yang melakukan gerakan membalik, dia dapat memukul tangan Kiam-mo Cai-li dan The Kwat Lin yang memegang pedang dan gerakannya ini hebat bukan main sehingga kedua wanita itu memekik dan pedang mereka terlepas dari pegangan! Akan tetapi, kuku jari tangan Kiam-mo Cai-li yang beracun itu berhasil mencengkeram pundak dekat tengkuk Sin Liong dan pada saat yang hampir sama, tangan kiri The Kwat Lin menghantam punggungnya dengan hebat. Tubuh Sin Liong terguling, cengkeraman kuku tangan Kiam-mo Cai-li belum tentu akan dapat merobohkan karena secara otomatis hawa sinkang di tubuhnya melindungi tempat yang dicengkeram, akan tetapi hantaman tangan kiri The Kwat Lin yang mengandung tenaga im-kang yang dingin itu terlalu keras bagi Sin Liong yang pada saat itu sedang mencurahkan tenaga melawan sihir Ouwyang Cin Cu. Dia masih terlindung oleh sinkangnya yang otomatis sehingga tidak mengalami luka dalam yang terlalu parah, akan tetapi guncangan yang hebat akibat pukulan itu membuat dia pingsan! Melihat pemuda yang membuatnya malu dan penasaran itu sudah roboh pingsan, dengan gemasnya ouwyang Cin Cu meloncat dekat, mengangkat tangan kirinya menghantam ke arah ubun-ubun kepala Sin Liong untuk membunuhnya. "Wuuuuuttt... plakk! Ehhhh? Kiam-mo Cai-li, mengapa kau menangkis dan melindunginya?" Ouwyang Cin Cu membentak kaget dan melotot memandang kepada kekasih barunya ini. Kiam-mo Cai-li tersenyum penuh arti, matanya yang indah itu dengan lirikan yang memikat. "Sayang sekali kalau dibunuh begitu saja!" Katanya sambil mengusap dagu Sin Liong yang masih pingsan. "Dia adalah sin-tong, kalau aku bisa mendapatkan dia, manfaatnya melebihi seratus orang jejaka lain...." Ouwyang Cin Cu mencela akan tetapi tidak berani turun tangan lagi. "Tidak, dia harus dibunuh! kalau dibiarkan hidup berbahaya sekali, akan tetapi juga jangan sampai ada bekasnya, jangan sampai ada yang tahu bahwa kita yang membunuhnya. Kita lempar dia di sumur ular, juga gadis itu. Mereka berdua harus mati, akan tetapi tidak boleh meninggalkan jejak!" "Ah, ya.... gadis itu....!" Ouwyang Cin Cu yang teringat kepada gadis berpunggung putih mulus itu segera berlari ke dalam guha terowongan untuk mencari Swat Hong. Tentu saja dia tidak akan membunuh gadis itu begitu saja sebelum melakukan kecabulan yang sama seperti yang berada di dalam benak Kiam-mo Caili! Akan tetapi tak lama kemudia dia kembali dengan muka berubah. The Kwat Lin berseru dengan muka pucat. "Kalau begitu..... lekas kita lemparkan dia ini ke sumur ular kemudian cari gadis itu sampai dapat....! The Kwat Lin sendiri menggotong tubuh Sin Liong yang masih pingsan itu dan beramai mereka menuju ke sebuah sumur di dalam guha terowongan. Sumur ini lebarnya hanya satu setengah meter, dalamnya sukar diukur karena amat gelap dan dari atas orang dapat menangkap suara mendesis-desis karena sumur itu penuh dengan ular-ular berbisa. Hawa yang memuakkan dapat tercium dari atas, bau yang harum aneh bercampur amis. Tanpa ragu-ragu lagi The Kwat Lin melemparkan tubuh yang pingsan itu ke dalam sumur. Mereka semua menanti, ingin mendengar keluhan atau rintihan atau pekik ketakutan dari pemuda yang diberikan kepada ular-ular berbisa itu. Namun tidak terdengar sesuatu dan mereka menganggap bahwa tentu pemuda yang pingsan itu tidak sadar kembali dan terus mati karena dikeroyok ular dalam keadaan pingsan.
terjadi, keluar dari dalam, mukanya penuh darah, kedua tangannya dan pakaiannya juga. Dia melangkah keluar seperti dalam mimpi, mukanya pucat sekali dan matanya yang lebar itu terbelalak memandang penuh berdiri di depan pintu rumahnya, matanya makin terbelalak memandang apa yang terjadi di depan rumahnya. Jelas tampak olehnya betapa para tetangganya itu, seperti sekumpulan serigala buas, menyerang dan memukuli tiga orang pencuri tadi, para pembunuh ayah-bundanya. Terdengar olehnya betapa pencuri-pencuri itu mengaduh-aduh merintih-rintih, minta-minta ampun dan terdengar pula suara bak-bik-buk ketika kaki tangan dan senjata menghantami mereka. Mereka bertiga itu roboh, dan terus digebuki, dibacok, dihantam dan darah muncrat- muncrat., tubuh tiga orang itu berkelojotan, suara yang aneh keluar dari tenggorokan mereka. Akan tetapi orang-orang yang marah dan haus darah itu, yang menganggap bahwa apa yang mereka lakukan ini sudah baik dan adil, terus saja menghantami tiga orang manusia sial itu sampai tubuh mereka remuk dan tidak tampak seperti tubuh manusia lagi, patutnya hanya onggokan-onggokan daging hancur dan tulang- tulang patah. Ketika semua orang sudah merasa puas, juga mulai ngeri melihat hasil perbuatan mereka, menghentikan pengeroyokan terhadap tiga mayat itu dan mereka memasuki rumah keluarga Kwa, Sin Liong tidak berada disitu Kiranya bocah ini, yang baru saja tergetar jiwanya, tergores penuh luka melihat ayah bundanya dibacoki dan dibunuh, ketika melihat tiga orang pembunuh itu dikeroyok dan disiksa, jiwanya makin terhimpit, luka-luka dihatinya makin banyak dan dia tidak kuat menahan lagi. Dilihatnya wajah orang-orang itu semua seperti wajah iblis, dengan mata bernyala-nyalapenuh kebencian dan dendam, penuh nafsu membunuh, dengan mulut terngangga seolah-olah tampak taring dan gigi meruncing, siap untuk menggigit lawan dan menghisap darahnya. Dia merasa ngeri, merasa seolah-olah tampak taring dan gigi meruncing, siap untuk menggigit lawan dan menghisap darahnya. Dia merasa ngeri, merasa seolah-olah berada di antara sekumpulan iblis, maka sambil menangis tersedu- sedu Sin liong lalu lari meninggalkan tempat itu, meninggalkan rumahnya, meninggalkan kota Kun-leng, terus berlari ke arah pegunungan yang tampak dari jauh seperti seorang manusia sedang rebahan, seorang manusia dewa yang sakti, yang akan melindunginya dari kejaran iblis itu Seperti orang kehilangan ingatan, semalam itu Sin lIong terus berlari sampai pada keesokan harinya, saking lelahnya, dia tersaruk-saruk di kaki Pegunungan Jeng-hoa-san, kadang-kadang tersandung kakinya dan jatuh menelungkup, bangun lagi dan lari pagi, terhuyung-huyung dan akhirnya, pada keesokan harinya, pagi-pagi dia terguling roboh pingsan di dalam sebuah hutan di lereng bagian bawah Pegunungan Jeng-hoa- san..Setelah siuman, anak kecil berusia lima tahun ini melanjutkan perjalanannya, dan beberapa hari kemudian tibalah dia di sebuah hutan penuh bunga karena kebetulan pada waktu itu adalah musim semi. Di sepanjang jalan mendaki pegunungan, kalau perutnya sudah mulai lapar, anak ini memetik buah-buahan dan makan daun-daunan, memilih yang rasanya segar dan tidak pahit sehingga dia tidak sampai kelaparan. Di dalam hutan seribu bunga itu Sin Liong terpesona, merasa seperti hidup di alam lain, di dunia lain. Tempat yang hening dan bersih, tidak ada seorang pun manusia. Kalau dia teringat akan manusia, dia bergidik dan menangis saking takut dan ngerinya. Dia telah menyaksikan kekejaman-kekejaman yang amat hebat. Bukan hanya kekejaman orang-orang yang merenggut nyawa ayah bundanya, yang memaksa ayah bundanya berpisah darinya dan mati meninggalkannya, akan tetapi juga melihat kekejaman puluhan orang tetangga yang menyiksa tiga orang itu sampai mati dan hancur tubuhnya, Dia bergidik dan ketakutan kalau teringat akan hal itu. Di dalam Hutan Seribu Bunga itulah dia merasakan keamanan, kebersihan, keheningan yang menyejukkan perasaan. Mula-mula Sin Liong tidak mempunyai niat untuk kembali ke kotanya karena ia masih terasa ngeri, tidak ingin melihat ayah bundanya yang berlumuran darah, tak ingin melihat mayat tiga orang pencuri yang rusak hancur. Ketika dia tiba di hutan Jeng-hoa-san itu dan melihat betapa tubuh dan pakaiannya ternoda darah yang baunya amat busuk, dia cepat mandi dan mencuci pakaian di anak sungai yang terdapat di hutan itu, anak sungai yang airnya keluar dari sumber, jernih dan sejuk sekali. Mula-mula memang dia tidak ingin pulang karena kengerian hatinya, akan tetapi setelah dua tiga bulan "Bersembunyi" di tempat itu, timbul rasa cintanya terhadap Hutan Seribu Bunga dan dia kini tidak ingin pulang sama sekali karena dia telah menganggap hutan itu sebagai tempat tinggalnya yang baru Di dekat pohon peak yang besar, terdapat bukit batu dan di situ ada guanya yang cukup besar untuk dijadikan tempat tinggal, dijadikan tempat berlindung dari serangan hujan dan angin. Gua ini dibersihkannya dan menjadi sebuah tempat yang amat menyenangkan. Demikianlah, anak ini tidak tahu sama sekali bahwa harta kekayaan orang tuanya yang tidak mempunyai keluarga dan sanak kadang lainnya, telah dijadikan perebutan antara para tetangga sampai habis ludes sama sekali Dengan alas an "mengamankan" barang-barang berharga dari rumah kosong itu, para tetangga telah memperkaya diri sendiri. Mereka ini tetap tidak tahu, atau tidak mengerti bahwa mereka telah mengulangi perbuatan tiga orang pencuri yang mereka keroyok dan bunuh bersama itu. Mereka juga melakukan pencurian, sungguhpun caranya tidak "sekasar" yang dilakukan para pencuri. Jika dinilai, pencurian yang dilakukan para tetangga dan "sahabat" ini jauh lebih kotor dan rendah daripada yang dilakukan oleh tiga orang pencuri dahulu itu, karena para pencuri itu melakukan pencurian dengan sengaja dan terang- terangan mereka itu adalah pencuri, tidak berselubung apa-apa, dan kejahatannya itu memang terbuka, sebagai orang-orang yang mengambil barang orang lain di waktu Si Pemilik sedang lengah atau tertidur. Namun, apa yang dilakukan oleh para tetangga itu adalah pencurian terselubung, dengan kedok "menolong" sehingga kalau dibuat takaran, kejahatan mereka itu berganda, pertama jahat seperti Si Pencuri biasa karena mengambil dan menghaki milik orang lain, ke dua jahat karena telah bersikap munafik, melakukan kejahatan dengan selubung "kebaikan". Demikianlah sampai dua tahun lamanya anak berusia lima tahun ini tinggal seorang diri di dalam Hutan Seribu Bunga. Sebagai putera seorang ahli pengobatan, biarpun ketika usianya baru lima tahun, sedikit banyak Sin Liong tahu akan daun- daun dan akar obat, bahkan sering dia ikut ayahnya mencari daun-daun obat di gunung- gunung. Setelah kini dia hidup seorang diri di dalam hutan, bakatnya akan ilmu pengobatan mendapat ujian dan pemupukan secara alam. Dia harus makan setiap hari itu untuk keperluan ini, dia telah pandai memilih dari pengalaman, mana daun yang berkhasiat dan mana yang enak, mana pula yang beracun dan sebagainya. Selama dua tahun itu, dengan pakaian cabik-cabik tidak karuan, sering pula dia terserang sakit dan dari pengalaman ini pula dia terserang sakit dan dari pengalaman ini pula dia dapat memilih daun- daun dan akar-akar obat, bukan dari pengetahuan, melainkan dari pengalaman. Mungkin karena tidak ada sesuatu lainnya yang menjadikan bahan pemikiran, maka anak ini dapat mencurahkan semua perhatiannya terhadap pengenalan akan daun dan akar serta buah dan kembang yang mangandung obat ini sehingga penciumannya amat tajam terhadap khasiat daun dan akar obat. Dengan menciumnya saja dia dapat menentukan khasiat apakah yang terkandung dalam suatu daun, bunga, buah ataupun akar Tidak kelirulah kata-kata orang bahwa pengalaman adalah guru terpandai. Tentu saja kata-kata itu baru kalau seseorang memiliki rasa kasih terhadap yang dilakukannya itu. Dan memang di lubuk hati Sin Liong, dia mempunyai rasa kasih yang menimbulkan suka, dan suka ini menimbulkan kerajinan untuk mempelajari khasiat bunga-bunga dan daun-daun yang banyak sekali macamnya dan tumbuh di dalam Hutan Seribu Bunga itu. Selain mempelajari khasiat tumbuh-tumbuhan, bukan hanya untuk menjadi makanan sehari- hari akan tetapi juga untuk pengobatan, Sin Liong mempunyai kesukaan lain lagi yang timbul dari rasa kasihnya kepada alam, kasih yang sepenuhnya dan yang mungkin sekali timbul karena dia merasa hidup sebatangkara dan juga timbul karena melihat kekejaman yang menggores di kalbunya akan perbuatan manusia ketika ayah ibunya dan tiga orang pencuri itu tewas. Di tempat itu dia melihat kedamaian yang murni, kewajaran yang indah, dan tidak pernah melihat kepalsuan-kepalsuan, tidak melihat kekejaman. Rasa kasih kepada alam ini membuat dia amat peka terhadap keadaan sekelilingnya, membuat perasaannya tajam sekali sehingga dia dapat merasakan betapa hangat dan nikmatnya sinar matahari pagi, betapa lembut dan sejuk segarnya sinar bulan purnama sehingga tanpa ada yang memberi tahu dan menyuruh hampir setiap pagi dia bertelanjang mandi cahaya matahari pagi dan setiap bulan purnama dia bertelanjang mandi sinar bulan purnama. Tanpa disadarinya, tubuhnya telah menerima dan menyerap inti tenaga mujijat dari bulan dan matahari, dan membuat darahnya bersih, tulangnya kuat dan tenaga dalam di tubuhnya makin terkumpul di luar kesadarannya. Setelah keringat membasahi seluruh tubuh dan beberapa kali memutar tubuhnya yang duduk bersila di atas batu, kadang-kadang dadanya, Sin Liong turun dari batu itu, menghapus peluh dengan saputangan lebar, kemudian setelah tubuhnya tidak berkeringat lagi, setelah dibelai bersilirnya angin pagi, dia mengenakan lagi pakaiannya dan pergi mengeluarkan bunga, daun, buah dan akar obat dari dalam gua untuk dijemur dibawah sinar matahari. Inilah yang menjadi pekerjaannya sehari-hari, selain mencangkok, memperbanyak dan menanam tanaman-tanaman yang berkhasiat. Menjelang tengah hari, mulailah berdatangan penduduk yang membutuhkan obat. Di antara mereka terdapat pula beberapa orang kang-ouw yang kasar dan menderita luka beracun dalam pertempuran. Untuk mereka semua, tanpa pandang bulu, Sin Liong memberikan obatnya setelah memeriksa luka-luka dan penyakit yang mereka derita. Lebih dari lima belas orang datang berturut-turut minta obat dan yang datang terakhir adalah seorang laki-laki setengah tua bertubuh tinggi besar, dipunggungnya tergantung golok dan dia datang terpincang-pincang karena pahanya terluka hebat, luka yang membengkak dan menghitam. "Sin-tong, kau tolonglah aku..." Begitu tiba di depan gua dimana Sin Liong duduk dan memotong-motong akar basah dengan sebuah pisau kecil, laki-laki bermuka hitam dan bertubuh Share This Page
Eps 01 Wasiat Dewa Geledek 1TANAH tak bertuan terletak di Teluk Benggala. Tempatnya sunyi, berkesan angker. Udaranya lembab dan berbau tanah basah. Air laut dari Teluk Benggala kadang sampai memenuhi wilayah tanah tak bertuan jika air laut pasang. Tak heran jika tanah di situ jarang bisa kering. Pohon-pohon yang menjulang tinggi, sering rubuh seketika karena disambar angin laut yang sering membadai membuat tanah tak bertuan itu menjadi semakin kuat oleh cerita lama, tentang keangkeran dan keganasan hutan nya dari roh-roh jahat. Barangkali karena cerita lama yang dituturkan dari mulut ke mulut itulah yang membuat manusia enggan melintasi tanah tak bertuan itu. Hanya orang yang tersesat dan terdesak saja yang mau berada di hutan tanah tak halnya seorang gadis bergaun kuning, terpaksa mengarahkan larinya ke tanah angker tersebut karena suatu hal. Jika bukan karena menghindari bahaya, tentunya gadis berambut panjang yang diikat kain merah itu tak mau singgah dan bersembunyi di tanah tersebutGadis itu berwajah cantik, namun tampak dihinggapi ketegangan. Matanya yang bulat bening dan berbulu lentik itu kelihatan menyimpan kecemasan, yang membuat gerakannya serba cepat. la melompat dari batu ke batu, sampai tiba di gundukan tanah yang menyerupai kuburan panjang membukit bertanah kering, tapi berumput duri. Beberapa bebatuan tersembul di sana, bahkan ada yang tingginya seukuran manusia dewasa. Gadis itu menyelinap di balik bebatuan besar dengan mata melirik ke kanan kiri penuh ketegangan. Namun tiba-tiba gadis berbaju kuning dengan ikat pinggang selendang warna biru muda dan menyelipkan pedang pendek di selendang itu, menjadi tertegun dalam satu sentakan mengejutkan."Ha ha ha...! Mau bersembunyi di mana kau, Mahligai?”Orang bertampang ganas tiba-tiba mencegatnya dan tahu-tahu sudah berada di depan gadis berbaju kuning yang ternyata bernama Mahligai. Orang bertampang ganas itu mempunyai mata lebar dan tubuh lebih besar dari Mahligai. Kumisnya tebal dan rambutnya panjang diikat dengan logam tembaga. Di tengah logam tembaga itu ada hiasan mulut singa yang menganga lebar, menambah kesan ganas pada wajah lelaki itu. la mengenakan pakaian serba biru tua dan sabuk warna hitam lebar. Di sabuknya terselip pedang lebar berujung lengkung dan runcing. Pedang itu menimbulkan kesan bahwa si pemiliknya gemar memancung leher lawannya tanpa ampun lagi."Kau tak akan bisa lari untuk menghindari perjanjianku dengan gurumu, Mahligai!" kata orang berwajah angker itu dengan suara besar."Aku tak punya urusan dengan perjanjianmu itu, Mata Neraka!" Mahligai mencoba menangkis anggapan si Mata Neraka."Siapa bilang tak ada urusan? Justru kalau bukan gurumu Sendang Suci menjanjikan perkawinanku dengan dirimu, aku tak akan mau mengobati sakit gurumu itu! Dan sekarang aku sudah bisa menyembuhkan gurumu, maka janjinya pun harus dipenuhi! Dia harus mengawinkan aku denganmu, sebagai murid tunggalnya!""Mata Neraka!" kata Mahligai memaksakan diri untuk tetap kelihatan berani, "Guru tidak pernah mempertaruhkan aku sebagai jaminan kesembuhannya! Jangan kau memaksa diriku untuk menerima lamaranmu, Mata Neraka!""Pada waktu aku buat perjanjian itu dengan Sendang Suci, kau ada tak jauh dari kami, dan kau mendengar apa yang dikatakan oleh gurumu! Kau tidak membantah dan mengajukan keberatan! Sekarang kau mau berlagak tidak tahu menahu dengan perjanjian itu! Jelas itu tidak bisa kuterima, Mahligai! Apa pun yang terjadi, kau harus menjadi istriku karena itulah upahku mengobati sakit gurumu!"Mahligai masih berdiri dengan sikap dibuat setenang mungkin. Dalam hatinya ia membatin,"Sebenarnya ini hanya siasat yang kuciptakan bersama Guru. Tapi ternyata Guru tidak mau mencegah tindakan Mata Neraka. Apa maksud Guru membiarkan Mata Neraka mengejarku?! Apakah dia benarbenar mau menjodohkan aku dengan Mata Neraka? Apakah Guru tega melihat aku mempunyai suami manusia sesat ini?! Oh, tidak! Aku tidak mau jika harus menyerah menjadi suami Mata Neraka! Aku harus melawannya dan lebih baik mati daripada menjadi suami tokoh sesat ini!"Setelah kesunyian terjadi beberapa kejap melingkupi mereka berdua, maka terdengarlah suara Mata Neraka yang menggetarkan jantung Mahligai itu,"Bagaimana? Sudah kau ingat-ingat perjanjian itu. Mahligai?""Aku tidak Ingat!" jawab Mahligai dengan ketus. "Aku menolak menjadi istrimu!"Si Mata Neraka mulai pancarkan pandangan marahnya, Suaranya sedikit menggeram ketika ia berkata,"Mahligai, Jangan kau buat hatiku kecewa dengan penolakanmu! Aku bisa celakai gurumu lagi dengan racun yang tak bisa disembuhkan oleh siapa pun kecuali olehku. Dan usia gurumu akan pendek! Atau aku bahkan tak segan-segan menghabisi nyawamu jika kau masih menolakku dan mengecewakan hatiku, Mahligai!"Mahligai bahkan mencibir sinis dan berkata, "Hrnrn...! Rupanya kau telah membongkar rahasiamu sendiri, Mata Neraka! Berarti kaulah orang yang telah melukai Guru dengan jarum racunmu itu, ketika Guru sedang dalam perjalanan pulang dari Bukit Mawar! Guru menderita luka racun yang tak bisa disembuhkan oleh siapa pun. Lalu, kau tampil berlagak sebagai tabib, karena kau punya rencana ingin memperistriku! Rupanya kau buat Guru berhutang budi padamu, sehingga Guru mau membantumu membujukku supaya menerima lamaranmu! Sekarang buatku jelas sudah tipu muslihatmu itu, Mata Neraka!" ,"Ha ha ha...! Kalau sudah jelas, lantas bagaimana?!"“Aku tetap menolak lamaranmu!""Itu berarti kau memaksaku membunuhmu, Mahligai!""Apa boleh buat jika memang itu, yang harus kutempuh demi membayar hutang Guru kepadamu!""Benar-benar kau adalah perempuan bodoh, Mahligai! Tidak sembarang perempuan ingin kukawini sebagai istriku yang sah! Hanya kamu yang terpilih di hatiku! Biasanya aku hanya merenggut kesuciannya, atau menikmati mahkotanya barang sejenak, selesai itu kubuang atau kubunuh! Tapi terhadapmu, Aku bermurah hati dan tak ingin membuangmu, Mahligai!. Kau akan kurawat dan kusayangi sepanjang hidupmu, kau akan kumanjakan kapan saja!""Persetan dengan semua itu! Aku tak sudi menjadi istrimu!"Panas hati si Mata Neraka mendengar penolakannya yang terang-terangan itu. Ia diam "memandangi Mahligai dengan wajah menjadi kaku, dingin namun angker. Mahligai tahu gelagat, pasti sebentar lagi orang keji itu akan menyerang, karena itu Mahligai segera mencabut apa yang ingin kau lakukan padaku, Mata, Neraka. Aku sudah siap menghadapi mu!" ucap Mahligai dengan ketus Neraka masih diam memandangi tak berkedip dengan wajah semakin tampak lebih angker lagi. Kejap berikutnya, bola mata orang berkumis lebat itu tiba-tiba menjadi hijau mundur setindak dan agak kaget. Dengan, cepat ia melesat ke samping, tubuhnya bagai melayang ke atas batu yang setinggi pundaknya. Tepat pada waktu itu, sorot mata yang hijau melepaskan sinar dua larik seperti jalur sebesar lidi Claapp...!Duaaar...! Dua larik sinar hijau itu menghantam batu di belakang tempat berdiri Mahligai sebelumnya. Andai Mahligai tidak lekas melompat ke atas batu setinggi pundak, maka tubuhnya akan pecah pula dihantam sinar hijau dua larik itu."Hiaaat...!" Mahligai sentakkan kaki dan tubuhnya bagaikan terbang menyerang si Mata Neraka dengan pedang tajamnya yang berujung runcing itu. la kelebatkan tangan yang memegang pedang, sehingga pedang itu pun berkelebat di depan mata Trangng...!Cepat sekali si Mata Neraka mencabut pedang lebarnya, nyaris tak bisa terlihat oleh mata Mahligai. Tahu-tahu pedang besar itu menangkis dalam gerakan tebas yang cepat pula. Akibatnya pedang Mahligai terlepas dari pegangannya dan terpental tiga tombak dari tempatnya berdiri. .Melihat Mahligai mundur tiga tindak, si Mata Neraka lepaskan tawa terbahakbahak. ia merasa punya satu kemenangan setelah pedang di tangan Mahligai berhasil dibuangnya jauh-jauh. "Aku tahu kekuatanmu sudah berkurang jika tanpa pedang pendekmu itu, Mahligai! Karena itu, jangan kamu memaksaku lagi untuk membunuhmu! Menyerahlah dan Jadilah istriku sesuai perjanjianku dengan gurumu itu!""Kawini saja mayatku! Haiaaah...!"Wuuk... wwukkk...! Mahligai bersalto mundur dua kail, lalu dari tangan kanannya ia lepaskan pukulan jarak jauh yang memancarkan sinar lebar berwarna kuning. Zlaaap...!Si Mata Neraka kibaskan pedang lebarnya dari kanan ke kiri. Wuuut...! Lalu pedang itu berhenti di atas kepala sebelah kiri, dan memancarkan sinar hijau bergelombang-gelombang. Sinar itu bagaikan suatu kekuatan yang mampu menghisap sinar kuning dari Mahligai. Zrruubb! Dalam sekejap sinar kuning pun lenyap tanpa menimbulkan bunyi ledakan apa pun."Gila! Pedang itu mampu menyerap jurus "Badai Darah' ku!" ucap Mahligai dalam hatinya. "Gawat! Terpaksa aku menggunakan selendang ini! Kurasa dia tak akan sanggup menahan jurus selendangku yang bernama 'Ekor Naga Murka' Ini!"Agaknya Mahligai benar-benar tak mau menyerah dan pasrah menjadi Istri manusia sesat itu. Ia menggunakan selendang birunya dan selendang itu dikibaskan dalam satu hentakkan ke arah si Mata Neraka. Wuuusss...!Selendang itu berkelebat cepat menghantam kepala si Mata Neraka. Tetapi pedang lebar Mata Neraka menangkisnya dan selendang biru itu tertahan ujungnya di sana. Weertt...!"Uhg...!" Mahligai bertahan ketika pedang Mata Neraka bergerak ingin menarik selendang tersebut dalam sentakan. Mahligai tidak mau terbawa oleh tarikan selendang suteranya itu, sehingga ia kerahkan tenaganya untuk menahan kekuatan lawan yang berusaha menarik selendang. Sementara, Mata Neraka sendiri tampak kerahkan tenaga pula berusaha untuk menarik selendang dan pemiliknya agar terpental maju ke begitu melihat di belakangnya ada pohon, Mahligai segera memutari pohon itu dua kali. Selendangnya tersangkut di pohon itu dalam keadaan terentang. Lalu, tubuhnya yang ramping itu melesat naik di atas rentangan selendang dan berlari dengan cepat ke arah lawannya. Mata Neraka tidak menyangka Mahligai mampu berlari di atas rentangan selendangnya, bahkan tahu-tahu telapak kaki gadis itu menjejak wajah Mata Neraka dengan kuat. Plookkk...! Deesss!.Dua kali tendangan sama-sama telah mengenai Wajah Mata Neraka. Wajah itu tersentak ke belakang pada saat Mahligai bersalto di udara satu kali dan hinggap di rentangan selendangnya lagi. Namun setelah itu ia melompat turun dengan segera, karena selendangnya terlepas dari lilitan ke pedang besarnya Mata Neraka. Sedangkan tubuh Mata Neraka tergulingguling ke belakang, tiga tombak jauhnya. dan terakhir punggungnya membentur akar pohon Mahligai telah sigap berdiri dengan selendang birunya di tangan kanan dalam keadaan memendek seperti ukuran semula. Mata Neraka menjadi semakin marah. Maka dengan cepat ia bangkit dan matanya berubah menjadi merah. Kemudian dari dua bola mata yang hijau menyala itu melesatlah sinar hijau dua larik yang menjadi satu di pertengahan, lalu sinar hijau yang panjang dan lurus itu menghantam tubuh Mahligai bagai tak kenal ampun BlaaarrSeberkas cahaya merah bagai lempengan logam yang menyala melesat dari arah lain dan menghadang sinar hijau tersebut. Benturan cahaya merah dan hijau itu timbulkan ledakan dahsyat dan membuat tubuh Mahligai terpental jauh ke arah belakang sampai disamping pedangnya yang tergeletak di Neraka terperanjat dan segera memandang ke arah kiri, sebab ia tahu sinar merah itu bukan berasal dari tangan Mahligai, tapi dari tangan orang lain Maka, segeralah dilihatnya seorang pemuda tampan berambut panjang lurus dan lemas, berdiri dengan tegapnya di bawah sebuah pohon berakar gantung. Pemuda itu berbadan tegap, kekar, mengenakan selempang dari kulit beruang coklat yang membungkus baju putih lengan panjang di dalamnya. Celananya merah diikat kain hitam pada pinggangnya.“Jahanam Kau. Mau ikut campur urusan orang, hah? Mau jadi dewa penolong untuk gadis dungu itu, hah?!" gertak si Mata pemuda itu bahkan berkata kepada Mahligai, "Larilah! Kutangani orang ini dan selamatkan dirimu jika kau tidak mau menjadi istrinya!"Mahligai berkata dalam hatinya, "Siapa pemuda ini? Aku tidak mengenalnya, tapi agaknya dia tadi mendengar perdebatanku dengan si Mata Neraka, sehingga dia tahu persoalanku sebenarnya Rasa-rasanya baru sekarang aku jumpa dia. Hmmm… tampan juga wajahnya. Ia mempunyai sorot mata yang menggetarkan hatiku! Siapa dia sebenarnya dan mengapa ia membelaku?" Rasa-rasanya Mahligai ingin diam dan melihat pertarungan pemuda tampan itu dengan si Mata Neraka. Tetapi Mahligai merasa punya peluang baik untuk melarikan diri, seperti yang disarankan pemuda berlengan kekar itu. Mahligai tak tahu, apakah pemuda itu mampu menaklukkan si Mata Neraka yang terkenal tinggi ilmunya itu atau tidak, tapi langkah yang terbaik memang lari dan segera menyelamatkan diri sementara si Mata Neraka biar dihambat pengejarannya oleh pemuda tampan itu. Maka, dengan cepat Mahligai pun angkat kaki dari tempat tersebut setelah ia menyambar pedangnya yang masih tergeletak di rerumputan Tunggu...!" seru si Mata itu segera menyentakkan telapak tangan kirinya ke depan dan melesatlah pukulan tenaga dalam yang tak terlihat bentuknya itu. Pukulan tersebut tepat mengenai pinggang belakang Mata Neraka saat orang berwajah angker itu ingin mengejar Mata Neraka tersentak ke depan seperti dihantam dengan sebatang pohon gelondongan tepat di pinggangnya. la melengkung ke depan dan akhirnya jatuh tersungkur. Dengan cepat Mata Neraka bangkit kembali dan tak hiraukan rasa ngilu di tulang belakangnya. la segera menatap pemuda tampan yang gagah perkasa itu dengan mata liarnya. Ia pun menggeram sambil mengusap kumisnya yang tebal memakai tangan kiri, lalu berkata, "Biadab kau! Rupanya kau sengaja bikin perkara denganku, hah?!""Aku hanya tak suka melihat caramu memaksa gadis Itu untuk kau jadikan istrimu! Kudengar kau yang bernama Mata Neraka?!""Betul! Pasti kau tadi telah menyadap perdebatanku dengan Mahligai!" ucap Mata Neraka sambil napasnya sedikit terengahengah karena menahan luapan amarah kepada pemuda Itu. la berkata lagi,"Dan kau... kalau tak kusalah pandang, kau pasti muridnya Empu Dirgantara yang punya gelar Dewa Geledek itu! Kau yang bernama Yoga!""Dari mana kau tahu tentang diriku?!" "Sudah kuincar dirimu bersama gurumu itu! Tapi aku belum sempat lakukan penyerangan kepada kalian! Agaknya, aku harus membunuh muridnya dulu. setelah itugurunya yang kubunuh!""Ada dendam apa kau kepadaku sehingga ingin membunuhku?""Dendamnya sudah jelas, kau membuat Mahligai lari, kau mencampuri urusanku dengan Mahligai, kau berlagak menjadi dewa penolongnya, dan itu berarti kau sudah bosan hidup! Soal dendamku kepada gurumu memang tidak ada, tapi karena dia adalah musuh bebuyutan kakakku, maka ada baiknya jika aku membunuh si Dewa Geledek itu!"Yoga memandang lawannya dengan menyipitkan mata, dan dalam hatinya la berkata, "Rupanya dia punya niat yang sungguh-sungguh untuk membunuh Guru! Kulihat tangannya menggenggam kuat sekali saat ia lontarkan niatnya untuk membunuh Guru! Jadi, aku pun tak boleh tanggungtanggung melawannya. Bukan lantaran ingin menyelamatkan gadis itu saja, melainkan juga harus menyelamatkan Guru sebelum bahaya datang dari si Mata Neraka Ini!"Sementara itu, si Mata Neraka pun berkata dalam hati ketika ia menatap Yoga tanpa berkedip sedikit pun. Ini lah saatnya memancing si Dewa Geledek keluar dari persembunyiannya selama ini Pemuda didepanku itu sesuai dengan ciri-ciri yang disebutkan beberapa orang sebagai murid si Dewa Geledek. Jadi kurasa dengan membunuh muridnya, maka Dewa Geledek akan muncul dan ikut campur lagi di rimba persilatan! Dia tak akan menjadi petapa lagi dan membatalkan niatnya untuk mengasingkan diri dari dunia persilatan!" Beberapa saat ketika mereka berdua saling pandang dan saling membatin, tibatiba sekilas sinar hijau kecil melesat dari mata orang berwajah angker itu. Claappp!! Dua sinar kecil hijau itu melesat bersamaan dan menghantam mata Yoga dengan cepatnya.“Ouhh…?” Yoga terkejut. Pandangan matanya menjadi gelap. Bola matanya pedih dan sakit sekali. la meraba-raba sambil bergerak. Lalu ia rasakan hembusan angin dingin mendekati lehernya. Buru-buru ia merunduk, setelah itu berguling ke tanah dengan cepat, dan bangkit dengan kaki berlutut besar itu lolos dari leher Yoga, karena Yoga menghindar saat hawa dingin dari logam baja putih pedang lawan ingin menebas lehernya. Sementara itu, Yoga segera menjadi berdebar-debar setelah ia sadar dan berkata dalam hatinya,"Oh, gelap sekali! Aku tak melihat apa-apa!""Ha ha ha ha! Nyawamu tinggal beberapa helaan napas lagi, Yoga! Kau tak akan bisa melawanku dalam keadaan buta begitu! Ha ha ha ha...!" seru si, Mata Neraka dengan bergerak mengelilingi Yoga, sementara itu, Yoga meraba-raba di udara mencari keseimbangan ia rasakan kembali hembusan angin dingin yang mendekat di punggungnya. Pedang lawan ingin membelah punggung. Tapi tiba-tiba ia mendengar suara, triingng...! Lalu suara lawan terpekik tertahan, "Uuhg...!"Dan setelah itu, wuutttt...! Tubuh Yoga bagai ada yang menyambarnya, membawanya pergi dengan gerakan secepat hembusan badal mengamuk.** *2PADA sisi hutan yang lain, sebuah pondok dibangun dalam kerimbunan tanaman jalar. Udara di sekitar pondok Itu cukup dingin, karena terletak di ketinggian lereng yang mendekati puncak sebuah gunung yang bernama Gunung Tiang Awan. Walau matahari mencapai pertengahan edar, tapi permukaan lereng gunung tersebut masih diselimuti kabut Gunung Tiang Awan itulah, Dewa Geledek yang bernama asli Empu Dirgantara itu membawa muridnya yang bandel. Kakek tua berbadan kurus dengan rambut serba putih sampai pada kumis dan jenggotnya itu, sedang menyembuhkan luka di mata Yoga akibat serangan si Mata Neraka. Luka yang bisa membutakan mata Yoga termasuk belum terlambat, sehingga dengan menyalurkan hawa murninya di dalam ubunubun Yoga, Empu Dirgantara berhasil membuat muridnya terhindar dari kebutaan. Sekalipun untuk itu sang Guru terpaksa kerahkan tenaganya yang sedang dalam keadaan sakit-sakitan itu."Lain kali jangan lakukan tindakan sebodoh ini, Yo!" kata sang Guru sambil memberikan ramuan obat penyegar darah yang harus diminum oleh Yoga. Lanjutnya lagi."Kalau kau selalu lakukan tindakan sebodoh ini, umurmu tidak sampai satu hari, Yo! Kau cepat mati dan merepotkan orang lain yang harus menguburkan mayatmu!"Setelah meneguk ramuan penyegar darah, Yoga pun berkata kepada sang Guru, "Aku hanya menyelamatkan gadis yang hampir dibunuh oleh si Mata Neraka itu,Guru! Gadis itu cantik dan tak seimbang ilmunya dengan. "'Yang kau selamatkan kecantikannya atau nyawanya?" potong Empu Dirgantara alias si Dewa Geledek tersipu malu mendengar pertanyaan itu. ia tak bisa menjawab, karena dalam hatinya sejak tadi memang mengakui kecantikan Mahligai yang tak membosankan dipandang mata. Yoga memang merasa sayang jika kecantikan itu rusak ataupun hilang tanpa nyawa. Yoga juga merasa tak rela jika gadis secantik Mahligai akhirnya jatuh bertekuk lutut dan pasrah menjadi suami si Mata Neraka yang bengis dan kasar Geledek bicara lagi kepada muridnya setelah ia duduk bersila di depan sang murid.“Tidak semua gadis cantik harus kau campuri urusan pribadinya, Yo. Hatihatilah dengan kecantikan, yang bisa berubah menjadi perangkap maut bagi dirimu!""Balk, Guru. Akan kuingat nasihat Guru ini!""Dan lagi, belum waktunya kau melawan Malaikat Gelang Emas dalam keadaan ilmumu masih serendah ini! Kau tidak imbang melawan Malaikat Gelang Emas, Yo!""Yang kulawan si Mata Neraka, Guru!Bukan Malaikat Gelang Emas!""Si Mata Neraka adalah adik dari Malaikat Gelang Emas. Dia mempunyai ilmu sedikit lebih rendah dari Malaikat Gelang Emas."“Tapi si Mata Neraka juga mengancam ingin membunuh Guru, setelah ia mengenaliku sebagai murid Guru! Apakah aku harus diam saja terhadap orang yang akan membunuh Guru?!"“Tak heran jika si Mata Neraka ingin membunuhku, sebab Malaikat Gelang Emas; kakaknya, adalah musuh bebuyutanku. Tentunya si Mata Neraka ingin membantu kakaknya dalam melenyapkan aku dari permukaan bumi ini!”Yoga terbungkam sesaat melihat sang Guru termenung dengan mata lurus ke depan menerawang pada satu rasa permusuhan yang terpendam. Yoga ingin menanyakan sebabsebab permusuhan antara gurunya dengan Malaikat Gelang Emas, namun ia ragu dan tak berani, karena sepertinya ada amarah yang tersembul dari hati kecil sang Guru, yang membuat sang Guru bungkam beberapa saat bungkamnya mulut Dewa Geledek itu bukan semata-mata sikapnya yang sedang larut dalam lamunan, melainkan karena suatu pertimbangan yang bergumul dalam hati sanubarinya."Sepertinya sudah saatnya kuturunkan semua ilmuku kepadanya. Penyakit tuaku Ini seakan sudah tak mampu menahan ilmu yang ada padaku. Lebih baik sekarang kulakukan hal itu, dari pada aku mati sebelum menurunkan semua ilmuku kepada Yoga."Pada saat itu, Yoga sengaja melemparkan pandangannya ke arah seekor burung rajawali berbulu merah yang melompat-lompat di samping pondok. Burung itu sesekali mengibaskan sayapnya yang besar dan lebar itu. Sesekali terdengar suaranya yang serak, seakan ingin ikut bicara dengan mereka berdua. Burung rajawali besar itu menggerak-gerakkan matanya ketika ia berada dalam posisi berhadapan jauh dengan Dewa Geledek, seperti memberi suatu isyarat tertentu yang membuat Dewa Geledek akhirnya berkata kepada Yoga Prawira, muridnya."Apakah si Mata Neraka yakin betul bahwa kau adalah muridku?""Ya, Guru! Kurasa ia sudah mendapat kabar dari beberapa tokoh sakti yang mengetahui aku menjadi murid Guru, dan ia mencocokkan ciri-ciri yang ada padaku, sehingga ia bisa langsung tahu bahwa aku adalah murid Guru. Aku pun mengakui di depannya bahwa aku adalah murid Dewa Geledek dan akan menjadi orang pertama yang menghadang maut yang ingin menyerang Guru!""Berarti Malaikat Gelang Emas pun akan mencarimu untuk dibunuh!" kata Dewa Geledek yang berpakaian serba putih itu. Kemudian katanya lagi sambil memandangi Yoga."Hati-hatilah jika bertemu Malaikat Gelang Emas. Dia berilmu tinggi. Sampai sekarang aku belum menemukan jurus yang bisa untuk mengalahkan kesaktiannya. Malaikat Gelang Emas adalah tokoh sakti yang sesat dan tak segan-segan membunuh lawannya, entah dia anak kecil ataupun perempuan tua. Dia mempunyai ilmu 'Bayang Siluman', yang membuatnya tak bisa disentuh oleh benda apa pun. Tapi dia sendiri bisa menyentuh semua benda, bisa menembus dinding, bahkan pintu baja pun bisa diterabasnya masuk tanpa harus merusak atau membuka pintu tersebut. Itulah jurus yang paling ditakuti olah tokoh sakti dalam melawan Malaikat Gelang Emas!"Pemuda berambut panjang sebatas lewat pundak yang tidak mengenakan ikat kepala itu terangguk-angguk kepalanya merenungi cerita sang Guru, ia sengaja tidak memotong kata untuk sementara ini, karena ia lebih tertarik untuk membiarkan sang Guru bercerita dengan sendirinya tentang Malaikat Gelang Emas yang mempunyai kesaktian sehebat itu. Maka, setelah diam beberapa saat, sang Guru pun melanjutkan kata-kata-nya dengan nada arif dan bijaksana,"Kesaktian dari Malaikat Gelang Emas itulah yang membuat aku terpisah dari istriku yang memiliki tunggangan seekor burung rajawali juga tetapi berwarna putih. Sebenarnya pada waktu itu, kami berdua bisa mengalahkan Malaikat Gelang Emas dengan memadukan pusaka kami, yaitu Pedang Lidah Guntur dengan Pedang Sukma Halilintar. Tetapi Dewi Langit Perak, atau Istriku itu, kehilangan pedangnya yang jatuh ke lautan saat dalam pengejaran, sebelum ia bergabung denganku. Akibatnya, kami menyerang Malaikat Gelang Emas tanpa pusaka! Hanya ada satu pusaka di tanganku, yaitu Pedang Lidah Guntur, tapi itu tidak membuat Malaikat Gelang Emas mudah kami kalahkan."Sekarang Yoga punya rasa penasaran dan ingin tahu, sehingga ia berani menyela kata dengan mengajukan pertanyaan pada gurunya,"Apa persoalannya sehingga Malaikat Gelang Emas menyerang Guru dan Nyai Guru?""Dia ingin memiliki kedua pusaka kami, yaitu Pedang Lidah Guntur dan Pedang Sukma Halilintar. Kami mempertahankan, sampai pada akhirnya kami samasama terdesak dan lari berpencar arah. Hingga sekarang, aku tak pernah bertemu dengan Dewi Langit Perak, istriku itu. Aku tak tahu di mana dia berada, dan dia tak tahu di mana aku berada. Sampai suatu saat, kutemukan seorang perempuan yang mengandung bayinya dalam keadaan hamil tua. Perempuan itu bernama Nurmala Wening atau berjuluk Angin Teratai. Aku kenal perempuan itu, dia adalah istri dari Paksi Jagat. Sedangkan Paksi Jagat adalah murid sahabat baikku, yaitu Ki Gentar Swara, yang sekarang sudah tiada. Paksi Jagat bukan saja murid dari Ki Gentar Swara, namun juga anak kandung dari Ki Gentar Swara. ""Apakah murid dan anak kandung Ki Gentar Swara yang bergelar Paksi, Jagat itu sekarang masih hidup, Guru?" tanya Yoga semakin ingin tahu kisah hidup masa lalu dari Geledek menjawab dengan tarikan napas memberat, "Paksi Jagat sudah tiada juga. Dan orang yang membunuh Paksi Jagat tak lain dari Malaikat Gelang Emas, karena ia diserang oleh Paksi Jagat yang menuntut balas atas kematian ayahnya di tangan Malaikat Gelang Emas.""0, jadi... ayah Paksi Jagat yang bernama Ki Gentar Swara itu juga mati di tangan Malaikat Gelang Emas?""Benar. Dan karena Paksi Jagat telah dibunuhnya, sedangkan Paksi Jagat mempunyai istri cantik bernama Angin Teratai itu, maka Malaikat Gelang Emas bermaksud mengambil istri Paksi Jagat yang kala itu memang terkenal cantik. Tetapi, Angin Teratai tak sudi dijadikan pemuas nafsu Malaikat Gelang Emas. Sebenarnya, Angin Teratai mempunyai Ilmu cukup tinggi juga, tapi karena ia sedang hamil tua, ia tak bisa banyak berbuat apa-apa kecuali hanya melarikan diri dan melahirkan di sebuah hutan. Pada saat itulah aku datang dan mengenalinya, lalu segera menolong Angin Teratai melahirkan bayinya. Sang jabang bayi bisa tertolong, tapi Angin Teratai tak bisa kutolong jiwanya. ia meninggal setelah bayinya lahir, dan diusap-usapnya beberapa saat. Angin Teratai juga sempat menceritakan padaku apa yang terjadi pada keluarganya. la menitipkan anak tunggalnya itu padaku dan memintaku memberi nama bayi tersebut dengan nama Yoga Prawira!"Seperti petir menyambar tepat di gendang telinganya, Yoga terbelalak matanya, kaget mendengar akhir dari kisah tersebut. Jantung pemuda itu berdebardebar sangat keras, membuat di dalam dadanya terasa gemuruh membendung berbagai rasa yang menggumpal menjadi satu antara dendam, sedih, dan memandangi Dewa Geledek, gurunya tanpa kedip. Sang Guru sendiri memandang sedikit sayu karena ditikam perasaan iba. Sejak dulu, kisah inilah yang tak bisa dituturkan lewat mulutnya, dan baru sekarang ia berhasil menceritakannya kepada sang murid, yang tak lain adalah anak dari Paksi Jagat dan Angin Yoga merenungi kisah itu. Berhari-hari pula ia mengingat-ingat nama kedua orangtuanya, termasuk nama kakeknya; Ki Gentar Swara. Semakin ia tajam mengingat nama orangtuanya, terasa semakin tajam pula rasa dendam mencuat di dalam hatinya. Dendam itu tak lain ditujukan kepada Malaikat Gelang Emas yang membunuh kakeknya, lalu membunuh ayahnya, mengejar-ngejar ibunya, dan terakhir memisahkan gurunya dengan istri sang Malaikat Gelang Emas merupakan tokoh sakti yang harus dimusnahkan dari permukaan bumi ini. Rasa-rasanya tak ada ampun lagi untuk tokoh sesat itu, sehingga pada suatu pagi, sang Guru melihat muridnya berkemas untuk pergi meninggalkan pondok. Maka bertanyalah sang Guru kepada muridnya,"Hendak ke mana kau, Yo?""Guru, aku harus mencari Malaikat Gelang Emas untuk menuntut balas atas kematian kakekku, kematian ayahku, juga atas kematian ibuku yang melahirkan di hutan karena ulah si sesat itu! Aku juga harus menuntut balas atas pecahnya Guru dengan Nyai Guru yang sampai sekarang membuat Guru merana hidupnya di lereng puncak gunung ini! Aku tak bisa menahan kesabaran lagi. Guru!""Murid bodoh!" geram Dewa Geledek. "Sudah kubilang, kau tak akan berhasil melawan kesaktian Malaikat Gelang Emas! ilmu tandingannya belum ada yang punya! Kau hanya sia-sia mengorbankan nyawa tanpa memperoleh kemenangan sedikit pun!" "Aku tak peduli, Guru! Hatiku sudah telanjur sakit dan terluka parah setelah mendengar cerita dari Guru beberapa hari yang lalu!"Dewa Geledek hanya menarik napas panjang-panjang. Sesuatu yang ditakutkan dari dulu kini telah terjadi dan nyata dihadapi tuntutan balas dendam muridnya pasti akan terjadi. Itulah sebabnya dari dulu Dewa Geledek menjaga mulutnya rapatrapat untuk tidak menceritakan siapa orangtua Yoga sebenarnya. Tetapi, agaknya hal itu tak bisa dipendamnya lebih lama lagi. dan tuntutan dendam telah tumbuh di hati Yoga, sulit untuk dipadamkan jika sudah begini."Tak bisa kutunda lagi niatku untuk turunkan semua ilmu padanya. Napasku terasa kian hari kian memberat." kata Dewa Geledek dalam hatinya. Kemudian ia memandang muridnya dengan lembut."Baiklah, Yoga...," kata Dewa Geledek bernada menyerah. "Kalau kau memang ingin membalas dendam kepada Malaikat Gelang Emas, itu adalah nalurimu yang tak bisa kucegah lagi. Tetapi aku tak bisa melepaskan kau pergi begitu saja, Yo.""Apa maksud Guru?""Semua ilmuku, semua kekuatanku, akan kutitipkan padamu, Dan..."Dewa Geledek bergegas ke satu sudut ruangan di dalam pondoknya. Kemudian ia kembali menemui muridnya dalam keadaan sudah membawa sebuah pedang bergagang merah, di ujung gagangnya ada hiasan kepala burung rajawali sepasang bertolak belakang juga berwarna merah, satu menghadap ke kiri, satu menghadap ke kanan."Kuserahkan pusaka Pedang Lidah Guntur ini padamu sebagai bekal perjalananmu turun gunung!" kata Dewa Geledek yang membuat hati ,Yoga saja hati Yoga berdebar-debar, karena ia tak menyangka akan mendapat pusaka Pedang Lidah Guntur yang sudah sering didengar kehebatannya dari mulut sang Guru. Pedang itu punya keistimewaan, mampu merobek lawan dari jarak satu tombak dan mengeluarkan cahaya merah yang sangat membahayakan. Pedang itu mampu menebas lawan tanpa mengeluarkan darahnya, dan membuat lawan mati tanpa merasa sakit."Duduklah," kata Dewa Geledek yang membuat Yoga segera duduk bersila di depan gurunya yang masih Geledek mencabut pedang itu dari sarungnya. Ssstt...! Pedang tersebut ternyata menyala merah membara, seperti besi dipanggang api tapi mempunyai warna merah berpijar-pijar. Pada saat itu pun, di angkasa terdengar ledakan dahsyat yang menggelegar bagai memenuhi seluruh bumi. Glegarrr...!Guntur bagai membelah langit satu kali, tanpa hujan, tanpa mendung dan tanpa badai. Empu Dirgantara memandangi pedang yang menyala merah itu beberapa saat, setelah itu memasukkan ke dalam sarungnya kembali. Kemudian ia duduk bersila di depan muridnya."Kurasa memang saatnya telah tiba, Yo. Kaulah pewaris pusaka Pedang Lidah Guntur ini, yang dulu membuat namaku kondang dan menjadi dikenal dengan nama Dewa Geledek. Kuharap kau tidak keberatan menerima warisan pusaka Pedang Lidah Guntur ini, Yo!""Aku siap, Guru!" kata Yoga dengan duduknya yang tegak dan menampakkan kesan tegas dan sigapnya."Kau tak akan bisa banyak berbuat dengan pusaka ini jika kau tidak memiliki ilmu dan kekuatan hawa yang ada padaku. Karena itu, sekarang pejamkan matamu dan ulurkan kedua telapak tanganmu ke depan!" Perintah itu dituruti oleh Yoga, la mengulurkan kedua tangannya dengan telapak tangan terbuka menghadap sang Guru. Kemudian sang Guru menggerakkan kedua tangannya dengan penuh curahan tenaga hingga bergetar seluruh tubuhnya. Mata sang Guru sedikit terpejam penuh dengan pengerahan konsentrasi yang kuat. Dan tiba-tiba ia sentakkan kedua jari tengahnya dari masing-masing tangannya. Jari tengah itu masing-masing melepaskan enam larik sinar; yaitu sinar hijau, merah, kuning, putih, biru, dan ungu. Sinar-sinar yang memancar dari masingmasing jari tengah itu menghantam ke telapak tangan berikutnya, tubuh Yoga gemetar dan berkeringat basah. Tubuh anak muda itu dilapisi oleh enam sinar yang tidak saling bersentuhan satu dengan lainnya. Pada saat tubuh Yoga dilapisi enam sinar dari ujung kaki sampai kepala itu, tubuh tersebut semakin gemetar kuat hingga terguncang-guncang. Sementara itu, di luar pondok, burung rajawali besar memperdengarkan suaranya yang melengking tinggi bagai mengundang segala macam satwa di hutan itu."Kraaahk..! Kraaahk..! Kreeaaahkk..!" Buug bug bug buggg...! Sayapnya pun ditebas-tebaskan, kejap berikutnya datang angin badai yang dari kecepatan pelan menjadi sedang dan makin lama menjadi kuat. Suara deru hembusan badai melingkupi lereng dl puncak Gunung Tiang Awan. Langit menjadi mendung dan awan hitam bergulung-gulung. Tak ketinggalan pula petir menyambar-nyambar, menggelegar bagai ingin meruntuhkan sinar masih menyembur dari kedua jari tengah Dewa Geledek. Mereka berdua seakan tidak peduli dengan alam yang mengamuk dan tanah yang terguncang bagai hendak dilanda gempa. Mereka berdua tetap hikmat dan khusuk, sampai akhirnya sinar ungu padam, tapi sinar lainnya masih menyembur ke telapak tangan sinar hijau padam, tinggal empat sinar yang masih memancar dari kedua ujung jari tengah Dewa Geledek. Makin lama semakin membuat kulit tubuh Yoga menjadi merah bagai terpanggang api. Keringatnya pun telah membasah kuyup di sekujur tubuhnya yang kekar itu. Dan Yoga masih merasakan aliran hawa hangat yang meresap masuk ke sekujur tubuhnya melalui kedua telapak demi satu sinar itu padam dalam jarak tak bersamaan. Kini tinggal satu sinar merah yang masih membias lewat ujung jari tengah Dewa Geledek. Pada saat itu, badai di luar pondok mulai mereda dan gumpalan awan hitam mulai menipis. Petir pun sudah jarang mengguntur di angkasa. Sampai akhirnya alam menjadi damai kembali ketika sinar merah itu berhenti dan padam tak berbekas sedikit pun di telapak tangan Geledek segera tundukan kepala dengan napas terhela memberat. Cukup lama ia menundukkan kepala, dan Yoga pun ikut menundukkan kepalanya dengan napas terengah-engah. Kulit tubuhnya yang tadi memerah bagai terpanggang api, sekarang sudah kembali seperti sediakala, yaitu coklat sawo matang."Yo...," terdengar suara Dewa Geledek menyapa. muridnya dengan nada pelan dan lirih."Ya, Guru!" jawab Yoga sambil tengadahkan wajah, dan ia melihat gurunya masih menundukkan kepala seperti orang sedang semadi."Ambillah pedang di depanmu itu!" "Baik, Guru," jawab Yoga lagi,kemudian ia mengambil pedang pusaka itu dengan dua tangan, mengangkatnya tinggi hingga di atas kepala. Kejap berikut terdengar suara gurunya berkata lagi,"Sekarang semuanya telah menjadi milikmu, Yo! Sekarang aku telah kosong. Kau adalah Dewa Geledek muda yang akan berkelana di rimba persilatan! Tetapi jangan kau gunakan nama julukanku itu!""Baik, Guru! Aku tidak akan menggunakan julukan Dewa Geledek!!”'"Karena Rajawali Merah itu sekarang juga menjadi tunggangan mu dan kau adalah tuannya, maka kau kuberi gelar Pendekar Rajawali Merah!" kata Dewa Geledek dengan tetap menundukkan kepala, memejamkan mata dan bersuara lemah."Baik, Guru! Aku akan menggunakan gelarku, yaitu Pendekar Rajawali Merah!"Tapi ingat, Yo... jika kau ingin mengalahkan Malaikat Gelang Emas, kau harus tetap mencari Rajawali Putih. Burung rajawali merahmu itu adalah suami dari burung Rajawali Putih. Jurus 'Rajawali Merah' jika digabungkan dengan Jurus 'Rajawali Putih' dapat untuk mengalahkan kekuatan dahsyat yang di miliki Malaikat Gelang Emas, atau kekuatan dahsyat siapa pun juga yang memilikinya! Penggabungan jurus 'Rajawali Merah' dengan jurus 'Rajawali Putih', akan membentuk satu kekuatan dahsyat yang tiada tandingnya! Karena itu, carilah Rajawali Putih terlebih dulu sebelum melawan Malaikat Gelang Emas! Carilah Dewi Langit Perak, si penunggang Rajawali Putih, karena pada dirinya itulah jodoh dari ilmu yang kutitipkan padamu, Yo!""Saya mengerti, Guru!" jawab Yoga lebih menghormat lagi. "Saya akan patuhi pesan dan wasiat dari Guru ini!"Dewa Geledek diam beberapa saat lamanya. Kemudian Yoga memberanikan diri mengajukan pertanyaan,"Bolehkah saya turun gunung sekarang juga, Guru?"Agak lama Yoga menunggu, tapi tak ada jawaban. Ia mengulangi pertanyaan yang sama, namun tetap tak ada jawaban. Sampai tiga kail tak ada jawaban, Yoga menjadi curiga. Kemudian ia memeriksa keadaan Guru dan ia terkejut melihat gurunya sudah tak bernapas lagi."Guruuu...?! Guruuu...?!" teriak Yoga dengan panik.** *3ANGIN bersalju berhembus ke arah timur. Sesosok tubuh kekar masih berdiri menundukkan kepala di depan sebuah tanah yang menggunduk dan berbatu nisan. Itulah makam Dewa Geledek, yang baru saja selesai dikuburkan oleh murid tunggalnya, Pendekar Rajawali Merah. Sementara di seberang pemuda tampan bertubuh tegap dan gagah itu, berdiri pula seekor burung rajawali besar berbulu merah. Burung itu bagai menyekap kedua sayapnya sendiri dan menundukkan kepalanya, seakan ingin ikut menangisi kematian sang Guru, Dewa ia ikut Empu Dirgantara yang bergelar Dewa Geledek itu. Bertahun-tahun ia merasakan pahit getirnya hidup bersama sang Empu yang ahli membuat berbagai macam senjata, sampai akhirnya ia melihat sang Empu menjadi tokoh sakti di rimba persilatan yang sukar ditandingi kecuali Malaikat Gelang Emas. Rajawali itu bagaikan sedang mengenang masa-masa bercanda dengan Empu Dirgantara, atau terbayang saat sang Empu menemukan beberapa jurus 'Rajawali Maut' yang ditimbulkan dari gerakan sayap atau perpisahan dengan sang Empu seakan membungkus kesedihan yang dalam di hati sang Rajawali Merah. Tadi pun ia ikut menimbun tanah ke liang kubur, seakan ikut mengucapkan selamat berpisah dengan majikan lamanya, dan selamat jalan bagi sang Dewa Geledek yang sering dilihat keperkasaannya semasa dapat membaca gerak isyarat burung rajawali tersebut. Bahkan Dewa Geledek pernah mengajarinya menerjemahkan bahasa burung sehingga ketika Rajawali Merah itu menyerukan suaranya yang memanjang, Yoga pun segera mendekati burung tersebut dan berkata,"Sudahlah, jangan kita terlalu berlarut-larut tenggelam dalam kesedihan. Kita semua akan mengalami saat-saat seperti ini, yaitu mati untuk kembali kepada Sang Pencipta!""Kraahk...! Kreeakh...!" burung itu manggut-manggut, kelopak matanya berkedip-kedip dengan gerakan mengusap-usap leher burung tersebut yang kini berdiri di sampingnya, lebih tinggi dari ukuran tinggi tubuh Yoga. Sambil mengusap-usap bulu bagian leher belakang, Yoga berkata,"Jangan cemas, Rajawali Merah, aku akan laksanakan apa yang menjadi wasiat Guru! Aku juga akan mencarikan istrimu; si Rajawali Putih, yang hilang bersama Nyai Guru Dewi Langit Perak. Kita akan melalang buana untuk mencari mereka sampai dapat! Apakah kau setuju?""Kraaahk...! Kraaahk...!" burung itu manggut-manggut lagi. Kini ia membuka sayapnya dan mengipas-ngipaskan dua kali. Itu pertanda dia tak sabar, ingin cepat pergi mencari kekasihnya; burung Rajawali Putih. Mungkin si Rajawali Merah sudah teramat rindu ingin jumpa dengan Rajawali Putih.!Angin masih berhembus pelan, menaburkan busa-busa salju yang kecil dan tipis. Pada saat Yoga ingin bergegas naik ke punggung burung besar itu, tiba-tiba gerakannya terhenti karena kemunculan seorang gadis di balik bebatuan yang menggugus tinggi itu. Gadis itu melompat dan tahu-tahu hinggap di atas bebatuan berjarak sekitar empat tombak dari kuburan Dewa terkesiap memandang gadis cantik itu. Ia kembali teringat pada saat matanya menjadi buta oleh kekuatan sinar dari mata adik Malaikat Gelang Emas, yaitu si Mata Neraka. Karena ia ingat peristiwa itu, maka ia pun Ingat nama gadis cantik berpakaian kuning dengan selendang biru melilit pinggangnya dan pedang pendek terselip di pinggang itu. Maka, Yoga pun menyapa gadis itu dengan senyum tipis,"Mahligai..?!"Gadis itu menyunggingkan senyum tipis sambil cepat melompat turun dari atas gugusan batu. Jleeg...! Kemudian ia berdiri di seberang makam, memandang dengan raut wajah ikut berkabung."Mahligai, bagaimana kau bisa tahu aku ada di sini?""Aku tidak sengaja menemukan sebuah pondok di atas sana. Lalu kususuri telapak kaki manusia yang menuju kemari, dan ternyata disini kutemukan kau sedang memakamkan jenazah orang tua yang kau sebut-sebut sebagai Guru! Apakah yang kau makamkan ini jenazah gurumu?""Benar!” jawab Yoga dengan tegas. "Kukenali wajah jenazah itu sebagaiwajah si Dewa Geledek, tokoh sakti yang sudah lama menghilang. Dulu waktu aku berusia dua belas tahun, ia pernah jumpa dengan guruku dan aku melihatnya. Apakah benar kau murid dari Dewa Geledek?”"Tidak salah dugaanmu, Mahligai! Tapi apakah kau tahu namaku?"“Aku baru ingin menanyakannya." "Namaku Yoga! Guru seringmemanggilku, Yo!" "Lalu aku harus memanggilmu apa?" "Terserah," Yoga semakin menyung-gingkan senyumnya. Yang jelas, namaku Yoga, atau kau boleh menyebutku Pendekar Rajawali Merah? Kau boleh memanggil dengan nama depannya saja, atau dengan nama lengkapku, atau kau punya nama panggilan sendiri padaku, silakan saja! Selagi nama itu bagus, aku akan senang menerimanya!”"Aku tidak terlalu peduli dengan namamu. Aku sengaja mencarimu ke sini karena aku ingin mengucapkan terima kasih atas pertolonganmu, yang membuat aku terhindar dari amukan si Mata Neraka. Aku melihat kau dibawa lari oleh sekelebat bayangan putih, dan aku mengikutinya, tapi aku tersesat dihutan sampai beberapa hari, dan secara tak sengaja kutemukan dirimu, Yo!""Kini kau telah sampaikan ucapan terima kasihmu padaku, apa lagi yang ingin kau lakukan?”Gadis cantik berhidung bangir itu mengalihkan pandangan matanya, karena ia tak tahan menatap mata pemuda tampam itu yang menimbulkan debar-debar keindahan yang menggoda dalam hatinya. la berkata saat itu dengan pandangan mata ke arah pepohonan sekelilingnya."Karena kau telah menyelamatkan aku, menolong jiwaku lolos dari amukan si Mata Neraka, maka aku bermaksud menolongmu jika diperlukan, Yo. Apa yang bisa kuperbuat untukmu?""Aku berniat mencari Istri mendiang guruku, yaitu Dewi Langit Perak. Karena menurut wasiat dari mendiang Guru, aku harus mencari Dewi Langit Perak yang menunggang seekor burung rajawali besar berbulu putih."Mahligai menatap Yoga dengan dahi sedikit berkerut. la berkata bagaikan orang menggumam untuk dirinya sendiri,"Sepertinya aku pernah mendengar nama Dewi Langit Perak itu! Hmmm.,, tapi di mana dan kapan aku mendengarnya, aku sudah lupa!"Gadis itu melangkah sambil mengingatingat. Dahinya berkerut dan matanya tertuju pada tanah yang dipijaknya. Sementara itu, burung Rajawali Merah itu juga ikut memandangi gadis cantik tersebut, seakan menunggu suatu kabar yang menggembirakan. Tetapi agaknya Mahligai tidak menemukan apa yang sedang dicari dalam ingatannya. Maka, Pendekar Rajawali Merah yang kini sudah menyandang pedang di punggungnya itu segera berkata, "Sudahlah, tak perlu kau peras otakmu jika kau tak mampu mengingatnya! Aku akan pergi mencarinya sendiri!""Eh, eh... tunggu dulu!" sergah Mahligai. "Aku ingat sekarang, orang yang pernah menyebutkan nama Dewi Langit Perak adalah guruku sendiri; yaitu Bibi Sendang Suci!""Kau yakin orang yang bernama Sendang Suci itu tahu tentang Dewi Langit Perak?" "Ya. Karena Bibi Sendang Suci, selain bibiku juga guruku itu, pernah bercerita padaku tentang perempuan sakti yang mengendarai seekor rajawali dan bernama Dewi Langit Perak. Cerita itu dituturkan padaku ketika aku masih kecil, kira-kiraberusia sepuluh tahun!""Kalau begitu, aku perlu bertemu dengan beliau!""Aku bersedia mengantarmu, Yo! Tapi kalau bisa jangan menunggang burung itu! Aku takut menunggang burung!" sambil Mahligai tersipu."Merah," panggil Yoga kepada burung rajawali besar Itu. "Aku akan pergi bersama Mahligai mencari kabar tentang Istrimu, si Rajawali Putih! Ikutilah aku dari atas!""Kreaahk...!" burung itu Burung itu melesat terbang dengan kibasan sayapnya yang menyingkapkan kerimbunan semak dan daundaun kering beterbangan. Burung itu pergi mengitari angkasa setelah Yoga dan Mahligai pun meninggalkan makam Dewa Geledek, yang meninggal akibat seluruh kekuatan dan ilmunya disalurkan ke dalam tubuh Mahligai amat senang bisa berjalan berdampingan dengan pemuda tampan itu. Mahligai merasa menemukan kebahagiaan ketika berjalan bersama Yoga, la tak pernah temukan pemuda setampan dan segagah Pendekar Rajawali Merah itu."Auuh...!" Mahligai sengaja membuat Kakinya tergelincir jatuh ketika menuruni tanah miring. Tangan Yoga cepat menangkapnya, sehingga tubuh itu tak terbawa sentakan ke tepi jurang."Oh, untung kau cepat menangkapku, kalau tidak aku bisa tergelincir masuk ke jurang sebelah kiri, Yoga!""Hati-hatilah kalau berjalan, jangan sambil melamun!""Aku tidak melamun!" sanggah Mahligai karena malu diketahui sedang melamun, padahal sedang memikirkan cara untuk bisa lebih dekat lagi bersama Pendekar Rajawali Merah itu."Kurasa kita berjalan pelan-pelan saja...! Jangan lari seperti tadi, nanti kau tergelincir lagi.""Aduuuh... kakiku terkilir, tak bisa dipakai untuk menapak, Yo!" Mahligai merengek, mulai menampakkan kemanjaannya."Kalau begitu biar kuurut sebentar!" "Apakah kau bisa mengurutnya?" "Akupernah mendapat pelajaran memijat dari Guru!” sambil berkata begitu, Pendekar Rajawali Merah mulai mengurut mata kaki Mahligai yang dianggapnya terkilir itu. Mahligai tersenyum-senyum dalam hati, merasa kegirangan kakinya itu diusap-usap oleh tangan Yoga."Rasa sakitnya sampai ke betis, Yo!" rengek Mahligai semakin menjadikan dirinya sebagai gadis manja."Urat telapak kaki memang menjalar sampai ke betis. Tapi dengan sedikit urutan pada urat betis, pembengkakan bisa diatasi!" sambil Yoga memijat pada bagian betis Mahligai, dan gadis itu kian berbunga-bunga hatinya. ia berharap pijatan itu jangan lekas-lekas selesai. Tapi apa yang diharapkan itu justru terbalik. Yoga menghentikan pijatannya dan berkata, "Kurasa sudah lemas urat kakimu!""Kenapa hanya sebentar memijatnya?” "Kalau terlalu lama justru akantimbul pembengkakan pada urat yang menuju tumit!"“Tapi kakiku masih sakit, Yo! Masih tak bisa dipakai untuk menapak! Aduh, bagaimana ini?!"Kalau begitu kau kutinggalkan disini sampai saatnya kau bisa berjalan dan pulang menuju rumah bibimu itu!" jawab Yoga sedikit agak dongkol dengan kemanjaan itu. "Kalau aku di sini mati dimakan harimau, bagaimana?""Itu salah harimaunya, bukan salahku!""Aaah... kamu jahat kalau begitu!" Mahligai cemberut dan buang muka sambil tetap duduk di atas sebongkah batu setinggi satu lutut."Lalu apa saranmu?""Gendonglah aku, mungkin beberapa saat lagi urat-urat kakiku menjadi lemas!""Aku tak mau!""Kalau kau tak mau, aku juga tak akan membawamu kepada Bibi!"Pendekar Rajawali Merah menghembuskan napas panjang, pertanda menahan kejengkelan dalam hatinya. Kemudian, dengan sangat terpaksa ia pun menggendong gadis cantik tersebut dan membawanya lari lebih cepat dari sebelumnya. Mahligai tertawa kegirangan di dalam hatinya. la berlagak takut dibawa lari dalam gendongan kedua tangan Yoga, karenanya dia punya alasan kuat memeluk leher Yoga sebatang pohon tumbang tepat di depan Yoga. Brukkk...! Pohon itu merintangi jalan dan langkah Pendekar Rajawali Merah. Mau tak mau Pendekar Rajawali Merah melompat ke samping sambil tetap membawa tubuh Mahligai dengan kedua tangannya. "Apa itu, Yo?""Sebatang pohon tumbang!" jawab Yoga pelan, tapi matanya yang jeli itu segera melirik ke arah sekelilingnya. la mulai curiga dengan pohon yang tahu-tahu tumbang sendiri. Ia berpendapat, pohon yang masih segar dan kokoh, tak mungkin bisa tumbang sendiri jika tidak ada yang menumbangkannya."Ada seseorang yang sengaja menghentikan langkah. kita, Mahligai!" bisik Yoga yang masih menggendong Mahligai."Si Mata Neraka itukah orangnya?" "Entahlah! Aku belum melihat gerakananeh di sana-sini!" Yoga melangkahkan kakinya ke arah samping, ke tempat akar pohon yang mencuat keluar dari tanah itu. Kedua tangannya masih belum sadar menggendong tubuh si gadis cantik selarik sinar terlihat berkelebat melesat dari atas sebuah pohon berdaun rimbun. Sinar itu berwarna merah dan melesat dengan cepatnya. Wuuusst...!Pendekar Rajawali Merah segera sentakkan kakinya dan tubuhnya melesat ke atas dengan bersalto dua kali ke belakang. Tubuh dalam gendongannya masih tetap ada dan ikut terguling-guling Sinar merah itu mengenai pangkal pohon yang tumbang, sehingga bagian yang terkena sinar merah itu menjadi pecah berhamburan. Akar pohon itu pun menjadi serpihan-serpihan kecil. Kalau saja Yoga tidak segera melompat menghindarinya, maka tubuhnya dan tubuh Mahligai akan menjadi serpihan-serpihan kecil seperti nasib pohon itu."Arahnya dari atas pohon, Yoga!" bisik Mahligai."Ya, aku tahu!" balas Yoga berbisik. Lalu, dengan cepat ia bergerak melompat dan memutarkan tubuhnya. Wuuttt.! Kakinya menendang dalam gerak mengibas cepat. Kibasan kaki itu melepaskan sebuah tendangan jarak jauh yang tidak memancarkan sinar warna apa pun, namun menimbulkan hawa panes yang segera melesat ke arah kerimbunan pohon lebat itu. Wuuugh...! Grusssaakkk. Buuhg...!Sekelebat bayangan hitam jatuh dari atas pohon tersebut dengan menimbulkan bunyi bergedebuk cukup keras. Tapi tak ada suara pekik dan jerit kesakitan dari bawah pohon berdaun lebat itu. Sementara itu, daun-daun pohon yang tadi terkena tendangan hawa panas Yoga kini menjadi layu dan mengkerut."Keluarlah kalau kau ingin menemui ku!" seru Yoga masih belum menyadari bahwa dia sebenarnya bisa menurunkan tubuh Mahligai dari gendongannya. Sedangkan Mahligai sendiri yang menyadari hal itu, diam saja dan merasa semakin betah berada dalam gendongan pemuda tampan yang menawan hatinya selanjutnya, seorang lelaki berpakaian serba hitam muncul dari balik pohon yang berdaun rimbun itu. Orang tersebut sudah memasang wajah angker dengan pandangan mata yang sangar dan dingin. Orang itu berkumis agak lebat, turun ke bawah hingga mencapai tepian dagunya yang tidak berjenggot. Di perkirakan oleh Yoga, usia orang berambut abu-abu pendek berikat kain putih Itu sekitar empat puluh tahun, Tapi Yoga merasa tidak mengenal orang tersebut dan baru kali itu berjumpa. Hanya saja, Mahligai segera berkata seakan bicara pada dirinya,"Paman Jalak Hutan...?!""Siapa pemuda gila itu, Mahligai?!" "Dia Pendekar Rajawali Merah yangbernama Yoga, Paman! Mengapa Paman menghadang langkah kami?!""Aku tertarik dengan pedang di punggung anak muda itu! Kalau tak salah lihat, itulah Pedang Lidah Guntur milik Empu Dirgantara!"Yoga menyahut, "Benar! Akulah murid Empu Dirgantara dan pewaris Pedang Lidah Guntur!""0, pantas...! Rupanya cukup lama Empu Dirgantara menghilang dari rimba persilatan karena mendidik seorang murid yang akan dijadikan pewaris seluruh ilmunya?" kata Jalak Hutan dengan pandangan mata tidak bersahabat."Lalu apa maumu, Paman?" tanya Yoga bernada Hutan memandangi beberapa saat tanpa bicara. Sementara itu, Yoga berbisik kepada Mahligai,"Siapa orang itu, Mahligai?""Dia orang yang dari dulu mengharapkan cinta bibiku, tapi tak pernah disambut oleh Bibi! Dia sangat mencintai Bibi, tapi Bibi sama sekali tidak mencintainya, namun juga tidak memusuhinya!""Hmmm...! Yoga menggumam pendek dan sedikit mengangguk-anggukkan kepalanya. Mata masih menatap tajam ke arah Jalak Hutan yang berpakaian serba hitam dan menyandang golok di itu segera berkata kepada Yoga, "Kusarankan padamu, Anak Muda... jangan kau membawa-bawa pedang itu! Karena pedang tersebut akan menjadi incaran banyak orang. Hampir setiap tokoh sakti ingin memiliki Pedang Lidah Guntur itu! Jadi, alangkah baiknya jika kau titipkan padaku untuk kusimpan dan kuselamatkan!""Terima kasih, Paman Jalak Hutan! Aku cukup mampu menyelamatkan pedang ini, karena memang wasiat dari guruku melarang aku menyerahkan pedang ini kepada siapa pun!"'Ternyata kau anak muda yang bodoh, hanya tampan wajahmu tapi tumpul otakmu! Serahkanlah padaku, akan kusimpan pedang itu!"“Tidak!""Kalau begitu aku harus merebutnya, supaya pedang itu tidak membawa korban tak bersalah!""Kau kelihatan bernafsu sekali ingin memiliki pedang ini, Paman Jalak Hutan!" kata Mahligai dari gendongan Yoga."Ini bukan urusanmu, Mahligai! Jangan ikut bicara!" bentak Jalak Hutan. Lalu ia berkata kepada Yoga."Pendekar Rajawali Merah, demi keselamatan umat manusia dari ancaman maut pedang itu, aku terpaksa merebutnya darimu!""Aku terpaksa mempertahankannya!” "Kurang ajar! Berani kau menentangkehendakku, hah? Hiaaat...!"Jalak Hutan mencabut goloknya dan langsung menyerang Yoga dengan satu lompatan yang siap menebaskan golok tersebut. Tetapi, di luar dugaan, Pendekar Rajawali Merah yang sedang menggendong Mahligai mampu melesat naik lebih tinggi lagi hingga melampaui ketinggian lompat Jalak Golok itu ditebaskan dan tentu saja mengenai tempat kosong. Orang yang ditebasnya sudah ada di atas dan dengan gerakan kaki begitu cepat, Yoga menendang tengkuk kepala dan bagian belakang kepala lawannya. Des des des des...!Ujung jempol kaki yang dipakai menendang beberapa kali dengan gerakan yang tak bisa dilihat oleh mata telanjang. Gerakan tendangan pada ujung jempol kaki yang begitu cepat itulah yang dinamakan jurus 'Rajawali Paruh Pendek'."Ahg...!" kepala Jalak Hutan tersentak mendongak dengan mulut ternganga. Tubuh berpakaian hitam itu diam tak bergerak sesaat, namun kejap berikutnya ia tampak menggeram dan dengan susah payah mengembalikan kepalanya agar tidak mendongak. Namun agaknya ada tulang dan urat yang terkunci akibat pukulan jurus 'Rajawali Paruh Pendek' itu, sehingga Jalak Hutan tak bisa gerakkan kepalanya ke kiri atau ke kanan, bahkan menunduk ataupun tegak sudah tak bisa lagi."Keparat...!" geramnya sambil mengerahkan tenaga untuk menundukkan kepala, namun sama sekali tak bisa bergerak sedikit pun. la menjadi sulit memandang ke depan, dan sulit berpaling ke mana-mana."Kau memang kurang ajar, Pendekar Rajawali Merah! Kurasa untuk kali ini pertemuan kita sampai di sini dulu! Aku berjanji akan kembali lagi setelah aku berhasil mengembalikan keadaan kepalaku ini!"Wuuuttt...! Jalak Hutan cepat-cepat melarikan diri dengan kepala selalu menghadap ke langit. Yoga ingin mengejarnya, tapi Mahligai yang masih dalam gendongannya itu melarang.** *4MAHLIGAI dirawat dan diasuh oleh Bibi Sendang Suci sejak la berusia tujuh tahun. Mahligai bukan anak piatu, tapi ia mempunyai sebelas saudara dan orang tuanya orang tak mampu. Lalu, Sendang Suci bermaksud meringankan beban kedua orangtua Mahligai dengan merawat dan mengasuh salah satu dari kedua belas anak adiknya itu. Mahligai lah yang terpilih, karena pada waktu itu Mahligai lah anak yang paling nakal dan bandel, melebihi kakak lelakinya yang berjumlah tiga orang itu. Mahligai adalah anak yang keenam, jadi ia masih mempunyai lima saudara tua dan enam saudara muda. Mereka tinggal bersama orang tua Mahligai, jauh dari tempat Bibi Sendang Suci merawat dan Suci perempuan berusia empat puluh lima tahun yang masih kelihatan cantik dan muda berkat ramuan obat-obatan yang sering digunakannya. !a cukup ahli dalam ramuan obat-obatan, karena itu banyak yang memanggilnya dengan julukan Tabib Perawan. Dijuluki sebagai Tabib Perawan, karena selain Sendang Suci ahli meracik obat-obatan juga dia dalam usia setua itu masih perawan dan belum pernah dijamah seorang lelaki mana pun Perawan atau Sendang Suci pernah patah hati semasa remajanya. Kekasihnya mati terbunuh oleh lawan yang tidak diketahui siapa pembunuhnya. Tabib Perawan bertekad tidak mau menerima cinta seorang lelaki lagi, karena ia takut kecewa jika lelaki yang dicintainya itu mati. Baginya, kematian seorang kekasih merupakan kepergian yang amat kejam dan tak bisa dibendung lagi. Hal yang paling sulit dilakukannya adalah mencegah kepergian kekasih ke alam kesendiriannya di Lembah Bukit Berhala itu, ia menekuni ilmu pengobatan dari rempah-rempah dan segala sesuatu yang bersifat alami. Untuk mengisi agar hidupnya tak sepi, ia mengajarkan ilmu silatnya kepada Mahligai. Hampir semua ilmu silatnya telah diturunkan kepada sang keponakan itu, tapi ilmu pengobatannya hanya beberapa bagian saja yang baru diturunkan kepada ketika suatu saat ia diserang oleh penyerang gelap dengan jarum beracun, Sendang Suci tak bisa sembuhkan dirinya. la tak bisa melenyapkan racun yang hampir-hampir merenggut nyawanya itu. Sampai suatu saat, datang si Mata Neraka dan berjanji akan menyembuhkan luka racun di tubuh Sendang Suci, jika Sendang Suci mau mengizinkan serta membujuk Mahligai agar menjadi istri si Mata Suci menyetujui, karena ia tak tahu bahwa orang yang menanamkan racun dalam tubuhnya itu tak lain adalah si Mata Neraka sendiri, dan semua itu adalah siasat Mata Neraka, agar dalam upayanya memperistri Mahligai, Sendang Suci tidak ikut campur. Mata Neraka tahu kekuatan ilmu Sendang Suci, yang bila tak waspada bisa mencelakai dirinya. Karena itu, Sendang Suci ditundukkan dengan perjanjian tersebut. Sendang Suci pun tak bisa berbuat banyak ketika si Mata Neraka mengejar Mahligai yang melarikan diri dari Lembah Bukit setelah gagal mengejar Mahligai, si Mata Neraka datang kepada Sendang Suci untuk menagih janjinya. Dengan hati yang dongkol dan memendam kemarahan besar, si Mata Neraka berkata kepada Sendang Suci atau si Tabib Perawan itu."Aku menyesal telah mengobatimu, Sendang Suci! Kalau kutahu kau akan biarkan Mahligai lari, aku tak akan sudi menolong nyawamu!""Aku tak menghalangi niatmu, Mata Neraka! Mengapa kau marah kepadaku?" sanggah Sendang Suci yang berpakaian longgar putih berlengan panjang dengan rompi ketat yang rapat sepanjang betis berwarna ungu menyala itu. "Bukankah aku tidak membantu melarikan Mahligai?!""Memang, tapi seharusnya kau buat Mahligai untuk tetap di tempat!""Kupikir kau cukup mampu mengejar gadis kecil seperti dia! Kau cukup mampu menundukkan jiwanya dan membuatnya bertekuk lutut padamu! Jadi kurasa tak perlu lagi aku ikut campur tangan menahan Mahligai!""Hmmm...! Aku tahu semua ini adalah rencana busukmu, Sendang Suci! Kau beberkan perjanjian kita di depan Mahligai, kau ceritakan bahayanya menjadi istriku, dan kau ceritakan keburukankeburukan ku sehingga hati Mahligai memberontak dan berkesimpulan untuk melarikan diri! Kau memang tidak menyuruhnya lari, tapi kau buat ia mengambil keputusan itu dengan sendirinya!"Dalam hati, perempuan bertubuh sedang dengan rambut di sanggul di tengah yang sisanya meriap di sekeliling itu, berkata membatin,"Rupanya dia tahu siasatku menyelamatkan Mahligai! Tapi mengapa ia tidak bisa menangkap Mahligai? Apakah ia tak berhasil mengejarnya, atau Mahligai membuatnya terdesak? Ah, kurasa tidak begitu. Ilmu yang dimiliki Mahligai tidak sebanding dengan ilmu si Mata Neraka. Lelaki ini mempunyai ilmu yang jauh lebih tinggi dari Mahligai, tak mungkin ia terdesak mundur oleh serangan Mahligai!"Terdengar suara Mata Neraka menyentak keras, "Sekarang kuminta kau serahkan Mahligai padaku dalam waktu satu hari satu malam! Kalau tidak, kucabut nyawamu tanpa ada perjanjian apa-apa lagi!""Aku tidak tahu di mana Mahligai berada!" balas Sendang Suci bernada ketus dan berani, Tangkaplah dengan ilmumu sendiri gadis kecil itu, Mata Neraka! Bukankah ilmumu jauh lebih tinggi daripada ilmunya?!""Ada pihak lain yang ikut campur dalam pengejaranku, Sendang Suci!"Terkesiap mata Sendang Suci memandang! orang berkumis lebat itu. Kemudian, setelah diam sesaat, Sendang Suci perdengarkan suaranya,"Siapa yang ikut campur dalam masalah ini?" "Murid Dewa Geledek!"Makin terkejut Tabib Perawan itu mendengarnya. Ia menggumam lirih,"Murid Dewa Geledek...?! Sejak kapan Dewa Geledek mempunyai murid? Aku tak pernah dengar kabar nya mendidik seorang murid! Mungkin hal itu sengaja ia sembunyikan dari telinga para tokoh di dunia persilatan untuk membuat suatu kejutan baru?.""Kalau murid Dewa Geledek itu tidak ikut campur, Mahligai sudah mati di tanganku!""O, kalau Mahligai tewas, jelas aku turun tangan dan mencarimu, Mata Neraka! Sebab perjanjiannya bukan merenggut nyawa muridku itu!" kata Sendang Suci dengan beraninya."Kalau Mahligai menolak lamaranku, maka ia harus mau menerima nasibnya, yaitu kucabut nyawanya dalam sekejap!""Dan aku ada di depan Mahligai. jika hal itu kau lakukan, Mata Neraka! Tak kuizinkan siapa pun mencabut nyawa muridku sebelum ia berhasil membunuhku!"Sikap berdiri Sendang Suci sudah mulai menampakkan keadaan siap bertarung. Mata Neraka pun memandang dengan menyipit benci, lalu keluarlah kata-kata pedas dari mulutnya yang berbibir tebal itu,"Kalau aku harus membunuhmu, sangatlah disayangkan jika hanya kulakukan seperti membunuh lawan-lawanku lainnya. Khususnya untuk kamu, Tabib Perawan, kau harus dibunuh setelah kau merasakan cumbuan hangatku lebih dulu, ha ha ha...!""Tutup mulutmu, Mata Neraka!" bentak Sendang Suci dengan mulai semakin terpancing amarahnya"Kau perawan tua, Sendang Suci! Rugi kalau kau mati belum pernah merasakan nikmatnya cumbuan lelaki! Jadi kalau kau menghendaki aku membunuhmu sebelum membunuh muridmu, itu berarti kau menyuruhku untuk segera mencumbumu, Tabib Perawan!".Semakin geram hati Sendang Suci mendengar ucapan lawannya, kemudian ia segera berkata dengan mata terbuka menantang"Majulah kalau kau ingin kuremukkan kepalamu, Mata Neraka!"Seet...! Sendang Suci mencabut kipas dari pinggangnya. Kipas lebar itu mulai dibentangkan membuka di depan dadanya. Pandangan matanya semakin tajam dan penuh sorot tatapan mata permusuhan."Rupanya kau memang memancingku agar memperkosamu, Perawan Tua! Ha ha ha ha...!" Mata Neraka mulai melangkah dalam gerak ke samping, mengitari Sendang Suci dengan tangan siap melakukan serangan. Sendang Suci sendiri pun melangkah menyamping dengan mata tak berkedip memandangi tiap gerakan anggota tubuh Mata Neraka. Ha! yang paling selalu diperhatikan adalah mata dari lawannya, karena ia tahu lawannya mempunyai jurus maut pada pancaran Sendang Suci memang benar, mata lawannya segera berubah menjadi hijau menyala. Tak lama kemudian mata itu melepaskan sinar hijau dua larik yang menghantam ke tubuh Sendang Suci. Clap, clap!Sendang Suci mengibaskan kipasnya dengan cepat. Wuutt wuuttt! Dua sinar hijau itu bisa ditangkis keduanya, dibelokkan arahnya hingga menghantam dua buah pohon di kejauhan duaarrr...! Kedua pohon itu segera rubuh dalam keadaan hancur pada bagian yang terkena sinar hijau Itu. Dan setelah merasa kilatan sinar dari matanya mudah ditangkis dengan kipas lebar itu, si Mata Neraka segera mencabut pedang lebarnya. Wusss...! Ia mulai memainkan jurus pedang. Pedang itu digenggam dengan kedua tangan dan segera kakinya menyentak ke tanah, tubuh pun melesat maju dalam keadaan melompat bagaikan terbang. Pedang besar itu ditebaskan dari samping kanan ke kiri. Wuusss...!Trangng...! Kipas Sendang Suci menghadang gerakan pedang lawan. Kipas itu tidak patah, robek, ataupun terpotong. Kipas itu menjadi sekeras baja, dan bisa dipakai menahan tebasan pedang besar. Maka dengan cepat kaki Sendang Suci bergerak menendang ke arah rusuk kiri lawannya. Wuutt...! Duuggh...! "Ahg. .!" si Mata Neraka tersentak dalam pekik tertahan. Tulang rusuknya terasa patah sebagian karena tendanganberat saat si Mata Neraka terhuyunghuyung ke samping, Sendang Suci segera menutupkan kipas besarnya. Kipas itu menjadi seperti sebuah senjata dari baja keras, dan dapat dikibaskan ke leher lawannya. Wuuttt...! Claap..! Seberkas sinar keluar dari ujung kipas, berwarna ungu seperti bentuk bintang. Trangng...! Wuusss...!Sinar itu dihadang oleh seberkas sinar hijau yang melesat dari mata lelaki berkumis tebal itu. Zlaapp...! Blaarrr...!Benturan dua sinar itu mengakibatkan ledakan besar yang membuat kedua tubuh terpental saling menjauh. Sendang Suci sendiri terpental hingga empat tombak jauhnya, dan si Mata Neraka hanya terpental antara dua tombak ke belakang. Tapi keadaan si Mata Neraka masih tetap berdiri, sedangkan Sendang Suci jatuh tersimpuh di samping sebongkah batu sebesar tubuhnya waktu itu, si Mata Neraka segera menggeram dan bola matanya menjadi hijau. Lalu, dari bola mata itu melesatlah sinar hijau dua larik yang mengarah ke tubuh Sendang Suci. Kehadiran sinar hijau itu tak sempat diperhatikan oleh Sendang Suci, sebab saat itu perempuan tersebut sedang terbatuk-batuk dan memuntahkan darah segar dari mulutnya akibat gelombang ledakan Blaarrr...!Dua larik sinar hijau terpotong meledak di pertengahan jarak sebelum mencapai Sendang Suci. Sinar tersebut tertahan oleh sinar kuning yang membentuk seperti dua cakram berkelebat dari arah tiga pohon terjajar merapat. Kalau sinar hijau dari mata lelaki berpakaian serba biru itu tidak terpotong sinar kuning berbentuk cakram, maka tubuh Sendang Suci akan hancur berkeping-keping dan tak akan tertolong lagi tiga batang pohon terjajar itu muncullah sesosok tubuh berpakaian hijau lengan panjang komprang dengan rompi putih rapat membungkus dadanya. Orang itu mengenakan tudung hitam yang segera dikenali oleh si Mata Neraka."Jahanam kau, Tudung Hitam! Rupanya kau pun Ingin ikut campur urusanku ini, hah?!"Tudung Hitam segera melompat dengan bersalto satu kali, dan ia tiba di depan Sendang Suci yang telah sanggup berdiri lagi itu."Tamtama," kata Sendang Suci, "Menyingkirlah, biar aku yang menangani masalah ini!""Tidak, Bibi! Silakan Bibi mundur dan saya akan menghadapi si Mata Neraka yang berwatak jahanam itu, Bibi!"“Tamtama, ilmumu tidak seimbang dengan ilmunya! Jangan melawan dia, Tamtama.""Saya tidak peduli, Bibi! Tadi saya dengar dia ingin memperistri Mahligai atau membunuhnya! Itu berarti dia harus berhadapan dengan saya, Bibi!"Kesempatan lengah itu digunakan oleh si Mata Neraka untuk melepaskan pukulan jarum beracunnya dari telapak tangan kanan. Wuuttt...! Werrr...!Puluhan jarum hitam beracun menyembur keluar dari telapak tangan dan mengarah ke punggung si Tudung Hitam. Sendang Suci segera terpekik kaget melihat jarum beracun,"Awas...!"Sentakan itu membuat gerakan naluriah dilakukan oleh si Tudung Hitam dengan melepas tudungnya dan mengibaskan ke depan. Wuuuttt...! Jrabbb...! Puluhan jarum beracun itu menancap di tudung tersebut. Mengepulkan asap putih kebiru-biruan, membuat tudung tersebut menjadi hangus terbakar dan kejap berikutnya menjadi arang yang tergeletak di tanah."Terimalah pembalasanku, Jahanam!Heeeaaah...!"Tamtama atau si Tudung Hitam yang sudah tidak mengenakan tudung lagi segera menyentakkan kedua tangannya ke depan. Pada saat itu, segeralah melesat sinar berkelok-kelok seperti akar pohon beringin yang warnanya kuning. Sinar tersebut segera menyerang tubuh si Mata Neraka dengan gerakan cepat. .Tetapi Mata Neraka hanya menggunakan satu tangan menghentakkan telapak tangan kanannya hingga keluarkan sinar berkelokkelok semacam akar itu, tetapi berwarna hijau. Kedua sinar itu bagaikan saling melilit berbelit-belit di pertengahan jarak. Craattt... traatt... cratt! Percikan bunga api terjadi bagai pertarungan dua kekuatan yang sama-sama Suci segera melompat ke kanan, lalu dengan gerakan kaki merenggang lebar, ia menyentakkan kipasnya ke depan. Suttt...! Dan dari kipas itu keluar sinar lebar warna ungu yang segera menghantam ke pertemuan dua sinar tersebut. Zrruubb...!Traattt... ttar... taarr...ttrratttt... trat... tar...!Tiga sinar beradu dengan sama-sama kuatnya. Sendang Suci bermaksud membantu Tamtama untuk mengalahkan sinar hijaunya si Mata Neraka. Tetapi tiba-tiba dari hiasan mulut singa yang ada di ikat kepala si Mata Neraka itu keluar pula sinar biru sebesar ibu jari. Zuuuttt...!Blaarrr..,!Sinar biru itu mengakhiri perang kekuatan tenaga dalam berbentuk sinar. Begitu sinar biru itu menghantam ketiga sinar yang ada di pertengahan jarak, tiga orang Itu sama-sama terpental akibat ledakan dahsyat yang sempat mengguncangkan pepohonan di sekitar mereka. Tubuh ketiga orang itu sama-sama terpental berbeda arah. Tetapi jarak terpentalnya yang paling jauh adalah Tamtama. la terpental dan bergulingguling bagai disapu badai besar sejauh enam tombak, sedangkan Sendang Suci dan Mata Neraka hanya terpental dalam jarak sekitar empat Suci kembali mengeluarkan darah dari mulutnya. Tapi hanya sedikit. Sedangkan Tamtama banyak mengeluarkan darah dari lubang hidung, telinga, dan mulutnya. Agaknya sentakan daya ledak tadi cukup kuat menghantam dadanya, sehingga dada kiri Tamtama kelihatan sedikit hangus. Pakaian yang menutupi dada Itu menjadi hitam dan berasap tipis. 'Tamtama...!" seru Sendang Suci dengan cemas. Cepat-cepat ia melompat dan bersalto dua kali di tanah, lalu segera menolong Tamtama yang berwajah pucat. Sendang Suci menjadi iba hatinya melihat pembelaan pemuda yang selama ini dikenal sebagai kekasih Mahligai itu. Sudah pasti Tamtama siap mati untuk membela Mahligai, karena ia sangat mencintai Mahligai, walaupun selama ini Mahligai tidak pernah memberi tanggapan secara sungguh-sungguhterhadap cinta Tamtama."Tamtama, bertahanlah...! Bibi akan salurkan hawa murni ke dalam tubuhmu! Bertahanlah...!"Dari seberang sana, si Mata Neraka berteriak, "Sendang Suci! Saatnya telah tiba untuk membunuh kalian berdua! Heaaah...!" Zlaaap...!Kembali sinar biru sebesar ibu jari tangan itu melesat bagaikan tongkat baja yang membahayakan, keluar dari hiasan kepala singa yang ada di tengah dahinya. Gerakan sinar itu amat cepatnya, sehingga Sendang Suci tak sempat menghindar sedikit saja, gerakan sinar biru yang cepat itu tiba-tiba terhenti di udara, tepat dalam jarak dua jengkal dari tubuh Sendang Suci. Sinar biru yang ganas itu tiba-tiba bergerak memendek, bagaikan didesak untuk kembali masuk dari sumbernya. Sendang Suci merasa heran, karena ia tidak melakukan tindakan seperti itu. Dan semakin heran lagi setelah di depannya mulai tampak samarsamar sesosok tubuh besar yang memunggunginya. Bayangan itu makin lama semakin jelas dan akhirnya benar-benar nyata dalam penglihatan siapa Sinar biru itu kembali masuk ke hiasan mulut singa di kening Mata Neraka. Masuknya sinar tersebut membuat Mata Neraka tersentak mundur tiga tindak. Kemudian ia memandang gemas kepada orang yang muncul dari bayangan tadi, yaitu orang bertubuh besar dan berwajah lebih angker dari si Mata Neraka. Tinggi tubuh orang Itu sejajar dengan tinggi tubuh Mata Neraka. Tapi perutnya lebih tampak besar orang itu berpakaian abu-abu dengan dirangkap jubah berlengan longgar yang panjang warna hitam bertepian merah mengkilap. Rambutnya botak separo kepala, sisanya panjang ke belakang sebatas pundak. Ia mengenakan ikat kepala merah dengan bagian tengah dahi terdapat hiasan dari logam emas berbentuk simbol swastika, ia berkumis tebal turun ke bawah dan menjadi satu dengan jenggotnya yang pendek itu. Matanya lebar dan alis matanya lebat ke atas bentuknya. Orang itu menyelipkan senjatanya di pinggang kanan kiri berupa logam gelang berwarna kuning emas, di mana setiap gelang emas Itu mempunyai tepian yang bergerigi Suci menggumam lirih, "Malaikat Gelang Emas...?!" Ia kelihatan menggumam dengan wajah cemas, karena ia tahu bahwa Malaikat Gelang Emas ilmunya jauh lebih tinggi dari adiknya; si Mata Neraka itu. Tapi agaknya kali ini Malaikat Gelang Emas punya urusan sendiri dengan sang adik, sehingga ia menghampiri Mata Neraka dan dengan gerakan cepat tangannya berkelebat menampar. Plakkk...! Mata Neraka tak berani membalas. Ia terlempar dan berguling-guling di tanah, lalu Malaikat Gelang Emas menghampiri dan menenteng bajunya hingga terangkatlahtubuh Mata Neraka."Kuperintahkan kau menjaga makam kakek, mengapa kau minggat sampai di sini, hah! Dasar bocah setan!"Plook...! Plookkk...! Buugh...! Mata Neraka dihajar kakaknya."Pulang kau ke makam kakek! Jangan ke mana-mana sebelum genap tiga tahun jenazah kakek terkubur! Pulang ke sana, lekas!" "Ba...baik! Baik, Kak...!Mata Neraka segera lari pergi, dan Malaikat Gelang Emas pun pergi ke arah lain, tanpa menghiraukan Sendang Suci dan Tamtama lagi.***5KEPERGIAN Malaikat Gelang Emas masih memukau Sendang Suci beberapa saat. Karena Sendang Suci tak menyangka kalau Malaikat Gelang Emas hanya datang untuk menghajar adiknya sendiri dan menyuruhnya kembali sebagai penjaga makam kakek mereka. Semula Sendang Suci menyangka Malaikat Gelang Emas datang untuk membantu pertarungan adiknya, setidaknya membalaskan beberapa serangan yang berhasil mengenai adiknya. Ternyata dugaan itu Suci segera sadar akan keadaan Tamtama yang semakin memucat wajahnya. la segera membawanya masuk ke dalam rumahnya. Pemuda tampan berambut ikal itu sudah tak bisa bicara apa-apa, bahkan bernapas pun tampak susah sekali. la dibaringkan di atas dipan pembaringan yang ada di ruang tamu rumah tersebut."Belum terlambat! Belum terlambat!" ucap Sendang Suci sendirian. la segera menyiapkan ramuan obat untuk menyembuhkan luka dalam yang mengandung racun berbahaya seberapa jauh dari rumah kediaman Sendang Suci, ada sebuah kedai yang cukup ramai dikunjungi pembeli. Sendang Suci bergegas lari ke kedai itu untuk membeli arak. Ia membutuhkan arak sebagai campuran ramuan obatnya. Kebetulan persediaan arak di rumah sudah habis, sehingga Sendang Suci terpaksa lari ke kedai di depan kedai orang berkumpul di antara lelaki berpakaian hitam-hitam. Orang yang berpakaian hitam itu tak lain adalah Jalak Hutan yang kepalanya masih terdongak ke atas karena terkena jurus 'Rajawali Paruh Pendek' Jalak Hutan bertemu dengan seorang kenalannya di depan kedai tersebut dan berkata dengan nada keras,"Sambara...! Apakah kau melihat Tabib Perawan di sekitar sini?!"Sambara yang tidak tahu keadaan Jalak Hutan itu segera ikut mendongakkan kepala, memandang ke langit sambil berkata,"Sepertinya tak kulihat Tabib Perawan di sana! Mana...?!""Justru aku mencari dia! Barangkali saja dia ada di sekitar sini?!" kata Jalak berseru kepada temannya yang bernama Kambas, "Hei, Kambas... apakah kau melihat Tabib Perawan?"Karena Sambara kembali mendongak ke langit, maka mata Kambas pun ikut mendongak ke langit, mencari-cari Tabib Perawan di langit sana. Kejap berikutnya, Kambas pun menjawab,"Ah, tak kulihat Tabib Perawan di sana?! Mungkin dia masih ada di rumahnya!""Kalau begitu aku harus segera pergi ke rumahnya!" kata Jalak Hutan sambil tetap mendongak ke atas. Kini bukan hanya Kambas dan Sambara saja yang ikut mendongak keatas, melainkan dua orang yang baru saja keluar dari kedai Ikut mendongak ke atas, ikut memandangi langit, mencari sesuatu yang dianggapnya sedang dipandangi oleh Jalak Hutan dan kedua orang lainnya Itu."Apa yang mereka lihat di atas sana?" tanya salah seorang yang baru saja keluar dari kedai. Temannya menjawab,"Entahlah, mungkin bintang jatuh!" Pada waktu itu, Jalak Hutan berbicara pelan kepada Sambara, menceritakan perasaan hatinya dengan tetap mendongak ke atas, demikian pula Sambara yang ikut mendongak ke atas tanpa tabu persis apa yang dilihat Jalak Hutan. Mereka berdua tidak tahu bahwa banyak orang yang ikutikutan memandang ke atas. Bahkan ketika Sendang Suci bergegas masuk ke kedai untuk memesan arak, ia kembali keluar sebentar dan ikut memandang ke atas."Apa yang mereka lihat di sana? Tak ada apa-apa?!" gumam Sendang Suci, kemudian ia tinggalkan orang-orang yang mendongak ke atas itu dan ia pun segera membeli ia hendak pulang, ia kembali penasaran dan ikut mendongak ke atas sambil bertanya kepada Jalak Hutan."Ada apa di langit sana, Jalak Hutan?!"Sambara cepat-cepat berkata, "Nah, ini dia si Tabib Perawan?! Mengapa kau mencarinya di langit sana?""Siapa yang mencarinya di langit?" bantah Jalak Hutan. , .'"Buktinya kau mendongak ke atas, sehingga aku pun ikut mendongak ke atas!" "Dasar bodoh! Aku mendongak ke atas karena tulang dan uratku terkunci olehtendangan si Pendekar Rajawali Merah!" "Pendekar Rajawali Merah?" SendangSuci menyahut dengan nada heran. "Bukankah Dewa Geledek sudah mengasingkan diri dan tidak ikut campur lagi di dunia persilatan?""Bukan Dewa Geledek, melainkan muridnya! Murid yang kurang ajar itu telah membuat kepalaku jadi begini terus menerus, Tabib Perawan!""Mengapa kau dibuat sampai begitu, Jalak Hutan?" tanya Sendang Suci sambil memandang antara geli dan heran."Ini gara-gara muridmu, Mahligai!"Terkesiap mata Sendang Suci dan segera bertanya, "Ada apa dengan Mahligai muridku?""Dia diculik oleh Pendekar Rajawali Merah! La dilukai dan dibuatnya lumpuh. Aku bermaksud menolongnya, tapi ternyata anak muda itu telah lebih dulu menotok jalan darahku, mengunci urat-urat tengkukku hingga aku tak bisa gerakkan kepala lagi. Oh, Tabib Perawan... bisakah kau bantu aku untuk memulihkan uraturatku agar kepalaku bisa bergerak lagi?!""Akan kuusahakan! Tapi benarkah Mahligai dilumpuhkan oleh Pendekar Rajawali Merah?!""Benar! Aku melihatnya sendiri! Kalau aku tidak melihatnya, aku tidak akan bertarung dengannya dan dibuat seperti ini!""Keparat murid Dewa Geledek itu!" geram Sendang Suci. Kemudian tangannya bergerak dalam keadaan menguncup dan menotok beberapa bagian di punggung Jalak Hutan. Deb deb deb...! "Aaauh...!" Jalak Hutan mengerang kesakitan. Kepalanya tak bisa kembali seperti semula. Maka, Sendang Suci melakukan gerakan menotok lagi di beberapa tempat, terutama di tubuh bagian belakang dan pada tengkuk Jalak Hutan. Tetapi kepala Jalak Hutan masih belum bisa kembali seperti sediakala."Urat-uratmu telah menjadi keras seperti batu di bagian kepala dan leher," kata Sendang Suci. "Kau harus meminum, ramuan obat yang kupakai untuk melemaskan urat dan otot!""Kalau begitu, apakah aku harus ke rumahmu sekarang juga?!""Besok saja! Aku sedang menyembuhkan seseorang yang terkena racun berbahaya! Aku tak bisa menolongmu sekarang, Jalak Hutan!""Jadi, aku harus mendongak terus begini sampai esok pagi?!"Ucapan itu tidak dilayani oleh Sendang Suci. la segera melesat pergi tinggalkan tempat. la tak bisa menunda pengobatan lebih lama lagi, karena keadaan Tamtama benar-benar sangat gawat. Terlambat sedikit lagi, racun berbahaya itu akan menyerang jantung dan Tamtama akan Sendang Suci terhadap luka Tamtama itu hanya semata-mata dia tahu bahwa Tamtama sangat sayang kepada Mahligai. Tamtama pernah melamar langsung kepada Sendang Suci untuk mengawini Mahligai, tetapi Mahligai masih jinakjinak merpati dan malu-malu kucing memberi jawaban yang pasti. Terlepas dari perasaan yang ada pada hati Tamtama, Sendang Suci melihat sikap baik Tamtama yang tidak semata-mata ingin mengumbar nafsu saja, namun ingin bertanggung jawab terhadap segala hidup dan matinya Mahligai dengan wujud lamaran Sendang Suci belum mengetahui perkembangan hati Mahligai, terutama setelah gadis itu bertemu dengan Yoga; si Pendekar Rajawali Merah. Buat Mahligai, membuka pintu hati untuk Yoga ternyata lebih mudah daripada membuka pintu hati untuk Tamtama. Apalagi ia sudah berhasil mengelabui Yoga dengan membelokkan arah tujuan ke rumah bibinya. Seharusnya perjalanan bisa ditempuh setengah hari, namun Mahligai membuat arah jauh yang mengakibatkan waktu perjalanan menjadi sehari semalam. Dan dalam waktu selama itu, Yoga bagai manusia tak mengenal lelah. Ia tetap menggendong Mahligai yang selalu mengatakan bahwa kakinya belum bisa dipakai untuk menapak karena luka terkilirnya. Padahal Mahligai sudah bisa menapak sejak dari semula sebelum digendong ketika mereka tiba di depan rumah Sendang Suci, Mahligai turun dari gendongan Yoga. Itu pun karena Sendang Suci tampak menjadi marah melihat keponakannya digendong oleh Yoga, ia menyangka Mahligai benar-benar lumpuh dan hendak diculik seperti apa kata Jalak kipasnya, Sendang Suci segera menyerang Pendekar Rajawali Merah yang masih menggendong tubuh Mahligai. Kipas itu dalam keadaan tertutup dan disodokan ke wajah Pendekar Rajawali Merah. Namun dengan gesitnya kepala anak muda yang tampan dan punya senyum sangat menawan itu berkelit menghindari sodokan kipas yang mengeluarkan hawa panas tersebut. Wuuuttt...!Dengan cepat Sendang Suci memutar tubuh dan melayangkan tendangan kaki kanannya. Wuuus...! Tendangan Itu dihindari pula oleh Yoga dengan satu seruan,"Mengapa kau menyerangku?!""Bibi, hentikan serangan itu! Jangan serang dia, Bibi!""Mahligai, apakah kau masih ingin membela orang yang telah melumpuhkan kakimu itu, hah?!" Sendang Suci marah kepada muridnya."Siapa bilang kakiku dilumpuhkannya?" "Jalak Hutan memberikan laporanbegitu padaku!" "Itu fitnah, Bibi! Aku tidak lumpuh. Aku masih bisa berdiri dan berjalan biasa! Lihat..!" lalu Mahligai berkata kepada Yoga,"Turunkan aku...!"Mahligai turun dari gendongan Yoga, ia melompat dan bersalto satu kali di udara. Kemudian ia memperagakan jurus tendangan beruntun yang diajarkan oleh gurunya. Setelah itu, ia kembali mengambil sikap berdiri tegak dan Suci tertegun melihat keponakannya masih sehat, tidak seperti yang dilaporkan Jalak Hutan kepadanya. Lebih tertegun lagi Pendekar Rajawali Merah, yang mulai merasa dikelabui oleh Mahligai sejak dari kemarin. Dalam keadaan terbengong, Yoga berkata kepada gadis cantik yang nakal dan bandel itu."Rupanya kau dalam keadaan sehat, Mahligai? Kakimu berguna dengan baik sekali! Kau telah menipuku, Mahligai!"Mahligai tersipu malu. Tapi segera ia tutupi perasaan malunya itu dengan membuang pandangan ke arah lain sambil berkata,“Tadi memang terasa sakit. Tapi begitu aku bertemu dengan Guru, sakit di kakiku ini sembuh seketika!"Pendekar Rajawali Merah tersenyum sambil geleng-geleng kepala. la sadar bahwa dirinya telah dikelabui oleh gadis cantik itu untuk satu maksud tersembunyi di balik hati sang gadis. Yoga menerima kalah dan tidak banyak senyuman itu membuat Sendang Suci lupa mengedipkan mata. la merasakan ada desiran halus di hatinya begitu meresapi senyuman Pendekar Rajawali Merah. Desiran halus itu menggelisahkan hati dan membuat Sendang Suci lupa berkedip kalau tidak segera diajak bicara oleh keponakan yang sekaligus muridnya itu."Dia menyelamatkan aku dari kejaran si Mata Neraka, Bibi! Lalu, dia punya kesulitan dan aku ingin menolongnya!"Percakapan mereka di luar terhenti oleh kemunculan Tamtama dari dalam rumah. Rupanya pengobatan yang dilakukan oleh Sendang Suci tak sia-sia. Keadaan Tamtama memang belum sesehat biasanya, tapi racun di dalam tubuhnya telah berhasil ditawarkan dan tidak lagi menyerang dan mengancam Mahligai terkesiap curiga melihat Tamtama keluar dari dalam rumah. Sepagi ini sudah berada di rumah bibinya, berarti Tamtama bermalam di rumah itu. Maka Mahligai pun segera menyapanya,"0, rupanya kau sudah ada di sini sepagi ini, Tamtama?""Ya. Aku terluka racun berbahaya dari serangan si Mata Neraka!'' jawab Tamtama. "Aku tak sadarkan diri sampai tengah malam. Rupanya Bibi berhasil mengobatiku, sehingga pagi ini aku sudah segar walau belum pulih seperti sediakala, Mahligai!" Sambil berkata begitu, sesekali mata Tamtama melirik ke arah Yoga dengan sikap pandang tak enak di hati. Yoga merasa dipandang kurang bersahabat, sehingga ia pun mencoba mempelajari sikap pemuda yang sebaya dengannya itu. Apalagi saat ituTamtama berkata,"Seharusnya kau menghubungiku jika si Mata Neraka mengejar-ngejarmu begitu. Kurasa itu lebih baik dari pada kau minta tolong kepada orang lain, Mahligai!"Mahligai menjawab dengan nada ketus yang tak enak dicerna di hati siapa pun,"Apa pedulimu dengan diriku, Tamtama? Aku meminta pertolongan pada orang lain atau tidak sama sekali, kau tak berhak menganjurkan seperti itu!""Aku hanya mengingatkan kamu, agar orang lain tidak merendahkan kamu setelah habis menolongmu, Mahligai!""Justru kaulah yang merendahkan aku karena menganggap aku tak layak minta pertolongan pada orang lain!"Sendang Suci hanya menarik napas. la tahu, Tamtama menaruh rasa cemburu melihat Mahligai pulang bersama pemuda yang lebih tampan darinya. la juga tahu bahwa Mahligai mempertahankan sikapnya dan membela posisi Pendekar Rajawali Merah atas kecemburuan Tamtama. Dan agaknya keadaan itu jika dibiarkan berlarut-larut akan menjadi semakin panas. Sebab itu, Sendang Suci segera menengahi perdebatan Tamtama dengan Mahligai."Sebaiknya kita bicara di dalam saja!"Mahligai pun berkata, "Yoga, kita bicara di dalam saja, yuk!"Melihat sikap lembut Mahligai kepada Yoga, hati Tamtama menjadi semakin panas. Maka segera ia berkata kepada Sendang Suci dengan menyindir kepada Yoga,"Rasa-rasanya apa yang dikatakan oleh Paman Jalak Hutan itu benar, Bi! Mahligai dalam ancaman bahaya halus yang tak mudah dikenali oleh siapa pun!""Ancaman halus apa?!" sergah Mahligai."Jarang sekali Mahligai bisa bersikap lembut, Bi. Jangan-jangan ia terkena mantera guna-guna oleh seseorang?!" kata Tamtama masih ditujukan kepada Sendang semakin jengkel karena tahu arah pembicaraan Tamtama. Maka ia pun kian membuat Tamtama panas hatinya dengan menggandeng lengan Yoga dan berkata,"Masuklah! Yang punya rumah adalah Guruku, dan Guruku sudah mempersilakan! Tak perlu kau hiraukan omongan orang yang bukan anggota keluarga di rumah ini, Yoga!"Yoga yang tahu gelagat segera menjawab, “Tak usah. Biarlah aku di luar saja. Aku perlu bicara dengan Bibi gurumu itu!"Tamtama yang sudah telanjur panas hatinya segera menyahut,"Kurasa itu memang lebih baik daripada kau duduk di dalam rumah terhormat ini! Rumah Bibi Sendang Suci hanya untuk menerima tamu-tamu terhormat!""0, jadi kau juga memilih di luar rumah saja?!""Aku orang terhormat, Kunyuk!" sentak Tamtama yang hanya mendapat senyuman ringan dari Yoga."Kasar sekali kau, Tamtama!" bentak Mahligai dengan mata melotot."Mengapa aku harus berbuat sopan dengan orang macam dia yang tak banyak bedanya dengan gelandangan jalanan?!" sambil Tamtama menuding Pendekar Rajawali Merah."Jaga mulutmu, Tamtama!" ucap Sendang Suci dengan pelan."Saya tak bisa menjaga mulut dan omongan saya sebelum gelandangan itu pergi dari sini, Bibi!""Perlukah aku yang menjaga mulutmu, Orang terhormat?." sahut Pendekar Rajawali Merah dengan pandangan mata tajam ke arah Tamtama."Apa maksudmu?!" hardik Tamtama dengan mata terbuka lebar."Mungkin kau butuh seseorang untuk membungkam mulutmu biar terjaga dalam bicaranya?" jawab Yoga masih dengan tenang dan kalem."O, kau ingin memancing kemarahanku, hah?! Kau ingin mencoba ilmuku, Orang Hina?!""Tamtama...! Sendang Suci mengingatkan, tapi tidak digubrisnya."Tahan pukulanku kalau kau memang ingin menjajal ilmuku! Hiaaah!"Wuutt..! Sinar hijau dilepaskan dari telapak tangan Tamtama dalam jarak hanya tiga tombak. Tapi dengan cekatan tangan Yoga berkelebat mengibas, dan angin kibasannya cukup kuat, hingga membuat sinar hijau itu melesat naik dan menghantam dahan pohon. Duaarrr...!Brruuusss...! Dahan pohon itu jatuh dan hancur sementara mereka yang ada di bawahnya melompat menyebar ke lain arah. Kini keadaan Tamtama berhadapan persis dengan Yoga. Wajah Tamtama kelihatan garang dipanggang api kemarahan, sedangkan Yoga tetap segera mencabut pedangnya. Tapi dengan cepat kedua tangan Yoga menyodok ke depan dengan telapak tangan terbuka dan tengadah ke atas. Zuuuttt...! Sodokan kedua telapak tangan itu membuat tubuh Tamtama tersentak ke belakang dengan sangat kerasnya dan masuk di selasela dua batang pohon yang tumbuh bersebelahan, hampir merapat itu. Brusss...! Terjepitlah tubuh Tamtama di sana dan tak bisa bergerak, tak mampu berteriak kecuali erangan dengan suara dan Sendang Suci bergegas menghampirinya dan berusaha mengeluarkan tubuh Tamtama yang terjepit kuat itu. Tapi mereka tak berhasil, sedangkan wajah Tamtama sudah merah kebiru-biruan bagai terjepit benda keras pada bagian ulu hati dan perutnya."Dia bisa mati kalau tidak segera dilepaskan dari dua pohon itu!" kata Sendang Suci kepada Yoga setelah ia bergegas mendekati Yoga.“Yo, lepaskan dia...!" seru Mahligai. Kemudian Pendekar Rajawali Merah berlari dan melompat ke udara, bersalto satu kali ke arah pertengahan atas kedua pohon tersebut. Lalu dengan dua kakinya yang menjejak ke kanan kiri dengan kuat pohon-pohon Itu tersentak ke samping dan salah satunya tumbang dengan akar tersentak keluar dari tanah. Brukkk...! Kraakkk...! Sedangkan pohon yang satunya lagi hanya miring ke arah samping. Dengan begitu, tubuh Tamtama yang terjepit kuat itu kini bebas dari jepitan dua batang pohon besar, dan hal itu membuat Sendang Suci tertegun kagum memandangi kehebatan daya sentak kaki pemuda tampan tersebut.** *6SENDANG Suci membalutkan rempahrempah adonannya di sekujur tubuh Tamtama. Pengobatan itu dimaksudkan untuk memperlancar kembali aliran jalan darah. Karena pada bagian perut sampai ulu hati pemuda itu menjadi biru dan cekung membentuk benda yang telah menghimpit ada di dekat pembaringan itu. Wajahnya masih bersungut-sungut menahan jengkel. Suaranya terdengar seperti orang menggerutu,"Kalau aku tidak mengingatkan Yoga, kau tidak akan dilepaskan dari himpitan dua pohon itu selamanya, Tamtama!""Kenapa kau tidak menyuruhnya membunuhku saja?" Tamtama pun bersungutsungut menahan kedongkolan hatinya, sambil menahan rasa sakit karena perutnya terasa linu jika dipakai bicara. Mahligai menyahut,"Yoga bukan seorang pembunuh yang keji. Dia seorang pendekar beraliran putih. Dia hanya akan bertindak demi kedamaian sesama umat manusia!""Hmm...! Kau selalu saja memujinya!"Mahligai diam saja. Terbayang dalam benaknya saat ia saksikan sendiri Tamtama bertarung dengan para peserta landing laga di Bukit Sengkala. Pada waktu itu, pihak perguruan Tamtama mengadakan uji landing bagi murid-muridnya. Guru Tamtama yang sekarang sudah wafat itu; Ki Jipang Saga, sengaja memanggil beberapa jago dari Tanah Hulu. Jago-jago dari Tanah Hulu itulah yang akan diadu oleh beberapa murid pilihan Ki Jipang Saga, satu di antaranya adalah Tamtama, terpilih sebagai murid yang akan diadu merupakan suatu kebanggaan tersendiri. la kabarkan hal itu kepada Mahligai. Dengan berapi-api saat itu Tamtama berkata,"Aku terpilih sebagai murid teladan Ki Jipang Saga, Mahligai!""Apa maksudnya murid teladan?" tanya Mahligai kala itu."Dari sekian banyak murid Ki Jipang Saga, ada beberapa yang memang mampu memperdalam pelajaran dengan cepat, ada yang lamban. Aku dinilai dapat perdalam ilmu dengan cepat bersama kesembilan temanku lainnya. Ketangkasan kami telah diuji sesama teman. Akhirnya dari kesepuluh murid dipilih lima orang untuk dinyatakan sebagai murid tercepat, tertangkas dan pandai menggunakan siasat bertarung. Lima murid itu adalah aku. Untuk menguji kegigihan kami, Guru memanggil lima jago dari Tanah Hulu. Tiga hari lagi kami akan diadu di Bukit Sengkala dengan lima jago Tanah Hulu itu.""Kau juga akan diadu di sana?" “Tentu. Karena aku satu-satunya muridyang punya nilai tertinggi dan diandalkan oleh guruku. Kau harus hadir di Bukit Sengkala untuk melihat kehebatan jurusjurusku, Mahligai." , ,"Aku tak bersedia," jawab Mahligai cepat."Mengapa?" Tamtama mulai kecewa."Aku takut melihatmu terluka atau babak belur.""Ha-ha ha ha...! Itu tidak mungkin, Mahligai. Tidak mungkin! Tamtama yang sekarang bukan Tamtama yang kau kenal beberapa tahun yang lalu. Karenanya, hadirlah dalam tanding laga di Bukit Sengkala nanti supaya kau tahu siapa diriku sebenarnya!"Desakan itu akhirnya membuat Mahligai menuruti kehendak Tamtama. Tapi dalam hati kecil Mahligai sudah timbul rasa tidak percaya akan ketangkasan Tamtama. Sebab dalam kesehariannya, jika Mahligai marah dan menyerang Tamtama, pemuda itu jarang bisa hindari serangan Mahligai. Bisa saja dikarenakan sikap mengalahnya Tamtama, tapi bisa juga dikarenakan kurang tangkasnya pemuda hari yang sudah ditentukan, Tamtama membawa Mahligai ke Bukit Sengkala. Kehadirannya bersama Mahligai menjadi bahan kasak-kusuk oleh beberapa teman seperguruannya. Bahkan salah seorang teman sempat berkata kepada Tamtama."Kau memang layak mendapatkan gadis secantik dia. Tapi alangkah memalukan gadismu jika dalam pertarungan nanti kau tidak dapat tumbangkan dua lawanmu, Tamtama!"Dengan rasa bangga dan tinggi hati, Tamtama menjawab, "Kelima jago dari Tanah Hulu akan kutumbangkan sekaligus! Aku tak ingin kecewakan Mahligai!""Bagus, bagus...!"temannya itu manggut-manggut dengan Jipang Saga mulai nadir bersama lima jago Tanah Hulu. Mereka berperawakan tinggi besar, rata-rata berkumis tebal. Wajah mereka berkesan angker dan berdarah dingin. Sebenarnya mereka adalah sahabat Ki Jipang Saga yang selalu ikut membina perkembangan perguruan tersebut, sehingga sebelum mengawali pertarungan landing laga, Ki Jipang Saga lebih dulu berkata kepada para muridnya yang berkumpul mengelilingi arena landing tersebut."Murid-muridku, pertarungan ini kita adakan bukan sebagai permusuhan yang mempunyai dasar kebencian ataupun dendam. Pertarungan ini merupakan bagian dari pelajaran yang harus kalian terima, terutama bagi kelima murid teladan yang kupilih. Jadi kuharap, selesai pertarungan jangan timbulkan dendam di dalam hati kalian, jangan timbulkan kesombongan dalam sikap kalian. Pertarungan ini hanya sebagai penguji nyali dalam menghadapi orang asing yang tidak kalian kenal sebelumnya. Ingat, pertarungan ini tidak diperkenankan menggunakan senjata apa pun. Hanya boleh dilakukan dengan tangan kosong, tanpa tenaga dalam bersinar. Pertarungan ini bukan untuk saling membunuh, melainkan untuk saling mencuri kelemahan lawan. Paham?!""Pahaaam...!" jawab kelima murid teladan yang akan bertanding, termasuk Tamtama. Kala itu, Tamtama berbisik kepada Mahligai yang berdiri dengan mulut terbungkam di sampingnya,"Lihat saja permainanku nanti! Kau akan kagum melihat kecepatanku merubuhkan mereka satu persatu!" Mereka sepertinya berdarah dingin dan tak kenal belas kasihan. Sekali kau gagal, mereka akan mencecarmu terus sampai kau tak berdaya lagi. Bisa-bisa satu pukulan mereka bisa bikin kau cedera berat, Tamtama. Kau harus hati-hati betul melakukannya!"'Tenang saja. Tenang...!" Tamtama menepuk-nepuk pundak Mahligai. "Tak akan kubiarkan satu pun menyentuh tubuhku selain tangan dan kakiku! Mereka akan kubuat tercengang-cengang melihat kehebatan ku! Ingat, Mahligai. merekaakan kubuat tercengang oleh kehebatanku!" Mahligai hanya manggut-manggut kecil. Kemudian terdengar suara tepuk tangan riuh ketika teman Tamtama yang bernama Jayengrana tampil sebagai peserta pertama melawan orang berbaju kuning berperut sedikit buncit itu. Keadaan pun menjadi sedikit tegang ketika Jayengrana terdesak serangan lawannya, hingga akhirnya Jayengrana jatuh tersungkur tak mampu bangkit lagi. ia terpaksa digotong keluar dari arena dan mendapatkan pengobatan seperlunya. Orang yang melakukan pengobatan itu juga dari pihak Mahligai berbisik, "Hatihati betul, Tamtama. Kelihatannya aliran silat mereka mempunyai gerakan-gerakan pendek namun berkecepatan tinggi. Kau harus atur jarak dengan mereka."“Tenang saja, itu sudah kupikirkan sebelum kau bicara! Jayengrana tidak mau gunakan siasat bertarung, jadi dia roboh dalam waktu singkat. Masa' hanya lima jurus saja dia sudah nungging begitu, he he he he...!"Seorang teman lagi tampil, ia bernama Pratikta. Orang ini sedikit mampu imbangi permainan jurus jarak pendek lawan. la sedikit lumayan ulet hingga bisa membuat orang berbaju kuning itu terdesak mundur dan akhirnya menyerah. Lalu orang berpakaian serba hitam tampil melawan Pratikta. Orang berbaju hitam itu memainkan jurus-jurus jarak jauh. Pratikta mampu imbangi sampai delapan jurus, namun akhirnya ia tumbang karena kalah cepat bergerak dengan Jipang Saga berseru, "Baik. Sekarang giliran Tamtama, maju ke arena!" Dengan gagah dan bangga Tamtama pun tampil setelah sebelumnya sempat berbisikkepada Mahligai,"Lihat, perhatikan baik-baik, dan ingat...!"Mahligai hanya mengangguk dengan sikap tetap tenang. Tamtama tampil menghadapi orang berbaju kuning yang tadi menumbangkan Jayengrana dengan lima jurus."Heaaat...!" Tamtama membuka jurus pertama dengan gaya seekor naga ingin menyerang mangsanya. Orang berbaju kuning itu masih tenang-tenang saja. Tamtama melompat ke kiri, lalu ke kanan dan ke kiri lagi, melakukan gertakan-gertakan tipuan bagi lawan. Namun lawan tampak tetap tenang dengan matanya tak berkedip pandangi berikutnya, Tamtama lakukan lompatan memutar dengan tendangan kipasnya. Wuutttt...! Tapi ternyata lawan lebih dulu dan lebih cepat bergerak menggunakan jurus sama. Wuusss...! Plak plak prak! Buuhg...! Pak, pak...! Braasss..!Tendangan dan pukulan beruntun dilancarkan oleh orang berbaju kuning. Tamtama gelagapan tak bisa hindari serangan tersebut. la pun terpental ketika lawan lakukan tendangan putar sekali lagi. Mulutnya semburkan darah dan ia pun jatuh terkapar tak berdaya lagi."Huuu...!" teman-temannya mengecam bersama. Tamtama tak dapat bangkit lagi. Kepalanya terasa mau pecan, dadanya bagaikan mau jebol. Hanya tiga jurus, Tamtama dibuat tak berkutik oleh lawannya. Mahligai diam saja, hanya tersenyum sinis dan meninggalkan arena dengan hati kecewa. Di perjalanan Mahligai waktu itu menggerutu,"Omong besar! Masih mending Jayengrana, mampu bertahan lima jurus. Dia baru tiga jurus sudah tak berdaya begitu! Hmmm...!"Satu hal yang terjadi di luar dugaan Mahligai kala itu, bahwa ternyata sikapnya yang keluar dari kerumunan dan meninggalkan Bukit Sengkala itu merupakan tindakan yang dianggap menyinggung perasaan dan menghina perguruan. Ki Jipang Saga melihat kepergian Mahligai, kemudian segera perintahkan kepada beberapa muridnya untuk menangkap dan membawa kembali Mahligai. Tentu saja hal itu sangat mengejutkan Mahligai. la menolak untuk diajak kembali ke Bukit Sengkala."Jika kau ingin hadir sebagai penonton, kau harus menontonnya sampai selesai acara tanding laga itu. Jangan pergi begitu saja. Seolah-olah kau meremehkan perguruan kami dan menghina jago-jago dari Tanah Hulu itu. Kami tersinggung dengan caramu seperti itu!" kata salah seorang teman Tamtama yang termasuk mendapat tugas membawa Mahligai kembali ke Bukit berkata, "Aku tidak bermaksud menghina perguruanmu. Aku hanya merasa tidak tertarik melihat pertarungan seperti itu. Kubayangkan akan terjadi pertarungan yang hebat, ternyata tidak hebat. Biasa-biasa saja, dan aku merasa tidak perlu menyaksikan sampai selesainya acara tersebut!""Itu namanya meremehkan perguruan kami dan jago-jago Tanah Hulu!"Perdebatan di kaki bukit mengundang perhatian mereka yang di atas. Ki Jipang Saga segera turun untuk hampiri Mahligai, semua muridnya ikut turun, bahkan jagoJago Tanah Hulu pun turun pula. Mereka segera membentuk lingkaran besar mengelilingi Mahligai yang sedang berdebat dengan tiga murid Ki Jipang keadaan sempoyongan, Tamtama pun ikut turun dari atas bukit, maksudnya mau memintakan maaf kepada gurunya atas sikap Mahligai, tapi ia disingkirkan oleh teman-temannya. Kini Ki Jipang Saga hanya berdua dengan Mahligai di tengah lingkaran para muridnya."Maafkan saya, Ki Jipang Saga. Saya tidak bermaksud menghina perguruan Ki Jipang Saga maupun orang-orang Tanah Hulu. Saya hanya ingin pulang, karena sahabat saya; Tamtama itu, ternyata telah keok melawan jago-jago Tanah Hulu.""Maaf tetap kami berikan. Tapi perasaan terhina kami belum lebur. Kau seolah-olah ingin mengatakan, bahwa perguruan kami tidak ada apa-apanya dibandingkan perguruanmu. Sekarang sebaiknya kau tunjukkan kepada kami, bagaimana seharusnya menghadapi lawan seperti orang-orang dari Tanah Hulu itu." "Ki Jipang Saga memaksaku untuk bertarung melawan lima jago dari TanahHulu itu?!""Anggaplah begitu. Setidaknya dengan begitu kau telah tunjukkan bahwa kepergianmu bukan semata-mata meremehkan perguruanku!"Mahligai tarik napas panjang-panjang memendam kedongkolan. Tapi akhirnya ia berkata, "Baiklah! Akan kutebus kesalahanku ini!"Maka, Ki Jipang Saga menyingkir dari arena, la bicara sebentar dengan kelima jago dari Tanah Hulu itu. Kemudian, orang berbaju kuning yang tadi bikin Tamtama babak belur itu tampil lebih dulu. ia segera lakukan serangan mendadak kepada Mahligai. Dengan sigap dan lincah Mahligai sentakkan kakinya dan tubuhnya pun melenting di udara dengan cepat. Ketika ia mendarat kembali, orang berbaju kuning itu telah lancarkan tendangan kipasnya. Tapi Mahligai cepat kelebatkan tangan menangkis tendangan itu. Plaakkk...! Lalu, Mahligai memutar badan dengan cepat dan kakinya masuk ke perut lawan dengan Wuuusss...!Tendangan itu membuat lawan terpental sampai menabrak para penonton yang ada di belakangnya. Orang itu menyeringai dalam keadaan terkapar di tanah, sukar bernapas. Hal Itu membuat murid-murid Ki Jipang Saga menjadi tercengang. Salah seorang bergumam lirih,"Gila! Hanya satu jurus saja gadis itu bisa bikin orang ini tak berdaya lagi?! Ternyata dia lebih hebat dari Tamtama?.'"Mahligai disambar orang berbaju hitam yang tadi kalahkan Pratikta. Sambaran kaki orang tersebut membuat tangan Mahligai berkelebat menghantam mata kaki dengan dua jarinya. Taakk...! Orang Itu langsung jatuh dan memekik tak tanggungtanggung lagi."Aaaa...!" ia merasakan sakit dari mata kaki sampai ke jago dari Tanah Hulu lainnya segera maju serempak. Namun dengan hanya satu jurus, Mahligai mampu tumbangkan mereka secara bersamaan. Bahkan orang terakhir dari Tanah Hulu yang tampil menyerang Mahligai, sempat dibuat terpental jauh, sekitar sepuluh tombak, sebelum ia sempat menyentuh Mahligai sedikit pun. Orang itu muntah darah di tempatnya jatuh jago dari Tanah Hulu mampu dikalahkan Mahligai dalam waktu yang amat singkat. Tentu saja hal itu membuat para murid Ki Jipang Saga terkagum-kagum hingga tak bisa keluarkan suaranya. Tamtama yang melihat kejadian itu merasa malu sekali, ia hanya bisa tundukkan kepalanya, tak berani memandang Mahligai. Ketika Ki Jipang Saga mendekatiMahligai, gadis itu bertanya,"Sudan puaskah orang-orangmu melihat kejadian ini, Ki Jipang Saga?"Ki Jipang Saga diam sebentar, kemudian ia bahkan bertanya, "Kau murid perguruan mana, Nona?""Aku tidak punya perguruan!" jawab Mahligai sedikit ketus karena masih merasa dongkol dipaksa harus bertarung di depan para murid Ki Jipang Saga itu. Mahligai kembali ajukan tanya,"Boleh aku tinggalkan tempat ini?!" Dengan jujur dan kesatria, Ki JipangSaga mengakui kehebatan Mahligai dan berkata, "Silakan. Terima kasih atas kesediaanmu memberikan contoh terbaik pada murid-muridku."Gadis itu pun segera tinggalkan tempat tersebut, tanpa peduli suara para murid Ki Jipang Saga menjadi bergemuruh seperti ratusan lebah bergaung. Mereka saling berkasak-kusuk sambil pandangi kepergian Mahligai. Tamtama segera memburunya dengan langkah lambat. la memanggil-manggil Mahligai, namun Mahligai tak mau berhenti ataupun berpaling satu kali pun. ***Mahligai tergugah dari lamunan panjang, karena suara Tamtama yang menyuruhnya meninggalkan dirinya di pembaringan sendirian. Mahligai pun pergi. la mencari-cari bibinya, ternyata sang Bibi sedang bicara dengan Yoga di bawah sebuah pohon, di belakang rumah. Mahligai membiarkan bibi gurunya terlibat percakapan penting dengan pemuda tampan itu, walau sesekali Sendang Suci mencuri pandang dan menyimpan kekaguman dalam hatinya terhadap ketampanan Yoga. Sekalipun demikian, Sendang Suci bisa bersikap wajar-wajar saja dalam bicaranya, sehingga tak seorang pun tahu isi hatinya."Aku mengenal nama Dewi Langit Perak sebagai perempuan sakti yang sering menunggangi burung Rajawali Putih," kata Sendang Suci ketika percakapan mereka mencapai pada masalah yang sedang dihadapi Yoga. Sendang Suci berkata lagi, "Seingatku, dialah istri dari Dewa Geledek yang dulunya bernama EmpuDirgantara.""Memang benar. Dewi Langit Perak adalah nyai guruku, istri dari guruku sendiri! Wasiat dari Guru sebelum meninggal, aku harus mencari Nyai Guru Dewi Langit Perak bersama burung rajawali nya. Tapi aku tak tahu dimana beliau berada dan ke mana arah yang harus kutempuh pertama kalinya?""Apakah kau bermaksud berguru lagi dengan Dewi Langit Perak?""Aku belum bisa menjawab, karena aku belum pernah Jumpa dengan beliau! Tidak semua orang sakti mau menerimaku sebagai muridnya!""Memang benar," jawab Sendang Suci. Tapi seandainya kau tidak berguru lagi kepada Dewi Langit Perak, ilmumu pun sudah cukup tinggi, Yo! Dari caramu menghindari serangan Tamtama dan caramu menghajar Tamtama sampai membelah dua batang pohon itu, aku yakin hanya orang berilmu tinggi yang bisa melakukannya begitu. Kurasa kau sudah tidak perlu mencari seorang guru lagi, Yo!""Terlepas dari soal berguru ataupun tidak, tapi aku harus melaksanakan amanat dari guruku, Bibi! Aku harus mencari Nyai Guru!""Kalau begitu, kau harus menuju ke arah Gunung Menara Salju. Karena beberapa orang pernah melihat burung Rajawali Putih terbang ke arah sana dengan dua penunggangnya. Tapi sejak itu, karena tak pernah lagi melihat burung Rajawali Putih terbang mengelilingi angkasa. Barangkali Dewi Langit Perak bersemayam di Gunung Menara Salju'""Dua orang penunggang...?!" gumam Yoga sambil berkerut dahi."Kabar yang terakhir kudengar dari seorang pengelana memang begitu. Apakah benar dua orang penunggang atau hanya satu tapi kelihatannya seperti dua orang, itu tak tahu dengan pasti! Tapi menurutku, kau bisa mencari keterangan dengan penduduk yang tinggal di kaki Gunung Menara Salju! Kabar itu kudengar lima tahun yang lalu, tapi sejak itu tak pernah lagi ada orang membicarakan tentang burung Rajawali Putih. Jadi menurut dugaanku, sudah lima tahun yang lalu Dewi Langit Perak bersemayam di sana, mungkin juga lebih dari lima tahun!""Jika begitu," kata Yoga setelah diam beberapa saat, "Aku harus segera berangkat ke Gunung Menara Salju, Bibi!""Mengapa harus tergesa-gesa? Tidakkah kau ingin beristirahat di pondokku untuk beberapa saat?"“Tidak, Bi. Amanat dari mendiang Guru kalau tidak segera kukerjakan, terasa mengganjal dalam hidupku, Bi!"Mata Sendang Suci menatap tak berkedip, berkesan penuh kelembutan yang sarat dengan makna kejiwaan. Dengan tutur kata yang lembut pula, Sendang Suci berkata kepada Yoga. "Barangkali kau membutuhkan seorang penunjuk Jalan, Yo! Dan rasa-rasanya aku punya kesanggupan untuk menjadi penunjuk jalanmu!"Yoga tersenyum dalam keramahan. Senyum itu membuat hati Sendang Suci bergetar kuat dan bahkan jantungnya pun terasa cepat detakannya. Yoga segera berkata dengan lembut pula,"Terima kasih, Bi! Kesanggupanmu menjadi penunjuk jalanku bukan kutolak, tapi aku merasa cukup sendirian pergi ke sana! Kurasa bantuanmu menceritakan tentang Gunung Menara Salju tadi sudah banyak membantu pencarian ku terhadap Nyai Guru Dewi Langit Perak. Aku tak ingin merepotkan Bibi terlalu banyak lagi!"Sendang Suci juga sunggingkan senyum tuanya yang masih manis dan enak di pandang mata itu, kemudian la berkata,"Aku tak akan memaksakan kehendak jika memang Itu keputusanmu, Yo. Tetapi pesanku, jikakau sudah berjumpa dengan Dewi Langit Perak, sampaikan salamku kepada beliau. Beliau pasti mengenal aku karena dulu aku pernah ditolongnya dari serangan orang-orang Mongol. Dan jika kau pulang dari Gunung Menara Salju, jangan lupa, sempatkan mampir ke pondokku ini, Yo!"Zraap...! Tiba-tiba ada sekelebat bayangan yang melintas cepat di kerimbunan pohon, jauh dari tempat mereka berdua berbicara. Namun, baik Yoga maupun Sendang Suci sama-sama melihat kelebatan aneh yang ada di kerimbunan pohon seberang sana. Mereka sama-sama saling pandang dan Yoga segera berkata,"Ada orang yang mengintai kita rupanya!""Kurasakan begitu juga," jawab Sendang Suci. "Diamlah di sini. Aku akan memeriksa hutan seberang sana!"Sendang Suet merasa bertanggung jawab terhadap keamanan dan keselamatan tamunya. Karena itu, Sendang Suci segera melesat pergi mencari sesosok bayangan yang tak jelas wujudnya itu di kerimbunan hutan seberang. Sementara itu, Yoga segera menuju ke rumah setelah beberapa saat ia menunggu Sendang Suci dan perempuan itu belum juga kembali. Yoga ingin menemui Mahligai untuk membicarakan apa yang sudah dibicarakan dengan Bibi Sendang saat Yoga tiba di sana, Tamtama sedang berusaha bangkit dari rebahannya dengan menyeringai kesakitan. Mahligai yang membantu Tamtama untuk bangkit dan duduk itu, menjadi terperanjat dan tak enak hati, sebab Yoga pasti melihat tangan Mahligai memegangi punggung Tamtama. Mahligai takut Yoga cemburu, tetapi ternyata Yoga justru tersenyum dan berkata kepada Tamtama,"Maafkan sikapku tadi, Tamtama! Sebaiknya kucoba memulihkan kekuatanmu dan menghilangkan rasa sakitmu itu. Berbaliklah ke belakang, Tamtama!"Namun mata Yoga dipandangi oleh Tamtama dengan sikap tidak bersahabat. Yoga hanya tersenyum dan tetap ramah kepada Tamtama. Lalu, pelan-pelan Tamtama memutar tubuhnya dan memunggungi yang tanpa baju itu terbuka lebar di depan Yoga. Kemudian, dua jari tengah Yoga ditempelkan Ke punggung tersebut. Kedua jari tengah Yoga itu menyala biru lembut. Yoga memejamkan matanya beberapa saat dengan tangan sedikit gemetar. Kejap berikutnya nyala biru pada kedua jari tengah Yoga Itu menjadi padam. Yoga pun menarik kembali kedua jarinya dan segera berkata,"Moga-moga tak berapa lama lagi keadaanmu pulih, Tamtama! Dan aku mohon pamit kepada kalian berdua!""Yo...?! Kau mau ke mana?!" Mahligai mulai bernada cemas."Aku harus pergi ke Gunung Menara Salju. Karena menurut keterangan bibimu, berita terakhir yang diterimanya tentang Dewi Langit Perak dan burung Rajawali Putihnya, terbang ke arah Gunung Menara Salju! Sekalipun hal itu terjadi lima tahun yang lalu, tapi bibimu menyarankan agar aku mencarinya ke sana, menanyakan kepada para penduduk yang tinggal di kaki gunung tersebut.""Aku ikut!" sahut Mahligai."Bibi tidak akan mengizinkan kau ikut dengannya, Mahligai," kata Tamtama dengan cepat dan dengan perasaan tak suka terhadap usul Rajawali Merah pun berkata dalam senyumnya, "Tak perlu ada yang ikut denganku? ini urusan pribadi yang tak bisa melibatkan orang lain terlalu dalam, Mahligai! Kurasa kau tetaplah tinggal bersama bibi gurumu di sini!"'Tidak. Aku harus ikut! Kau belum tahu betapa sulitnya menembus hutan Gunung Menara Salju, Yo! Untuk menuju ke sana pun kau harus melewati ngarai yang curam dan licin!""Aku bisa atasi semua itu! Justru kalau kau ikut, aku akan kerepotan menjaga keselamatanmu!"Yoga sengaja berkata begitu di depan Tamtama, supaya Tamtama tahu bahwa Yoga tidak punya maksud merebut kekasih Tamtama. Dan Tamtama melihat sendiri wajah Mahligai menjadi cemberut dan bersungut-sungutYoga bergegas keluar dari rumah ketika melihat langkah Sendang Suci pulang dari memburu pengintai gelap itu. Di depan pintu Yoga berdiri dan Sendang Suci berkata pelan bagai berbisik,“Tak kutemukan siapa pun di sana!" "Lupakanlah, Bi! Yang pentingwaspadalah terhadap hal-hal yang sekiranya nanti terjadi. Dan, agaknya aku harus pamit sekarang juga, Bi!"Sejenak Tabib Perawan yang belum pernah mengagumi seorang lelaki untuk yang kedua kalinya, kali ini memandang kagum lagi kepada Yoga. Menurutnya, wajah itu lebih menawan dari wajah bekas kekasihnya yang dulu mati dibunuh orang tak dikenal. Tabib Perawan bagaikan memuaskan diri menikmati ketampanan dan pesona indah yang ada pada diri Pendekar Rajawali Merah itu. Setelah merasa puas memandang, perempuan tersebut pun berkata dengan pelan,"Berangkatlah dan hati-hati di jalan! Aku tak ingin mendengar berita tentang dirimu yang menemui celaka apa pun, Yo!""Kuperhatikan pesan Bibi itu!" jawab Yoga sambil segera muncul dari dalam rumah dan berseru, "Yo, aku ikut denganmu!""Jangan, Mahligai!" cegah bibinya. "Aku hanya ingin mengantar dia sampaidi ngarai saja!"Tamtama keluar dari kamar, badannya sedikit lemas tapi rasa sakitnya sudah lenyap. Rupanya cara penyembuhan yang dilakukan oleh Yoga tadi mempercepat hilangnya rasa sakit dan memulihkan kekuatannya, walau tak sepenuh langsung berkata, "Mahligai, tak pantas seorang gadis memaksakan diri mendampingi pemuda yang tidak mau bersamanya!""Kau tidak berhak melarangku!" sergah Mahligai sambil berpaling ke belakang."Aku hanya mengingatkan kamu, supaya kamu punya harga diri di depan pemuda itu!""Dia lebih bisa menghargai diriku ketimbang kau, Tamtama!" debat Mahligai dengan keras. Tamtama merasa jengkel dan menggerutu tak jelas.***7TERNYATA orang yang terlihat mengintip percakapan Yoga dengan Sendang Suci Itu adalah seorang gadis cantik bertubuh ramping dan berpakaian warna merah dengan rompi ketat biru muda yang bagian depannya terkancing rapat. ia mempunyai bentuk wajah yang sedikit lonjong tapi kecantikannya cukup memukau lawan jenis. Gadis berambut panjang yang diikat menjadi satu dengan pita merah sutera itu adalah keponakan dari Jalak Hutan yang bernama Mutiara Naga. Hubungannya dengan Sendang Suci cukup baik, sering minta nasihat tentang segi Mutiara Naga tadi ingin temui Tabib Perawan itu, namun demi melihat seraut wajah tampan milik seorang pendekar muda, Mutiara Naga urungkan niatnya datang ke pondok Sendang Suci. la lebih merasa senang memandang pemuda tampan itu dari balik persembunyiannya, karena dengan begitu apa yang ingin dipandangnya dapat dilakukan tanpa rasa kikuk dan malu kepada Sendang Suci."Menarik sekali dia. Hatiku bisa bergetar bila memandanginya. Getaran ini cukup indah. Tapi... agaknya Mahligai pun menaruh minat kepada pemuda itu. Tak enak jika aku tampilkan diri di depan mereka. Ada baiknya kuikuti saja nanti jika pemuda itu pergi dari rumah Tabib Perawan. Aku bisa berkenalan dengannya secara bebas jika tidak di rumah Bibi Sendang Suci itu!" pikir Mutiara Naga yang membuat ia bertahan di ketika ia melihat Yoga tinggalkan tempat itu, la pun segera mengikutinya dari jarak tak seberapa jauh. Namun tiba-tiba langkahnya dipatahkan oleh kekuatan tenaga dalam yang dilepaskan dari Jarak jauh. Angin padat menghantam pinggang Mutiara Naga, membuatnya jatuh terjungkal dan berguling-guling di tanah."Keparat! Siapa yang berani menyerangku dengan sembunyi-sembunyi?! Melihat jenis serangannya yang begitu kuat tanpa bunyi dan hawa sedikit pun, pasti serangan itu datangnya dari orang Perguruan Belalang Liar! Hmmm... siapa orangnya yang menggunakan pukulan jarak jauh milik orang Perguruan Belalang Liar tadi?!"Mata tajam Mutiara Naga memandang sekelilingnya dengan penuh selidik. Kemudian pandangan matanya tertuju pada serumpun bambu dalam jarak delapan tombak darinya. Serumpun bambu itu mencurigakan, sehingga Mutiara Naga pun mengirimkan pukulan jarak jauhnya ke arah tersebut dengan melepaskan sinar merah dari telapak tangan Wesss...! Duaar...!Sinar merah itu menghantam hancur serumpun bambu tersebut. Tapi tak ada sesosok bayangan yang berkelebat meninggalkan tempat tersebut. Mutiara Naga menyipitkan pandangan matanya yang mencari orang yang menyerangnya di sekeliling serumpun bambu yang sudah hancur berantakan Mutiara Naga salah sasaran. Orang yang dicarinya ada di bawah tanaman perdu yang tingginya hanya sebatas pinggul itu. Orang tersebut bersembunyi di sana dengan menelungkupkan tubuhnya. Orang itu sekarang bangkit dan menampakkan diri setelah ia puas melihat Mutiara Naga kebingungan mencarinya. Orang itu langsung tertawa dengan suara lengking meninggi, membuat gendang telinga terasa mau pecah. Mutiara Naga segera menutup kedua telinganya dengan menggunakan telapak tangannya."Hik hik hik hik hiiik...! Kau seperti kucing kehilangan ekornya, Mutiara Naga! Hik hik hik hiiik...!"Setelah tawa itu terhenti, kedua tangan Mutiara Naga pun dilepaskan dari telinga. Tapi ia siap bergerak menutup telinga lagi jika didengarnya perempuan yang berdiri dalam jarak delapan langkah itu akan tertawa lagi. Mutiara Naga tahu, tawa itu jelas tawa yang mengandung kekuatan tenaga dalam untuk memecahkan gendang telinga lawan. Hanya orang-orang Perguruan Belalang Liar saja yang bisa melakukan tawa seperti itu."Biadab kau, Merak Betina!" maki Mutiara Naga kepada perempuan berusia antara dua puluh tujuh tahun itu. Perempuan cantik berwajah mungil indah, bermata bundar dan bertahi lalat kecil dl ujung dagu kirinya itu hanya menyunggingkan senyum sinis sambil maju dua tindak. la mengenakan pakaian hijau muda dengan rompi panjang sebetis berwarna kuning gading. Rambutnya panjang sebahu diikat kain merah yang melilit di kepalanya. Selain ia menyelipkan pisau besar semacam pisau berburu, juga mengenakan sabuk dari kulit binatang warna hitam yang mempunyai banyak pisau kecil melingkari pinggangnya. Pisau-pisau terbang itu dalam keadaan slap cabut dan siap melayang ke arah lawannya kapan saja."Tiba saatnya kita bikin perhitungan, Mutiara Naga!" ucap Merak Betina dengan lantangnya. "Kalau dulu kau membunuh tiga orang perguruanku, sekarang aku sendiri yang akan menebus nyawa mereka dengan mencabut nyawamu, Mutiara Naga!""Aku terpaksa membunuh ketiga orangmu, karena mereka melukai adikku hingga cacat kakinya! Jadi pantaslah kalau aku berbuat kejam terhadap mereka, karena mereka mendului bertindak kejam pada keluargaku, Merak Betina!"Terbayang wajah adik lelakinya di benak Mutiara Naga yang bernama Wibawa Arga. Sebenarnya hubungan Mutiara Naga dengan Wibawa Arga tidak terlalu rukun. Sering terjadi selisih paham dan cekcok, terkadang mereka sampai berkelahi hanya perkara kecil. Wibawa Arga selalu dibela oleh ayah Mutiara Naga, sehingga Mutiara Naga akhirnya memilih hidup menyendiri walau tidak berarti berkelana jauh dari ketika ia mendengar Wibawa Arga mengalami nasib buruk, sebagai kakak, Mutiara Naga tetap saja tak tega untuk membiarkan adik kandungnya bernasib buruk. Mutiara Naga segera pulang ke rumah dan ia sangat terkejut melihat kedua kaki adiknya ternyata telah buntung. Mendidih darah Mutiara Naga kala itu."Siapa yang lakukan semua ini, Wibawa Arga?! Katakan, siapa?!" sentak Mutiara Naga."Mereka yang lakukan!""Mereka siapa? Jawab dengan jelas!"Wibawa Arga diam sebentar, kemudian menjawab, "Orang-orang Perguruan Belalang Liar."Terdengar gigi Mutiara Naga menggeletuk menahan kemarahannya. Lalu, Wibawa Arga menceritakan duduk perkaranya. Ia ingin jumpa dengan gadis yang ditaksirnya, murid Perguruan Belalang Liar yang bernama Merak Betina. Tetapi ia justru terlibat pertikaian dengan gadis lain, hingga diluar kesadarannya ia telah membunuh gadis Arga akhirnya ditangkap oleh orang-orang Perguruan Belalang Liar yang dipimpin oleh Kembang Mayat. Wibawa Arga diadu dengan seorang murid Kembang Mayat yang jago pedang. Akhirnya, Wibawa Arga bernasib malang. Kedua kakinya berhasil dibuntungi oleh orang tersebut, kemudian ia dibuang di tepi jalan menuju ke kadipaten. Seseorang menemukannya, lalu mengantarkan Wibawa Arga pulang. Sejak itulah, Mutiara Naga benci dan menaruh dendam kepada orang Belalang Liar dan berhasil membunuh tiga anggota perguruan ia bertemu dengan Merak Betina, dan saat itu Merak Betina berkata, "Kau berhutang nyawa pada kami, dan harus kau bayar!""Kalau itu kehendakmu, terimalah pukulan 'Naga Setan' ku ini! Hiaaah...!"Mutiara Naga berkelebat tangannya seperti membuang sesuatu ke arah depan. Pan bersamaan dengan itu terlepaslah sinar merah berpendar-pendar yang melayang cepat menghantam tubuh Merak Betina. Tetapi agaknya perempuan berwajah mungil Itu cukup sigap menghadapi serangan lawannya. la sentakkan telapak tangan kirinya yang mengeluarkan cahaya sinar putih bagai sebatang tongkat tak lebih dari satu jengkal panjangnya. Wuuttt..,! Sinar putih perak itu menghantam sinar merah dan terjadilah benturan dan dentuman yang cukup hebat. Blarrr...!Gelombang getaran yang timbul dari ledakan itu menghempas kedua arah. Merak Betina tersentak mundur tiga tindak, sedangkan Mutiara Naga terpental sejauh lima langkah dan terhuyung-huyung lawannya terhuyung-huyung, dengan cepat kedua tangan Merak Betina melepaskan sesuatu ke depan. Wuutt, wuuttt...! Ternyata ia telah mencabut dua pisau terbangnya yang dilemparkan dengan gerakan amat cepat ke arah tubuh lawan. Zingng, zingng...!Kemilau dua sinar yang timbul dari pantulan matahari ke logam putih pisau terbang itu membuat mata Mutiara Naga terkesiap sekejap, lalu ia melompat dengan sentakan kakinya dan pedang pun tercabut dengan cepat. Sraat...! Lalu dikibaskan ke arah datangnya dua pisau kecil tring...! Pisau itu berhasil dihalaunya dan mental ke arah sebatang pohon. Keduanya sama-sama menancap di satu batang pohon yang ada di sebelah kiri Mutiara Naga. Jrub, jruub...!"Hiaaat...!" Mutiara Naga cepat melompat dan bersalto di udara dua kali, kemudian ketika tubuhnya hendak mendarat, pedangnya ditebaskan ke arah dada lawannya. Wuuttt...Merak Betina berhasil menghindari tebasan itu dengan lompat ke belakang satu tindak. Dengan cepat ia cabut pisau besarnya dan ganti menebaskannya ke perut Mutiara Naga. Wuusss...!Hampir saja perut Mutiara Naga robek oleh pisau besar itu seandainya ia tidak segera menarik diri mundur dalam satu lompatan cepat. Bersamaan dengan itu, kaki Merak Betina berkelebat menendang dan berhasil mengenai wajah Mutiara Naga. Wuuutt...! Plokkk...!"Biadab kau!" geram Mutiara Naga setelah merasakan bibirnya berdarah akibat tendangan Merak dengan cepat Mutiara Naga kibaskan pedangnya ke sana-sini hingga terdengar bunyi menggaung; wuungng, wuung...! Dan mata Merak Betina mengikuti tiap gerakan pedang karena takut datang menyerang sewaktu-waktu. Namun ternyata jurus itu hanya jurus tipuan belaka, sehingga Merak Betina tak sempat menghindar ketika pukulan jarak jauh berwarna hijau gelap itu terlepas dari tangan kiri Mutiara Naga. Zlaap...! Buhhg...! "Aaahg...!"Sinar hijau sebesar lebar telapak tangan Itu menghantam telak dada Merak Betina. Tubuh yang terhantam sinar hijau gelap itu terpental mundur dan membentur sebatang pohon. Tubuh Merak Betina mengerang kesakitan di bawah pohon itu, sambil memegangi dada kanannya yang terbakar dan hangus. Pakaiannya menjadi hitam dan bolong serta mengepulkan asap putih lawannya terkulai tak berdaya, Mutiara Naga segera sentakkan kakinya, tubuhnya segera meluncur terbang ke arah lawan dengan pedang terarah kedepan, siap menusuk dada lawannya. Tetapi, tiba-tiba berkelebat bayangan melintas di depan mata Mutiara Ujung pedang itu menusuk batang pohon hingga masuk hampir separo bagian. Mutiara Naga terkesiap melihat Merak Betina telah lenyap dari bawah pohon itu. Cepat-cepat Mutiara Naga mencabut pedangnya itu dan berpaling ke belakang."Oh, kau...?!" gumamnya kaget begitu melihat seorang pemuda tampan berpakaian putih lengan panjang dilapis selempang warna coklat dan celana merah diikat menjadi satu dengan baju bulunya dengan kain warna hitam tebal. Pemuda berambut panjang tanpa ikat kepala itu tak lain adalah Pendekar Rajawali Naga yang berdiri di depan pendekar tampan dalam jarak tiga tombak itu tiba-tiba jatuh terkulai karena kepalanya mendadak pusing dan berat sekali. la tidak tahu bahwa pada saat Pendekar Rajawali Merah berkelebat menyambar tubuh Merak Betina, ia telah melepaskan pukulan lembut bercahaya putih yang sangat cepat. Pukulan itu dinamakan pukulan 'Cakar Ger-sang', yang dapat membuat lawan menjadi pusing, berat kepalanya dan mual perutnya. Tak terlalu berbahaya, tapi cukup untuk melumpuhkan lawan dalam sekejap."Kenapa dengan diriku...?!" ucap Mutiara Naga tak Rajawali Merah berkata, "Maaf, aku tidak bermaksud memihak lawan mu dan mencelakai kamu! Aku hanya ingin memisahkan pertarungan kalian dan menyelamatkan perempuan yang sudah tak berdaya ini, Nona! Terpaksa kulepaskan pukulan 'Cakar Gersang' untuk menghentikan seranganmu yang sangat berbahaya bagi keselamatan nyawa perempuan ini!""Kau... kau... aduh, kepalaku sakit sekali!" Mutiara Naga terkulai jatuh semakin terbaring. Napasnya terengahengah dan keringat dinginnya pun keluar. Terdengar Yoga berkata dari jarak lebih dekat lagi, "Aku membutuhkan perempuan ini, karena tadi kudengar ia tertawa begitu lengkingnya, bisa untuk dipakai memanggil seekor burung di angkasa! Sekali lagi, maaf... kupinjam sebentar lawanmu ini untuk satu keperluan! Kelak akan kukembalikan padamu, Nona!"Setelah berkata begitu, Yoga berkelebat pergi sambil membawa Merak Betina yang terkulai di atas pundak kiri Yoga. Mutiara Naga hanya memperhatikan kepergian Yoga, tak bisa mengejar karena sekujur badannya menjadi lemas lunglai untuk beberapa saat.***8KALAU tidak segera ditangani Yoga, Merak Betina tidak akan tertolong lag! jiwanya. Pukulan Mutiara Naga sungguh dahsyat dan berbahaya. Beruntung sekali Merak Betina mempunyai suara tawa yang lengking, sehingga menarik perhatian Yoga dan segera disembuhkan oleh Pendekar Rajawali Merah agaknya ada salah pengertian pada diri Merak Betina. Ketika ia sadar penolongnya adalah seorang pendekar tampan dan punya daya pikat tinggi itu, Merak Betina merasa mendapat kesempatan untuk membuka hatinya. Pikirnya, Pendekar Rajawali Merah itu telah terpikat olehnya dan karena itu membawanya lari dari pertarungannya dengan Mutiara Naga. Tak heran jika Merak Betina sejak saat itu merapatkan diri terus kepada Pendekar Rajawali Merah dan menampakkan kesetiaan dan kelembutan kasih sayangnya. Yoga sendiri mulai membaca sikap yang salah arti itu, sehingga terang-terangan Yoga berkata,"Aku menolongmu dan membawamu lari karena kudengar kau mempunyai suara tawa yang lengking. Suara tawamu itu dapat dipakai untuk memanggil seekor burung Rajawali Putih yang sedang kucari-cari. Karena itu, aku ingin mengajakmu ke Gunung Menara Salju dan memperdengarkan suara tawamu di sana. Jujur saja, suara tawamu itu mirip sekali dengan panggilan minta tolong bagi seorang burung rajawali!""Aku mau membantumu mencari burung Rajawali Putih di Gunung Menara Salju, tapi aku harus mendapatkan sesuatu dari pertolonganku itu! Aku minta upah!""Berapa upah yang kau minta?" tanya Yoga sambil tersenyum geli."Bukan berupa uang atau emas permata!""Lalu, upah apa yang kau minta?" "Perhatian darimu!"Yoga tertawa lepas. Tawanya itu membuat Merak Betina malu dan bersungutsungut menahan senyum sambil mencubit lengan pemuda ganteng Itu. Si pemuda ganteng tak merasakan cubitan tersebut, tapi lebih berpikir tentang cara menolaknya. Satu-satunya cara yang bisa dilakukan hanya dengan berkata,"Beri aku kesempatan untuk memikirkannya setelah kutemukan burung Rajawali Putih itu!""Uhhg...!" tiba-tiba Merak Betina terpekik dengan tubuh tersentak ke depan, hampir jatuh jika tidak berpegangan lengan Yoga. Rupanya ada seseorang yang melepaskan pukulan jarak jauh ke punggung Merak Betina dari menangkap tubuh Merak Betina yang tersentak ke depan sambil menyeringai kesakitan itu, Pendekar Rajawali Merah segera berpaling ke belakang, dan ia menemukan seorang gadis nakal dan bandel telah berdiri di bawah sebuah pohon dengan wajahnya yang murung dan cemberut. Gadis berpakaian kuning itu tak lain adalah Mahligai, murid dan keponakan Tabib Betina segera tegakkan badannya dan menahan sakit setelah mengetahui penyerangnya adalah gadis cantik. Kemarahan Merak Betina bertambah besar, sebab Mahligai ternyata sudah mengenal Yoga dan dari tempatnya ia berseru,"Mengapa kau justru mengajak perempuan ini, Yo?! Dia tak akan bisa melindungimu, selain hanya akan merepotkan kamu dalam perjalanan ke Gunung Menara Salju!""Apakah kau pikir kau bisa melindungi Pendekar Rajawali Merah jika kau diajak ikut ke Gunung Menara Salju, Gadis Bodoh?!" sentak Merak Betina. "Aku tahu kau murid Tabib Perawan yang tak laku kawin itu! Kau pikir dengan mendekati Pendekar Rajawali Merah ini kau bisa dijodohkan gurumu dengannya?! Tidak!""Merak Betina, jangan berkata begitu!" sergah menjawab dengan suara lantang, "Lancang betul mulut liarmu, Merak Betina! Sepantasnya mulut orangorang Perguruan Belalang Liar yang kotorkotor itu dihancur lumatkan dengan pukulan 'Kobra Gila' Ini! Hiaaat...!"Zaappp...! Selarik sinar ungu keluar dari telapak tangan Mahligai yang disentakkan ke depan. Selarik sinar ungu itu berkelok-kelok jalannya bagai seekor ular kobra kehilangan arah. Gerakannya yang liar itu tidak memungkinkan dihantam dengan jurus lain kecuali hanya bisa dihindari. Maka, Merak Betina pun segera sentakkan kakinya ke tanah dan tubuhnya melenting di udara. Wuuttt...!Dari atas sana ia pun melepaskan pukulan berbahaya berupa serbuk merah bintik-bintik yang menyala terang tiap bintiknya. Serbuk merah itu melesat dengan cepat setelah pukulan 'Kobra Gila' menghantam pohon dan membuat pohon tersebut menjadi hangus seketika tanpa keluarkan api kecuali asap putih."Merak Betina! Mahligai! Tahan amarah kalian!" seru Yoga, dan seruan itu kembali tak dihiraukan oleh serbuk merah bintik-bintik itu sudah telanjur menyerang Mahligai, dan gadis itu tak sempat menghindarinya. Zruubbb...! Serbuk merah bintik-bintik itu menerpa dada Mahligai dan membuat gadis itu tersentak mundur dua tindak. Tetapi segera tertegun beberapa Merak Betina tertawa lengking yang membuat Pendekar Rajawali Merah menutup telinga,"Hiih hik hik hik hiiikkk...! Kau pikir hanya kau sendiri yang mempunyai jurus gila, Mahligai?! 'Kobra Gilamu tidak seberapa berbahaya dibandingkan pukulan 'Racun Edan' yang kini meresap dalam dadamu! Tak akan ada orang yang mampu menawarkan dan melenyapkan Racun Edan kecuali diriku sendiri! Gurumu, si Tabib Perawan, belum punya obat pemunah Racun Edan! Biar sampai botak kepalanya, Tabib Perawan tak akan bisa sembuhkan dirimu, Mahligai!""Gggrrr...! Jahanam kau! Kubunuh kau, Merak Betina! Hiaaat...!""Hai, tunggu...! Tahan semuanya! Tahan...!" seru Yoga kebingungan sendiri..Mahligai berlari menyerang Merak Betina, tapi yang diserang sudah lebih dulu melarikan diri dengan gerakan peringan tubuh yang cukup tinggi. Mahligai mengerang buas sambil mengejar lawannya, la bagai tak pedulikan lagi dengan pendekar ganteng yang dilintasinya itu."Sial!" Yoga memaki jengkel sendirian. "Dasar perempuan bodoh semua! Perselisihan tak punya makna dilakukan! Bodoh! Aku tak mau mengejar perempuanperempuan bodoh itu! Aku tak mau peduli lagi dengan mereka! Biarlah aku ke Gunung Menara Salju seorang diri saja! Tak perlu membawa Merak Betina! Bikin susah dan menghambat langkah saja perempuanperempuan itu!"Pendekar Rajawali Merah teruskan perjalanan seorang diri. la merasa lebih tenang dalam kesendirian, ketimbang harus ditemani seorang wanita yang dapat menimbulkan kericuhan dalam pikirannya. Walaupun dalam hati Yoga mengakui bahwa kecantikan dan lekuk tubuh Merak Betina memang menarik hati dan menggiurkan sekali, tapi untuk kali ini Pendekar Rajawali Merah memaksakan diri untuk tidak berpikir ke arah situ, la lebih memusatkan perhatiannya ke Gunung Menara Salju, dan hatinya pun sempat bertanyatanya,"Jika Nyai Guru Dewi Langit Perak tidak kutemukan di Gunung Menara Salju, lantas ke mana lagi kira-kira aku harus mencari beliau? Jangan-jangan beliau telah melarikan diri sampai ke dataran Cina atau ke Tibet? Mungkinkah aku harus melawatnya sampai ke sana?!"Langkah pun terhenti, sebuah jurang dengan ngarai terjalnya membentang di depan Yoga. Gemuruh suara air terjun yang tinggi itu terdengar bagaikan ombak 1autan yang sedang mengamuk. Untuk melihat ke arah dasar air terjun terlalu dalam, sehingga tak ada yang bisa dilihat dari atas tebing mulut jurang itu."Mahligai mengatakan, aku harus melintasi ngarai dan jurang terjal yang amat dalam ini! Jika kulakukan dengan melintas di tepian air terjun itu, keadaannya sangat licin dan berbahaya. Belum lagi aku harus menyeberangi lautan untuk mencapai sebuah daratan di mana terletak Gunung Menara Salju. Rasarasanya jika kutempuh dengan jalan kaki, harus memutar jauh untuk mencapai daratan yang sebenarnya masih menjadi satu dengan tanah di sini! Hmm...! Kurasa lebih baik meminta bantuan si Merah saja!"Yoga segera sentakkan tangan kanannya ke atas. Jari kelingking, jari telunjuk dan ibu jarinya berdiri tegak ujung-ujung jari itu keluarkan sinar merah yang melesat lurus ke angkasa dan bertemu di sana menimbulkan dentuman yang menggaunggaung. "Bung, wung, wung, wung...!" Itulah bahasa isyarat memanggil Rajawali Merah. Dan suara gaung itu hanya bisa dipahami oleh Rajawali Merah karena mempunyai nada tersendiri serta alunan irama yang khas bagi pendengaran Rajawali Merah. Maka dalam beberapa saat kemudian, seekor burung Rajawali Merah besar datang dan mendarat di dekat Yoga."Kraahk...! Keeaahk...!" burung itu bagai memberi salam pada pendekar ganteng yang akan menungganginya."Kita mencari kekasihmu ke Gunung Menara Salju! Apakah kau tahu arahnya?!""Kaahk...! Khaaak...!" burung jantan itu manggut-manggut sambil menggerakkan sayapnya yang belum merentang lebar."Baiklah kalau kau tahu, kita berangkat ke sana, Merah!”Yoga segera naik ke atas punggung rajawali jantan Itu, kemudian dalam beberapa saat saja Yoga telah berada di angkasa, terbang dengan menunggang seekor burung Rajawali Merah yang besar dan berparuh kekar itu. Ia dibawanya berkeliling satu kali, kemudian segera burung besar itu meluncur terbang ke arah utara. Dengan gagahnya Yoga bertengger di atas punggung burung itu, menerabas awan putih yang sesekali tampak, sesekali membuatnya lenyap bagai ditelan awan. Pendekar itu tampak jauh lebih gagah daripada ia menunggang ketinggian itu ternyata angin berhembus cukup kencang. Yoga memerintahkan agar burung Rajawali Merah terbang jangan terlalu tinggi. Maka burung itu pun merendah, dan kini mereka sedang menyeberangi langit di atas lautan. Maka Yoga memandang sekeliling sambil mencari-cari siapa tahu menangkap gerakan seekor burung Rajawali Putih. Namun sepanjang penerbangannya itu, yang mereka temui hanyalah burung-burung kecil, camar laut, dan kadang juga seekor elang hitam. Mereka lari terbirit-birit ketika melihat seekor rajawali besar terbang mendekati ada burung atau hewan lain yang berani mendekati jalur penerbangan Rajawali Merah. Bahkan seekor ikan paus yang muncul di permukaan air laut itu buru-buru menenggelamkan diri sewaktu Rajawali Merah melintas diatasnya. Agaknya burung Rajawali Merah itu juga mempunyai semacam kharisma tersendiri di antara para hewan, yang membuat mereka sungkan berhadapan dengan sang Rajawali Merah Gunung Menara Salju mulai kelihatan. Warnanya putih keabu-abuan, dan bagian bawahnya membiru. Yoga memerintahkan Rajawali Merah untuk terbang lebih cepat lagi ke arah gunung tersebut. Dan dengan suara khasnya, Rajawali Merah menyerukan kesanggupannya untuk terbang lebih cepat. Sayapnya yang tegar dan perkasa mengibas kuat bagai ingin menyingkirkan mega-mega. Penunggangnya sendiri tampak lebih bersemangat lagi untuk segera mencapai tempat yang dituju. Rambutnya yang panjang meriapriap dibelakang tersapu angin, satu tangannya berpegangan pada bulu bagian leher burung, satunya lagi sedang menunjuk-nunjuk ke arah gunung tersebut, tentu saja diiringi dengan ucapan-ucapan yang tak terjangkau oleh pendengaran orang yang melihatnya dari dekat dengan gunung tersebut, semakin rendah terbang sang rajawali. Tetapi Yoga merasakan adanya angin aneh yang berhembus dari arah depan-nya. Angin itu berkecepatan tinggi dan membawa hawa hangat yang terasa mulai memanas di kulit. Yoga segera berteriak kepada rajawalinya,"Hati-hati, ada angin kiriman yang tak jelas maksudnya!""Kreeaahg...! Krraahg...!"Rajawali melakukan gerakan menukik. Wuuttt...! Ia bagai menghindari gelombang hawa panas yang makin dekat dengan gunung itu semakin terasa jelas. Kini ia terbang lebih rendah lagi, tak seberapa tinggi dari permukaan air kejap berikutnya, angin panas itu berubah menjadi badai. Hembusannya begitu kuat, hingga membuat binatang besar itu terhenti di udara karena tak sanggup mendesak hembusan angin dari arah depannya. Angin badai Itu bagaikan ingin melemparkan rajawali besar bersama penunggangnya. Sang rajawali bertahan dengan mencoba menukik lebih ke bawah lagi. Tapi semakin ke bawah badai semakin mengamuk kuat. Ombak lautan bergulunggulung bagaikan ikut mengamuk. Sementara itu, Yoga berpegangan kuat-kuat pada bulu-bulu di bagian leher burung dengan posisi setengah tengkurap di punggung burung itu."Kraahk...! Kraahg...!" Rajawali Merah menjerit-jerit dan bergerak memutar bagai terhempas kehilangan kendali dan keseimbangan."Meraaah...! Hati-hati...!" teriak Yoga dengan berusaha menjaga keseimbangan tubuhnya. Tetapi karena badai begitu kuatnya, maka tubuh kecil di atas punggung burung besar itu terhempas jatuh ke laut."Meraaaah...!"."Kraaahk...! Kraahg...! Kraahg...!" Rajawali Merah bermaksud menyambar tubuh Yoga yang sedang melayang turun mendekati permukaan air laut, tetapi cakar rajawali segera ditariknya kembali karena ombak lautan datang bergulung-gulung tingginya seukuran pohon kelapa di pantai. Besar dan ganas ombak itu, sehingga Rajawali Merah menyelamatkan diri dengan terbang ke atas lebih cepat lagi. Sedangkan Yoga tak tertolong, jatuh ke lautan berombak ganas. Byuurrr..!Rajawali Merah masih berkeliling, terbang mengitari lautan tempat jatuhnya Yoga. Badai yang mengganas itu telah reda. Tapi ombak masih bergulung-gulung bagai ingin menelan benda apa pun yang ada di besar itu hanya memekik-mekik selama di angkasa, karena ia melihat gerakan tubuh Yoga yang berusaha menyelamatkan diri dari gulungan ombak, namun justru terseret masuk dalam gerakan air yang memutar."Kraaahk...! Kraahg...!" Rajawali Merah bagai memekik tegang melihat Yoga semakin tenggelam karena masuk dalam pusaran arus gelombang yang sangat berbahaya itu. Sampai pada akhirnya burung besar itu memekik keras dan panjang ketika Yoga jelas-jelas tersedot pusaran arus tanpa bisa berkelit dan menghindari lagi. "Krraaahhg...!"Yoga hanya mendengar pekikan burung besar itu sekilas, setelah itu ia tak mampu mendengar apa-apa lagi. Ia berjuang melawan pusaran air laut itu yang makin lama semakin menyedotnya lebih ke dalam. Tangan dan kakinya menggapai-gapai, namun tubuhnya tetap terpelanting berputarputar sampai di kedalaman yang paling dalam. Semakin ke dalam putaran itu semakin lamban, dan dengan satu sentakan kuat Yoga berhasil melepaskan diri, keluar dari lingkaran arus air yang berputar-putar itu. Zruub...!Ia berenang sejadinya dan berusaha keluar dari perjalanan di dalam laut itu, tapi tubuhnya terlalu lemas. Bahkan gerakan gelombang bawah laut begitu kuat dan menghempaskan tubuh lemas *Tak ada upaya dari seseorang yang sia-sia. Ada kalanya perjuangan membutuhkan kekuatan yang melebihi daya kemampuan. Namun bagaimanapun juga nasib manusia tetap ada di tangan Yang Mana halnya dengan Yoga. Perjuangannya dalam mempertahankan hidup terasa sudah melebihi daya yang ada. Hempasan gelombang bawah laut itu ternyata hanya membuatnya tak sadarkan diri beberapa ia sadar dari pingsannya, terpaksa ia sudah berada di sebuah relung tebing karang. Lidah ombak masih menyapu wajahnya bagai cemeti yang jahat. Yoga berusaha merayap untuk lebih masuk ke relung itu. Ternyata relung tersebut punya lorong ke atas dan memungkinkan untuk didaki. Yoga pun segera mendaki lorong tersebut, sehingga ia terbebas dari air laut yang bergelombang besar di dasar laut itu ada gua yang tidak terkena siraman air laut. Gua itu pada mulanya berbentuk lorong yang memanjang ke atas dan cukup tinggi. Di ujung lorong itulah terdapat ruangan lebar, yaitu sebuah gua bebas air laut, karena gua itu sepertinya berada di dalam perut gunung karang yang ada di dasar laut. Bahkan gua tersebut dalam keadaan terang, karena mempunyai tanaman sejenis lumut yang menyala hijau memenuhi dinding gua. Yoga menjadi seperti berada dalam ruang lingkup bermandikan cahaya hijau. Tapi dengan cahaya lumut aneh itulah, mata Yoga bisa memandangi keadaan sekeliling sisa tenaganya yang masih lemas, Yoga menyusuri lorong gua yang berkelok-kelok dan seluruhnya terdiri dari batuan jenis karang. Yoga tak berani menyentuh lumut menyala hijau itu, karena takut lumut itu beracun menyusuri lorong itu terhenti, karena ia tiba di persimpangan. Ada tiga lorong yang bisa ditempuhnya, satu lorong berpenerangan cahaya hijau, yaitu yang dilewatinya tadi, satu lorong sebelah kanannya dalam keadaan gelap, sedangkan lorong sebelah kirinya mempunyai cahaya merah. Yoga memandangi lorong itu dan berkata dalam hatinya, "Sepertinya ada cahaya api di sana! Mungkinkah ada orang di dalam lorong bercahaya merah api itu?!"Tiba-tiba dari lorong yang gelap itu, Yoga melihat sekelebat sinar putih perak melesat ke arahnya. Cepat-cepat Yoga melompat untuk menghindarinya, tapi sinar putih perak itu ternyata membelok arah dan memburu-nya. Buuhg...! Sinar putih perak itu menghantam punggung Yoga bagai sebuah tendangan kaki kuda yang beratnya tiga kali lipat tenaga kuda."Uuhg...!" Yoga mengerang dan sulit bernapas, akhirnya ia jatuh pingsan lagi dalam keadaan terpuruk di lantai KETIKA Pendekar Rajawali Merah itu sadarkan diri, tahu-tahu ia sudah berada di ruangan besar berpenerangan nyala api obor. Jumlah obornya yang mengelilingi dinding tak rata itu lebih dari sepuluh dan dalam keadaan besar. Anehnya, nyala api itu tidak menimbulkan asap hitam yang membuat hangus bagian atas di mana obor itu diletakkan. Jelas obor itu menggunakan jenis bahan bakar bukan dari minyak tanah, mungkin dari sari minyak ikan yang dapat menimbulkan api tanpa asap hangus yang membekas di sungguh merasa heran melihat keadaannya sendiri. la berada di sebuah pembaringan yang terbuat dari susunan batu dan mempunyai tikar dari lumut-lumut kering yang dirakit sedemikian rupa. Bahkan barang-barang di sekitarnya pun mengingatkan Yoga pada cerita zaman purba, di mana segalanya serba alami. Batang-batang obor itu pun terbuat dari tulang ikan besar, mungkin bagian tulang punggung ikan. Batu-batuan jenis karang yang sudah dihaluskan tersusun rapi di sana-sini, membentuk semacam meja atau kursi tempat duduk. Tetapi anehnya ruangan berpenerangan api obor itu mengabarkan bau wangi, bukan bau amis. Bau wangi itu seperti bau cendana yang ada di sarung pedangnya. Mungkinkah bau harum cendana dari sarung pedang Yoga dapat mengabar memenuhi ruangan besar itu?"Siapa penghuni ruangan besar ini?! Hmmm.. Kurasa aku masih berada dl gua bawah laut! Dinding-dindingnya bertonjolan, Itu menandakan dinding gua yang tak berlumut hijau seperti lorong yang kulewati tadi..Lalu, siapa yang membawaku kemari? Siapa yang menyerangku di persimpangan lorong tadi? Mungkinkah makhluk peri dasar laut yang menawanku di ruangan besar ini?"Yoga memeriksa pedangnya, ternyata sudah terlepas dari punggung dan berada di samping pembaringan. Dalam hatinya Yoga berkata lagi"Kurasa siapa pun yang membawaku ke ruangan ini, dia bukan bermaksud jahat padaku! Terbukti dia tinggalkan pedang pusaka ini di sampingku! Kalau dia bermaksud jahat, pasti dia akan menyembunyikan pedang ini, atau... atau dia tidak tahu benda apa yang ada di punggungku tadi? Mungkin dia tidak mengenal pedang. Tapi... hei?! Lenganku telah dibalutnya! Oh, mungkin tadi lenganku terluka saat mendaki lorong dari dasar laut. Aku tak sadar kalau lengan kiriku terluka dan... dan sekarang telah dibalut dengan kain! Hmmm... kain ini sepertinya kain jenis sutera lama. Oh, ada rempah-rempah yang digunakan sebagai pengering luka?! Siapa yang telah membalut lukaku ini sebenarnya? Mengapa ruangan lebar ini sepi-sepi saja?!"Ada lorong yang membelok ke arah kanan di ujung sana. Ada juga lorong yang lurus dan berkeadaan remang-remang. Yoga memperhatikan kedua lorong tersebut dengan keragu-raguan. la ingin melangkah menyusuri lorong yang remang-remang, tapi takut ada jebakan yang mematikan di sana. Ia ingin menyusuri lorong yang membelok ke kanan itu, tapi seingatnya lorong Itulah yang menjadi tempatnya pingsan akibat serangan orang tak diketahui wujudnya Itu. Jangan-jangan di lorong itu dia mengalami nasib serupa tadi?Pendekar Rajawali Merah itu akhirnya hanya duduk di tepi pembaringan, merenungi langkah yang harus diambilnya. Tapi beberapa saat kemudian, dari lorong yang membelok ke kanan itu muncul seraut wajah yang membuat Yoga terperangah dan tertegun beberapa saat Mulutnya ternganga sedikit, matanya melebar, gerakkannya mematung seketika. Jantungnya pun terasa berdetak lebih cepat dari biasanya. Lidah Yoga merasa kelu, hingga untuk mengucapkan sepatah kata pun sulit . sekali rasanya. la masih tetap ternganga ketika raut wajah itu datang mendekatinya wajah itu adalah seraut wajah cantik sekali. Serupa betul dengan wajahwajah para bidadari dari kayangan. Si cantik itu berpakaian merah jambu. la mempunyai rambut panjang sebatas punggung dengan bagian tengahnya disanggul memperkirakan usia si cantik itu antara dua puluh empat tahun, tiga tahun lebih tua darinya. Karena memang si cantik itu kelihatan lebih dewasa dari Yoga sendiri. Matanya yang bulat bening dengan sedikit poni di keningnya memang kelihatan mempermuda wajah cantiknya, tapi tidak bisa menyembunyikan kedewasaannya. Hidungnya yang mancung, bibirnya yang mirip sekuncup mawar segar, cahaya dari sorot matanya jika memandang, mengesankan sikap dewasa yang melebihi Yoga. Ditambah lagi dengan rambut yang disanggul tengah dengan dililit lempengan perak berukir, menampakkan sekali cara dandanannya yang cukup Pendekar Rajawali Merah tertarik pada pedang yang ada di genggaman tangan kanan perempuan itu. Pedang tersebut bersarung perak berukir, gagangnya putih, di ujung gagangnya ada hiasan dua kepala burung rajawali yang bertolak belakang. Makin berdebar saja hati Yoga melihat ciri-ciri pedang tersebut, sehingga ia pun bermaksud mengajukan pertanyaan, tapi sudah didahului oleh perempuan cantik itu."Siapa kau sebenarnya, sehingga kau menyandang pusaka Pedang Lidah Guntur?"Terkejut hati Yoga mendengar perempuan secantik bidadari itu menyebutkan nama pusaka pedangnya. Berkerutlah dahi Yoga dalam memandanginya. Setelah beberapa saat ia terbungkam heran, barulah ia memberikan jawaban dengan suaranya yang pelan dan lembut."Namaku Yoga Prawira; akulah Pendekar Rajawali Merah, murid dari Dewa Geledek!" Mata perempuan cantik itu matanya yang lentik itu merapat sejenak. Kemudian ia maju dua tindak hingga berjarak sekitar empat langkah dari tempat Yoga duduk."Kalau begitu dugaanku tadi tak salah," katanya. Dan Yoga buru-buru bertanya,"Kaukah yang bernama Dewi Langit Perak?!" Tapi perempuan cantik itu hanya diam menatap tak berkedip dengan sorot pandangan mata yang aneh, punya kesan dan makna tersendiri, yang hanya bisa dirasakan dl dalam hati Yoga. Kejap berikutnya perempuan itu berkata, ikutlah aku…!"Karena perempuan cantik itu bergerak melangkah, maka Yoga pun menuruti langkah kaki perempuan tersebut. Rupanya Yoga dibawanya ke lorong yang remang-remang itu. Dan langkah mereka berhenti di sebuah ruangan kecil yang penuh dengan nyala api kecil dari pelita yang terbuat dari tulang-tulang ikan. Api kecil itu mengitari sesosok kerangka yang mempunyai bagian masih utuh. Kerangka manusia itu terletak di atas selembar kain jubah warna merah jambu. Wujudnya tinggal tulang-belulang yang sudah kering tapi antara satu dan lainnya masih merekat utuh."Tulang-belulang siapa itu?" tanya Yoga."Guruku; Dewi Langit Perak!" "Oh...?!" Sekejap wajah Yogaterperanjat kaget dengan mata melebar memandangi kerangka manusia itu. Kemudian Yoga membungkukkan badan, memberi hormat kepada kerangka tersebut. Setelah itu mundur dua tindak, dan perempuan itu segera melangkah kembali ke tempat semula, Yoga mengikutinya dari samping kiri."Lima tahun yang lalu kami terdampar di gua ini!" kata perempuan cantik itu. Yoga masih belum mengajukan pertanyaan, karena ia sengaja membiarkan perempuan itu melanjutkan ceritanya sambil melangkah pelan-pelan menuju ruangan lebar yang terang benderang itu. "Lima tahun yang lalu, Guru menyelamatkan aku dari kejaran Malaikat Gelang Emas! Kami melarikan diri ke Lembar Pusar Bumi, yaitu sebuah tempat di dasar jurang yang amat dalam dan tak diketahui oleh siapa pun. Di Lembah Pusar Bumi itulah Guru menemukan ragaku. Aku dalam keadaan terluka parah. Pada waktu itu aku berusia tujuh tahun. Aku jatuh dari lereng jurang karena sengaja dibuang oleh sekelompok manusia yang membenci keluargaku, yang tak kutahu siapa mereka Itu. Dan sampai sekarang aku sudah lupa, siapa mereka dan siapa orangtuaku sebenarnya."Perempuan berbibir menggiurkan itu duduk di tepi pembaringan, sedangkan Yoga berdiri di depannya dengan pundak kiri bersandar pada dinding ruangan yang tidak runcing. Perempuan itu meneruskan kisahnya dengan sesekali menatap Yoga."Aku dididik dan dibesarkan oleh Guru di Lembah Pusar Bumi itu! Sampai aku dewasa, aku diizinkan untuk muncul di dunia persilatan, tapi harus menjauhi tokoh sesat yang berjuluk Malaikat Gelang Emas. Namun, pertemuan itu tak bisa dihindari lagi, aku dikejar-kejar oleh Malaikat Gelang Emas, karena ia mengincar pedang yang kubawa ini!" sambil perempuan itu menunjukkan pedang tersebut. Yoga menyahuti, "Pusaka Pedang Sukma Halilintar!" "Benar! Pada masa lalu, Guru terpisahdari Kakek Guru Dewa Geledek juga akibat mempertahankan pedang pusaka mereka. Tapi pedang ini jatuh ke laut, beberapa waktu kemudian berhasil ditemukan oleh Guru lagi, namun keadaan mereka sudah terpisah jauh dan saling tak mengetahui di mana tempat masing-masing berada. Aku pernah diajak berkeliling mencari Kakek Guru Dewa Geledek, tapi kami tak pernah menemukan beliau. Kabarnya pun tak pernah kami dengar.""Lantas bagaimana dengan pengejaran Malaikat Gelang Emas itu?""Aku lari ke Lembah Pusar Bumi, dan Malaikat Gelang Emas mencari tahu tempat persembunyian Guru. Maka sebelum Malaikat Gelang Emas menyerang, Guru mengajakku lari. Kami terbang dengan menunggang seekor burung Rajawali Putih dengan arah tujuan Gunung Menara Salju. Tapi di perjalanan, kami diserang oleh Malaikat Gelang Emas. Guru terluka, dan Rajawali Putih terhempas badai, sehingga kami berdua jatuh ke laut, tersedot pusaran arus yang akhirnya membawa kami ke gua ini. Guru dalam keadaan terluka parah. Aku berusaha mengobatinya sesuai petunjuk beliau, tapi jiwanya tak tertolong lagi. Guru hanya bertahan hidup tiga hari atau empat hari, aku tak pasti, dan setelah itu beliau wafat!".Wajah perempuan cantik itu tampak menahan duka yang hampir-hampir membuat air matanya meleleh. Yoga buru-buru melontarkan pertanyaan agar duka Itu tidak memeras air mata si perempuan cantik,"Mengapa kau tidak keluar dari gua Ini selama lima tahun?""Aku tidak punya jalan keluar! Jika aku harus keluar dari lorong dasar laut, kemungkinan selamat sangat tipis. Sebelum Guru wafat, beliau pernah bilang padaku, bahwa satu-satunya jalan untuk keluar dari gua ini adalah melewati lorong tembus yang bisa membawa kami ke lereng Gunung Menara Salju. Aku ditugaskan mencari lorong berbentuk persegi empat. Kutemukan lorong itu, tapi dalam keadaan tertutup batu kristal yang amat besar. Kucoba menggeser dan menghancurkannya, tapi tak berhasil sedikit pun. Kata Guru, batu kristal itu adalah Mata Iblis, yang sulit dihancurkan oleh benda pusaka apa pun.""Kelihatannya Guru Dewi Langit Perak tahu seluk-beluk gua ini?!""Menurut ceritanya, beliau semasa kecil pernah terperosok di sebuah sumur yang ada di lereng Gunung Menara Salju. Beliau masuk ke sumur tanpa dasar bersama pamannya yang kala itu mengajaknya berburu. Sumur itu ternyata adalah lorong yang tembus ke gua ini. Dan semasa itu, di gua ini hidup seekor ular naga bertanduk satu. Ular naga itu sangat ganas, dan akan menjadi busuk tubuhnya jika terkena air, sebab itu ia sering menunggu mangsanya yang terperosok ke dalam sumur tanpa dasar itu. Lalu, untuk menghindari kejaran ular naga tersebut, paman dari Guru Dewi Langit Perak menutup lorong persegi empat dengan kekuatan ilmunya yang mengkristal dan bernama Batu Mata Iblis. Sebuah lapisan batu yang bisa tembus pandang tapi tak bisa dihancurkan oleh siapa pun.""Lalu, pada saat kau masuk gua ini bersama Nyai Guru, apakah naga bertanduk satu itu masih ada?""Sudah tiada! Mungkin air laut meluap dan sampai menggenangi gua ini, sehingga naga itu mati. Hanya sisa kulitnya yang telah rapuh kami temukan menjadi lapisan karang yang ada di dekat rongga menuju ke laut itu."Yoga menarik napas panjang-panjang. Kemudian ia duduk di samping perempuan cantik itu, dan berkata,"Apa saja yang kau lakukan selama lima tahun di dalam gua ini?""Mempelajari kitab Rembulan Putih yang selalu dibawa Guru ke mana-mana itu. Kitab Rembulan Putih adalah rangkuman dari jurus-jurus yang dimiliki oleh Guru dan Kakek Guru; Dewa Geledek. Tapi sampai saat ini belum bisa kuselesaikan hingga tamat, karena aku masih belum tahu beberapa jurus yang dirahasiakan oleh Kakek Guru Dewa Geledek, dan jurus itu hanya ditulis namanya saja di dalam Kitab Rembulan Putih.""Jurus apa yang kau maksud?""Banyak. Antara lain; jurus 'Rajawali Membelah Matahari!’Yoga tersenyum dan berkata, "Aku menguasai jurus itu!""0, ya...?!" wajah perempuan cantik itu mulai berseri sedikit. 'Tapi apakah kau menguasai jurus 'Rajawali Membelah Bulan'?"Yoga menggelengkan kepala dan berkata, "Kurasa kau menguasainya, karena itu jurus ciptaan Nyai Guru Dewi Langit Perak!""Sangat menguasai," jawab perempuan cantik itu dengan senyum bangganya. Yoga menatapnya beberapa saat, hingga keduanya menjadi saling bungkam tapi saling beradu tatapan mata. Kejap berikutnya, perempuan itu memalingkan wajahnya, tak tahan menerima sesuatu yang mendebarkan hatinya. Sementara itu, Yoga segera bertanya,"Sekarang kita ditakdirkan untuk bertemu di gua Ini Tapi aku belum tahu siapa namamu?""Panggil saja aku; Lili, karena begitulah Guru memanggilku!""Lili...," gumam Yoga sambil merenung sesaat Perempuan cantik cepat berpaling menyangka dirinya di panggil. Mata mereka kembali saling bertemu, dan Yoga berkata,"Sebuah nama yang bagus, mudah diingat dan mudah melekat di hati!" senyum Yoga mekar kian tebar. Lili tersipu dan mengalihkan pandangannya ke arah lain. Tapi ia segera berpaling menatap Yoga kembali karena Yoga berkata, "Tidakkah kau ingin keluar daripenjara ini, Lili?!""Keinginan itu sudah menjadi karang di dalam hatiku, Yo. Aku sudah tidak punya keinginan keluar, karena aku tahu tak ada lagi jalan untuk menuju ke alam bebas, sebab batu kristal Mata Iblis itu tak bisa digempur dengan semua ilmu yang sudah kumiliki.""Mengapa tidak kau izinkan aku mencoba menggempur Batu Mata Iblis itu? Apakah kau sangsi dengan kedahsyatan Pedang Lidah Guntur ini?!""Kalau kau ingin mencobanya, aku tak keberatan mengantarmu ke lorong itu!"Maka, dengan tanpa ragu-ragu lagi, mereka berdua bergegas menuju lorong berbentuk persegi empat. Lorong itu semacam pintu gua yang sudah tertutup oleh lapisan kristal. Kristal tersebut dalam keadaan buram, mungkin karena sudah cukup lama tersekap lembab di sana. Kristal berbentuk bundar bagaikan bola besar yang mengganjal tepat di tengah pintu tersebut dulunya berwarna putih bening, tapi sekarang selain buram juga berwarna kehijau-hijauan."Gempurlah dia, jika berhasil, maka kita akan bisa lolos dari penjara alam ini!" kata Lili setelah beberapa saat Pendekar Rajawali Merah itu memperhatikan bola kristal tersebut."Mundurlah, akan kugunakan jurus 'Rajawali Lebur Jagat'...!" kata Yoga sambil mengatur jarak berdirinya. Sementara itu Lili pun berdebar-debar karena ia berharap dapat keluar dari tempat itu dengan berhasilnya Yoga memecahkan Batu Mata iblis sinar merah bening melesat dari telapak tangan Buuush...!Sinar merah bening itu padam saat membentur Batu Mata Iblis. Batu kristal itu masih tidak bergeming sedikit pun. Bahkan Yoga mencobanya, sampai tiga kali, tapi pukulan 'Rajawali Lebur Jagat' tidak berhasil membuat Batu Mata Iblis menjadi serbuk lembut seperti benda-benda lainnya yang terkena pukulan tersebut."Cakar Gerhana...!" seru Yoga, dan tangannya berkelebat bagaikan mencakar sesuatu, dari kelima jarinya keluar barisan sinar merah berkelok-kelok yang segera menghantam Batu Mata Iblis Zuuurrp...!Lima sinar merah itu hanya memercikkan bunga api dan asap putih, untuk kemudian padam. Sedangkan Batu Mata Iblis masih tetap kokoh dan tak tergores sedikit pun. Padahal biasanya jurus 'Cakar Gerhana’ itu bisa membuat benda apa pun rontok dan menjadi butiranbutiran sebesar kacang hijau."Luar biasa kekuatan Batu Mata Iblis ini!" gumam Yoga, dan ia melirik Lili, ternyata perempuan cantik itu sedang menertawakan dirinya sambil menyembunyikan senyum. Yoga menjadi semakin penasaran dan ingin menutupi rasa malu akibat kegagalannya. Sejenak ia mendengar Lili berkata,"Kekuatan sejenis itu sudah kupakai beberapa kali tapi tak ada yang bisa membuatnya hancur!""Baiklah! Agaknya Batu Mata Iblis Ini salah satu lawan yang tangguh dan luar biasa saktinya! Tapi belum tentu ia mampu menahan pedang pusakaku; Lidah Guntur...!"Srrrt...! Yoga mencabut Pedang Lidah Guntur. Bumi terasa berguncang sejenak. Di luar gua terjadi satu ledakan petit yang menggelegar, namun tak didengar oleh Yoga dan Lili. Pedang Lidah Guntur menyala merah pijar, membuat mata Lilt sempat memandang penuh rasa kagum. Tapi rasa kagum itu hanya dipendamnya dalam segera menebaskan pedangnya kesamping, wuuuttt...! Dan melesatlah cahaya itu yang menghantam batu tersebut. Tapi keadaannya masih sama saja. Batu Mata Iblis tidak bergeming dan tergores sedikit pun tidak. Padahal nyala sinar merah akibat kibasan pedang tadi biasanya bisa merobek pohon sebesar apa pun, bisa merobek batu setangguh apa pun, lebihlebih tubuh manusia, bisa hancur tercabik-cabik oleh sinar merah tersebut. Setelah Yoga melakukan usaha penggempuran Batu Mata Iblis beberapa kali, baik dengan keampuhan pedangnya maupun tenaga dalamnya, dan masih tidak membawa hasil apa-apa kecuali lelah, maka Lili segera mencabut pedangnya yang bernama Pedang Sukma Halilintar. Sent...! Ggrrr...! Tanah gemuruh, bumi bagai dilanda gempa sepintas. Di luar sana, guntur menggelegar tak didengar oleh mereka. Hal itu membuat mata Yoga terkesiap dan tertegun beberapa saat. la memandangi pedang Lili yang menyala pilar putih warna perak sedikit kebiru-biruan. Sama membaranya dengan Pedang Lidah ingat cerita mendiang gurunya tentang Pedang Sukma Halilintar itu yang konon bisa keluarkan sinar putih perak untuk menjerat lawan dan susah lepas. Pedang itu jika melukai lawan bisa keluarkan asap putih dan luka menjadi hitam, tapi darah lawan menjadi putih seperti getah pohon, sukar diselamatkan lagi nyawanya. Bahkan pedang itu pun menurut cerita mendiang guru Yoga, dapat mengeluarkan hawa panas yang mampu melelehkan baja. Jika ternyata Lili selama ini tak sanggup menghancurkan Batu Mata Iblis, maka itu pertanda batu tersebut melebihi baja kerasnya, mungkin seratus kali lipat dari kekerasan logam baja."Yo, kita gabungkan kekuatan pusaka kita masing-masing, siapa tahu bisa meleburkan Batu Mata Iblis!" kata Lili."Baik! Bersiaplah. '""Hiaaat...!" Lili menebaskan pedang dengan gerakan singkat namun tepat. Pedangnya disentakkan ke depan dan keluarlah sinar putih terang, sedangkan pedang Yoga mengeluarkan sinar merah. Kedua sinar putih merah itu menghantam Batu Mata Iblis, tapi batu tersebut tetap tidak tergores seujung kuku pun. "Hiaatt..,!""Jodoh Rajawali!” teriak Yoga sambil mengibaskan pedangnya dan membentur pedang Lili hingga membentuk silang. Trangng...! Dari persilangan kedua pedang itu keluarlah sinar ungu yang melesat cepat dan tak terputus sedikit pun. Sinar ungu itu menghantam Batu Mata Iblis tepat di bagian pertengahannya. Blarrr...! Glegaarrr...!Kedua tubuh pendekar rajawali itu terpelanting dan terpental ke belakang. Batu Mata Iblis pecah dan semburkan serpihannya. Bahkan pintu lorong berbentuk persegi empat itu pun hancur dalam keadaan tak berbentuk lagi. Seluruh gua dan lorong yang ada di situ bergemuruh, berguncang-guncang, langit gua rontok beberapa bagian, namun tak sempat membuatnya rubuh."Kita berhasil, Yo...!" seru Lili dengan wajah sangat kegirangan."Ternyata perpaduan jurus 'Jodoh Rajawali' kita menghasilkan kekuatan yang maha dahsyat, Lili!""Benar! Selama lima tahun aku merindukan hancurnya Batu Mata Iblis itu, tapi baru sekarang terjadi nyata apa yang kuimpi-impikan selama ini! Oh, senangnya hatiku, Yoga! Kau telah membebaskan aku dari penjara abadi ini!" tanpa sadar, karena perasaan girang yang meluap tak terkendalikan, Lili memeluk Yoga dan tertawa-tawa berburai air mata. "Lili, sebaiknya kita cepat susuri lorong itu dan kau perlu selekasnya menghirup udara segar di luar gua ini!""Ya, ya...! Aku setuju," jawab Lili dengan penuh semangat. Maka, mereka pun segera menyusuri lorong dari sumur yang dikabarkan sebagai sumur tanpa dasar itu. Dalam beberapa waktu kemudian, ternyata mereka muncul juga di permukaan bumi lewat sebuah lubang yang ada di lereng Gunung Menara Salju tentu kegirangan Lili menjadi semakin berkepanjangan. Ia merasa telah bebas dari penjaranya selama lima tahun hidup dalam kesendirian dan kesunyian. Kemunculan Yoga merupakan kebebasan bagi Lili, dan karenanya Lili sesekali mengucapkan terima kasih atas pertolongan Yoga yang dianggapnya sebagai dewa penolong. Tapi Yoga berkata,"Bukankah aku sendiri terperosok masuk dalam penjara abadi Itu? Kalau tak ada pedangmu, aku pun tak mampu pecahkan Batu Mata Iblis Itu. Jadi bukan aku yang menolongmu, melainkan kita sama-sama berhasil mengalahkan kekuatan dahsyat dari Batu Mata Iblis tersebut! Perpaduan jurus 'Jodoh Rajawali' kita itulah yang bisa kalahkan kekuatan apa pun juga!""Oh, ya... kurasa memang begitu! Eh, hmm... tapi, aku rindu sama si Putih! Ke mana aku harus mencari si Putin?!" "Cobalah kau panggil dengan caramu sendiri, barangkali burung Rajawali Putihmu itu ada di sekitar gunung ini!"Kemudian, Lili pun memasukkan dua jarinya ke mulut dan meniupnya panjangpanjang, "Siiiuuuttt...! Siiiuuuttt...! Siiuuuttt...!"Yoga sendiri juga meniup jarinya, "Suiitt...! Suiittt...!"Kepala mereka mendongak memandang langit, mencari-cari benda bergerak di angkasa. Beberapa saat terlihat burung Rajawali Merah datang dari arah timur. Gerakannya begitu gesit menuju ke arah suara yang memanggilnya."Hal, itu Rajawali Merah! Kaukah pemiliknya?!" tanya Lili."Ya! Dan... dan lihat ke barat! Bukankah di sana seperti ada sesuatu yang sedang bergerak kemari?!""Oh, ya...! Benar. Itu dia si Putih... Lalu, Lili pun meniup jarinya lagi panjang-panjang. "Siiuuut...! Siiuuut...!" Irama dan nadanya hampir sama dengan suitan memanggil Rajawali Merah, tapi sebenarnya punya perbedaan tersendiri."Kraaahg...! Kraahg...!" terdengar jeritan Rajawali Merah dari timur. Suara itu bagaikan disahut dari arah barat."Kreeaahg...! Kreeeaaahg...!" Lalu kedua burung itu bersahutan dan tak jadi menukik ke arah dua pendekar rajawali itu. Kedua burung itu saling melintas di udara, berputar-putar sambil jejeritan. Seakan keduanya saling melepas rindu setelah tiga puluh tahun tidak saling jumpa. Sedangkan Lili dan Yoga yang memandangnya dari bawah sama-sama tertawa geli melihat kedua burung itu saling melepas rindu di udara, saling cakar, saling mematuk, saling kejar, dan pada akhirnya si jantan yang berwarna merah lebih dulu menukik ke bumi, si putih yang betina pun mendadak kedua pendekar berkendaraan burung rajawali itu samasama melompat dan bersalto terpisah, karena sekelebat sinar merah bagai piringan baja itu menghantam ke arah mereka. Wuuttt...! Sinar merah lebar itu berhasil dihindari, dan akibatnya sinar merah tersebut menghantam satu pohon, tetapi tiga pohon di belakangnya ikut tumbang dan hancur. Blarrr...! Wuuurrrsss...!Yoga berseru, "seseorang telah menyerang kita, Lili!"“Ya. Aku hafal dengan jenis serangannya! Sinar merah itu milik Malaikat Gelang Emas!""Kulihat gerakan berkelebat ke arah selatan! Aku mengejarnya!"Wuuttt...! Yoga berlari lebih dulu, sedang Lili tersentak cemas. la pun segera berseru,"Yooo...! Tunggu!" dan Lili cepatcepat berlari menyusul Yoga. Sementara itu, dua ekor burung rajawali besar berwarna merah dan putih segera terbang mengikuti kedua pendekar itu dari penyerangnya Malaikat Gelang Emas? Mampukah mereka mengalahkan tokoh sesat yang sangat sakti itu? Lalu, bagaimanakah petualangan 'Jodoh Rajawali’ selanjutnya?SELESAI
cerita silat manusia setengah dewa eps 1