samsungg9 for mac; job description property manager; uncharted geforce now windows pulling away from house; ios push notification websocket rv ac not working on shore power adidas molded baseball cleats. how to fix burning oil discord ApiDi Bukit Menoreh Versi Flam Zahra Sebenarnyalah, dalam hati Nyi Dwani sangat menyesal, mengapa ia dulu tidak menganggap sungguh-sungguh tentang gegayuhan Ki Ageng Singa Wisesa tersebut. Apidi Bukit Menoreh 92 By admin • Nov 24th, 2008 • Category: 1. Silat Jawa, SHM - Api dibukit Menoreh [1] Kawan-kawannya tidak menyahut. Mereka hanya mengangguk-anggukkan kepala mereka sambil melecut kuda-kuda mereka.Ternyata orang-orang yang tidak dikenal, yang berusaha mengejar mereka pun berpacu semakin cepat pula. Mereka masih saja Apidi Bukit Menoreh I dan II (jilid 1-200) di Tokopedia ∙ Promo Pengguna Baru ∙ Cicilan 0% ∙ Kurir Instan. Beli Api di Bukit Menoreh I dan II (jilid 1-200) di Boekoe Djakarta. Promo khusus pengguna baru di aplikasi Tokopedia! Download Tokopedia App. Tentang Tokopedia Mitra Tokopedia Mulai APIDI BUKIT MENOREH. 615 likes · 8 talking about this. Karya: S.H Mintardja Cerita tentang petualangan Agung Sedayu. Cerita Silat lainnya kunjungi apa manfaat dari perencanaan usaha budidaya unggas petelur. Bagian 2 “Anjani?” Sekar Mirah menjadi semakin heran. Dipandangi-nya seraut wajah yang masih muda dan segar itu tanpa berkedip. Jauh di lubuk hatinya, telah terasa getar-getar yang tidak wajar seiring dengan sikap Anjani yang penuh dengan tanda tanya. “Mbokayu,” akhirnya keluar juga sepatah kata dari bibir merah jambu itu dengan sendat. Dengan sedikit menengadahkan wajahnya, sekuat tenaga Anjani mencoba untuk menahan air matanya agar tidak jatuh membasahi pipi. Sementara kedua tangannya tampak meremas-remas ujung bajunya sekedar untuk menahan gejolak di dalam dadanya. “Ada apa Anjani?” dengan sareh Sekar Mirah mencoba menenangkan hati Anjani. Dengan lembut dibelainya rambut Anjani yang hitam dan indah berombak. Lanjutnya kemudian, “Katakan lah. Jangan ragu-ragu. Engkau telah aku anggap sebagai bagian dari keluargaku. Persoalanmu adalah persoalanku juga. Dengan segala keterbatasan kemampuan yang ada pada diriku, aku akan selalu siap di sisimu untuk membantumu.” Kata-kata Sekar Mirah itu justru bagaikan sebuah bindi terbuat dari besi baja yang menghantam belanga yang penuh berisi air. Akibatnya adalah sangat dahsyat. Belanga itu pun hancur berkeping-keping disertai dengan tertumpahnya air yang berada di dalamnya. “Mbokayu..!” diawali dengan sebuah jeritan kecil, Anjani ternyata telah menjatuhkan diri di hadapan Sekar Mirah. Diantara sedu-sedan yang tertahan-tahan, dipeluknya erat-erat kedua kaki Sekar Mirah sambil melanjutkan kata-katanya, “Silahkan mbokayu membunuhku sekalipun aku ikhlas, sebagai jalan menebus dosa-dosaku selama ini kepada keluarga mbokayu.” “Anjani!” seru Sekar Mirah sedikit agak keras sambil mengguncang-guncang pundak Anjani yang berlutut di hadapannya, “Apakah engkau sadar dengan kata-katamu itu? Untuk apa aku membunuhmu? Justru engkau telah menyelamatkan keluargaku sebanyak dua kali dan untuk semua itu aku belum sempat membalas kebaikan budimu.” Anjani menggeleng-gelengkan kepalanya sambil semakin erat memeluk kedua kaki Sekar Mirah. Dengan sekuat tenaga dicobanya untuk menahan tangis yang terasa bergumpal-gumpal dan berdesak-desakkan ingin keluar dari tenggorokannya. Namun semua itu justru telah membuat tubuhnya semakin terguncang-guncang dan nafasnya tersengal-sengal. Sejenak Sekar Mirah termenung melihat keadaan Anjani. Berbagai tanggapan telah bergejolak di dalam dadanya. Untuk beberapa saat dibiarkan saja Anjani dalam keadaannya walaupun ada sedikit kekawatiran tangis Anjani yang tertahan-tahan itu akan dapat membangunkan Bagus Sadewa, atau bahkan mungkin sampai terdengar oleh orang-orang yang berada di luar bilik. “Apakah sebenarnya yang telah terjadi?” pertanyaan itu telah menggelitik hati Sekar Mirah, “Mengapa Anjani merasa telah berbuat kesalahan terhadap keluargaku? Padahal aku baru saja mengenalnya, bagaimana mungkin hal itu bisa terjadi?” Masih terbayang dengan jelas di rongga matanya. Bagaimana Anjani dengan tandang yang sigap dan cekatan serta ilmu yang mumpuni berhasil melumpuhkan lawannya. Seandainya saat itu Anjani tidak muncul dan menolong mereka, tentu Bagus Sadewa telah berhasil mereka culik dan dijadikan sandera untuk melumpuhkan semangat juang Ki Rangga Agung Sedayu dalam berperang melawan pasukan Panembahan Cahya Warastra. Sedangkan dia sendiri dan Damarpati tentu juga akan mengalami nasib yang sangat jelek. Jika tidak dibunuh, kemungkinan juga akan dijadikan sebagai tawanan. Tiba-tiba saja Sekar Mirah telah dikejutkan oleh angan-angannya sendiri. Jika saja saat itu ada petir yang menyambar di atas kepalanya, dia tidak akan sekaget itu. Ketika terlintas di dalam benaknya, seseorang yang selama ini sangat dicintai dan dikaguminya sebagai suami dan ayah dari anaknya, jantung Sekar Mirah pun bagaikan tersentuh bara api dari tempurung kelapa. Siapa lagi yang dimaksud oleh Anjani jika bukan suaminya, Ki Rangga Agung Sedayu. Menyadari kemungkinan itu lah yang bisa saja terjadi, darah di sekujur tubuh Sekar Mirah pun bagaikan mendidih. “Anjani..!” geram Sekar Mirah kemudian dengan suara gemetar dan nafas yang memburu. Kedua bola matanya yang memerah darah itu dengan nanar memandang wajah Anjani yang menunduk. Sambil mencengkeram kedua pundak Anjani, Sekar Mirah pun kemudian melanjutkan kata-katanya, “Apakah yang engkau maksudkan itu, suamiku? Ki Rangga Agung Sedayu, he?” Mendapat pertanyaan seperti itu, justru Anjani semakin erat memeluk kedua kaki Sekar Mirah. Tangisnya pun telah pecah tanpa dapat dikendalikannya lagi. Ketika Agung Sedayu yang dikenalnya sebagai adik Untara itu ternyata telah menunjukkan kedahsyatannya dalam lomba memanah dan mampu mengalahkan Sidanti, perhatian gadis Sangkal Putung itu pun kemudian berbalik kepada anak muda yang luruh dan rendah hati itu. Jiwa Sekar Mirah yang meledak-ledak dan selalu haus akan tantangan dan pengeram-eram, ternyata telah tunduk dan kagum akan kesederhanaan dan keluhuran budi putra kedua Ki Sadewa itu. Agung Sedayu yang mendapat kesempatan untuk melepaskan anak panah terakhirnya, ternyata lebih memilih memanah burung yang sedang terbang di angkasa dari pada tubuh Sidanti sendiri. Namun kekaguman Sekar Mirah itu tetap disertai dengan angan-angan bahwa suatu saat sifat anak muda yang dikagumi itu akan berubah menjadi laki-laki sebagaimana yang selalu ada dalam angan-angannya, laki-laki yang mengejar masa depannya dengan penuh semangat, yang siap mengurbankan apa saja demi mencapai cita-citanya. Bukan laki-laki yang hanya pasrah akan nasib dan nrimo ing pandum. Namun semua itu perlahan mulai berubah sejak dia menuntut ilmu olah kanuragan dan jaya kasantikan kepada Ki Sumangkar, adik seperguruan Ki Patih Mantahun. Dengan sangat telaten gurunya mulai membekali kawruh tentang kehidupan yang berhubungan dengan bebrayan agung. Hubungan timbal balik antara sesama manusia dan dengan Sang Pencipta. Terlebih lagi adalah kewajiban pokok yang harus dilaksanakan oleh seorang hamba kepada Tuhannya sebagai wujud rasa syukur atas karuniaNYA yang telah menciptakan alam semesta ini beserta seluruh isinya. Ketika gadis Sangkal Putung itu pada akhirnya dipersunting oleh Agung Sedayu, adik Senapati Untara yang berkedudukan di Jati Anom, Ki Sumangkar yang telah mendahului menghadap Sang Pencipta setelah peristiwa di lembah antara Merapi dan Merbabu, masih belum mampu menekan sifat-sifat itu sampai ke dasarnya. Perbedaan pandangan hidup yang lebih mengedepan-kan gelimang harta dan kemewahan bagi Sekar Mirah selalu menjadi perdebatan yang tak berujung pangkal dalam keluarga baru itu. Namun seiring dengan berlalunya waktu, kesabaran, ketekunan dan tentu saja keteladanan dalam kebersahajaan hidup yang dicontohkan oleh suaminya lambat laun telah mempengaruhi pandangan hidupnya. Namun kini apa yang sedang terjadi ternyata telah menyinggung harga dirinya sebagai seorang istri dan mengungkap kembali sifat-sifat aslinya yang telah terpendam sekian lama. Justru disaat keluarganya sedang menyambut kebahagiaan atas hadirnya buah hati yang telah mereka dambakan selama bertahun-tahun, seorang perempuan lain telah hadir dalam kehidupan suaminya. Penalaran Sekar Mirah pun menjadi goncang dan buram. Wataknya yang keras dan tidak mau tersaingi oleh orang lain telah muncul kembali. Demikianlah akhirnya, dengan mengerahkan tenaga cadangannya, Sekar Mirah ternyata telah berusaha untuk melepaskan kedua kakinya dari pelukan Anjani. Yang terjadi kemudian adalah diluar dugaan Anjani. Tubuhnya terlempar dan menabrak dinding bilik yang terbuat dari papan kayu jati yang tebal. Papan kayu jati itu memang tidak sampai pecah berantakan. Hanya suaranya saja yang terdengar berderak-derak memecah keheningan malam. “Mbokayu..?!” jerit Anjani terkejut bukan alang kepalang sambil mencoba merangkak bangun. Namun alangkah terkejutnya Anjani, begitu dia mendongakkan wajahnya, Sekar Mirah telah berdiri hanya selangkah di hadapannya. Di tangan kanan perempuan itu telah tergenggam sebuah senjata yang mengerikan, senjata ciri khas sebuah perguruan di jaman Demak lama. Perguruan yang namanya sangat dikenal di negeri ini dari ujung sampai ke ujung, perguruan Kedung Jati. “Mbokayu..?” kali ini terdengar lirih ucapan Anjani sambil perlahan bangkit berdiri. Tangisnya telah berhenti dengan sendirinya, berganti dengan keheranan yang luar biasa melihat perubahan sikap Sekar Mirah. “Anjani..!” terdengar berat dan dalam nada suara Sekar Mirah, “Kita adalah perempuan-perempuan yang memiliki kelebihan dibanding dengan perempuan kebanyakan. Aku tahu engkau adalah murid Resi Mayangkara yang keberadaannya dipercaya hanya sebagai dongeng belaka, tapi aku tidak takut. Pergilah ke sanggar. Tunggu aku di sana. Sebelum ayam berkokok untuk terakhir kalinya malam ini, persoalan diantara kita berdua harus sudah tuntas.” Berdesir dada Anjani. Tidak ada gunanya lagi baginya untuk memberi penjelasan apa yang sebenarnya telah terjadi antara dirinya dengan suami Sekar Mirah itu. Menilik dari wajah dan sorot mata Sekar Mirah, perempuan itu agaknya sudah benar-benar waringuten dibakar api cemburu yang telah menghanguskan jantungnya dan tidak dapat diajak bicara lagi, kecuali dengan mengadu liatnya kulit dan kerasnya tulang. Namun Anjani bukanlah anak kemarin sore yang menjadi silau dan gemetar melihat senjata mengerikan di tangan Sekar Mirah. Anjani pernah mengalami kehidupan yang kelam dalam asuhan kedua gurunya. Anjani dipaksa untuk tumbuh menjadi perempuan yang kasar dan liar serta mengesampingkan segala paugeran yang berlaku dalam kehidupan bebrayan agung, walaupun sebenarnya jauh di lubuk hatinya masih terpancar sinar pelita hati betapa pun lemahnya. Perkenalannya dengan Ki Ageng Sela Gilang atau Ki Singa Wana Sepuh guru Pangeran Ranapati telah banyak membantunya mengenal kehidupan bebrayan yang ternyata tidak hanya hitam dan kelam sebagaimana ajaran kedua gurunya. Di sela-sela kesibukan kedua gurunya menghadap pangeran Ranapati di Kadipaten Panaraga, Anjani selalu menyempatkan diri untuk bercengkerama dengan Ki Singa Wana Sepuh. Demikianlah ketika dia kemudian bertemu dengan Ki Rangga Agung Sedayu, seakan-akan dia telah mendapatkan sebuah isyarat bahwa Ki Rangga lah yang akan menjadi lantaran baginya untuk dapat terbebas dari kekejaman kedua gurunya. “Anjani..!” bentakan Sekar Mirah telah membuyarkan lamunan Anjani, “Sekarang juga, keluarlah dari bilik ini! Jika memang engkau terlalu pengecut untuk menerima tantanganku, sebaiknya engkau segera meninggalkan Menoreh dan jangan pernah menampakkan diri lagi!” Kembali sebuah desir tajam menggores jantung Anjani. Betapa pun Anjani telah merasa bersalah, namun dia bukanlah seekor cacing yang dengan sedemikian mudahnya untuk direndahkan. Harga dirinya pun terusik. “Mbokayu,” jawab Anjani kemudian dengan suara yang tenang dan mantap, “Terima kasih atas segala kebaikan hati mbokayu selama ini. Aku merasa terhormat menerima tantangan mbokayu untuk berperang tanding. Dengan senang hati aku terima tantangan ini, apapun alasannya aku sudah tidak peduli lagi. Betapapun hinanya diriku ini di hadapan mbokayu, akan tetapi harga diriku harus aku junjung tinggi. Aku tunggu mbokayu di sanggar.” Selesai berkata demikian, tanpa menunggu jawaban Sekar Mirah, Anjani dengan langkah tergesa-gesa segera berlalu dari tempat itu. Sepeninggal Anjani, untuk beberapa saat Sekar Mirah masih berdiri termangu-mangu di tengah-tengah bilik. Berbagai perasaan sedang bergejolak di dalam dadanya. Ada sedikit perasaan bimbang yang bergelayut di hatinya. Bukankah dia belum menanyakan permasalahan yang sebenarnya ini kepada suaminya? Sejauh manakah hubungan yang telah terjalin di antara mereka berdua selama ini? Ki Rangga Agung Sedayu selama ini dikenalnya sebagai seorang suami yang lurus dan jujur. Adakah telah terjadi perubahan di dalam diri suaminya itu? “Kemungkinan itu tetap ada, selama kita masih berujud manusia,” berkata Sekar Mirah dalam hati sambil menarik nafas dalam-dalam untuk mengendorkan gemuruh di dalam dadanya, “Manusia tidak pernah luput dari salah dan lupa.” Betapa kekecewaan dan kesedihan merajam jiwa dan raga Sekar Mirah, namun dia harus tetap tegar. Sebentar lagi dia akan menghadapi pertarungan antara hidup dan mati, dan dia masih ingin tetap hidup untuk melanjutkan cita-citanya. “Aku tidak boleh terbawa oleh penalaranku yang buram,” kembali Sekar Mirah berkata dalam hati sambil berjalan menuju ke pembaringan, “Jika aku terlalu menuruti perasaanku, dalam pertempuran nanti segala perhitungan dan pengetrapan ilmu-ilmu yang telah aku pelajari akan menjadi tumpang tindih dan dengan mudah akan terbaca oleh lawan.” Sejenak Sekar Mirah masih berdiri di tepi pembaringan sambil merenungi Bagus Sadewa yang tidur lelap. “Anak ini memang aneh,” desis Sekar Mirah dalam hati, “Seolah-olah dia tidak terpengaruh dengan keadaan sekelilingnya, jika memang itu tidak akan membahayakan dirinya. Namun jika keadaan berkembang lain, dia akan terbangun dan menangis keras-keras. Biasanya begitu mendengar suara gaduh, bayi-bayi akan terbangun dan menangis karena merasa terganggu. Agaknya panggraita anak ini sangat tajam melampaui anak-anak sebayanya..” Kembali Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Sambil duduk di tepi pembaringan, diletakkannya tongkat baja putih itu di samping Bagus Sadewa. Ketika dia kemudian membungkukkan badan untuk mencium pipi anaknya, tiba-tiba saja pendengarannya yang tajam telah menangkap langkah-langkah seseorang mendekati pintu bilik. Ketika Sekar Mirah kemudian berpaling, tampak Pandan Wangi sedang berdiri termangu-mangu di tengah-tengah pintu bilik. Hampir saja Sekar Mirah berlari dan menubruk Pandan Wangi untuk meluapkan segenap kegelisahannya. Namun ternyata Sekar Mirah telah mampu menguasai dirinya dengan sebaik-baiknya. Maka katanya kemudian sambil tersenyum ke arah Pandan Wangi, senyum yang setengah dipaksakan, “Marilah mbokayu. Mungkin ada sesuatu yang penting sehingga mbokayu memutuskan untuk kembali ke bilik ini.” Pandan Wangi tidak segera menjawab pertanyaan Sekar Mirah. Dipandangnya wajah adik suaminya itu dengan pandangan yang tajam, setajam ujung pedang bermata rangkap yang tergantung di sebelah menyebelah lambungnya. Betapa pun Sekar Mirah mencoba untuk menyembunyikan perasaan yang sedang bergejolak di dalam dadanya, namun Pandan Wangi yang telah kenyang makan asam garamnya kehidupan gonjang-ganjing di rumah tangganya sendiri itu tetap mampu menangkap kegalauan yang tersirat dalam seraut wajah adik iparnya itu. Dengan langkah perlahan Pandan Wangi berjalan memasuki bilik. Pandangan matanya tak lepas dari wajah Sekar Mirah yang menunduk dan berpura-pura sibuk membenahi selimut Bagus Sadewa. “Mirah,” desis Pandan Wangi perlahan sambil duduk di sebelah Sekar Mirah, “Aku tadi mendengar suara ribut-ribut dari dalam bilik ini,” Pandan Wangi berhenti sebentar untuk melihat kesan di wajah adik iparnya itu. Lanjutnya kemudian, “Aku juga mendengar dinding bilik ini berderak derak seakan mau runtuh. Apakah yang sebenarnya telah terjadi?” Untuk sejenak Sekar Mirah hanya berdiam diri. Dicobanya untuk menahan isak tangis yang tiba-tiba saja berdesak-desakan ingin keluar dari tenggorokannya. Sementara dari kedua sudut matanya perlahan menitik satu-satu air mata yang bening. “Mirah,” kembali Pandan wangi berkata lembut sambil menyentuh pundak adik iparnya, “Sedikit banyak aku telah mengetahui hubungan Anjani dengan Kakang Aging Sedayu.” Bagaikan disengat ribuan kalajengking, Sekar Mirah pun terkejut bukan alang kepalang. Sambil menegakkan punggungnya dan kening yang berkerut-merut, dia menantap tajam kearah wajah mbokayunya. Terdengar suaranya bergetar dan sedikit tersendat, “Mbokayu sudah mengetahui persoalan suamiku dengan Anjani? Bagaimana mungkin itu bisa terjadi?” Mendapat pertanyaan seperti itu, untuk beberapa saat Pandan Wangi justru terdiam. Namun Pandan Wangi segera dapat menguasai dirinya, maka jawabnya kemudian, “Kakang Agung Sedayu pernah bercerita tentang hubungannya dengan Anjani pada saat kami berada di tepian kali praga sebelum pecah perang antara pengikut Panembahan Cahya Warastra dengan pasukan Mataram yang dibantu oleh pasukan pengawal Tanah Peridkan Menoreh.” Kedua mata Sekar Mirah menunjukkan keheranan yang sangat. Dengan mengerutkan keningnya dalam-dalam dia kembali mengajukan pertanyaan, “Mengapa mbokayu selama ini tidak pernah bercerita kepadaku? Mengapa mbokayu? Apakah sebenarnya yang telah terjadi di antara kita selama ini? Bukankah kita ini sebuah keluarga besar yang saling membantu jika salah satu dari kita mendapatkan masalah? Mengapa justru mbokayu diam saja? Aku benar-benar tidak habis mengerti.” Selesai berkata demikian Sekar Mirah segera menundukkan wajahnya dalam-dalam sambil menahan perasaan yang kembali bergejolak di dalam hatinya. Dengan sekuat tenaga Sekar Mirah mencoba untuk tidak menangis. “Aku bukan perempuan cengeng,” geram Sekar Mirah mengeraskan hatinya, “Aku perempuan yang mempunyai kelebihan dibanding dengan perempuan kebanyakan. Perempuan kebanyakan hanya mampu merengek dan meratapi nasib yang jelek jika suami mereka berpaling kepada perempuan lain, namun aku tidak. Akan aku selesaikan permasalahan ini dengan caraku sendiri.” Berdesir jantung Pandan Wangi mendengar kata-kata Sekar Mirah. Walaupun ucapan itu seolah-olah ditujukan kepada diri sendiri, namun di sudut hati Pandan Wangi yang paling dalam, terasa sesuatu telah tergetar. “Aku memang perempuan cengeng,” keluh Pandan Wangi dalam hati, “Aku hanya dapat meratapi nasibku yang jelek ketika kakang Swandaru berpaling kepada perempuan lain,” Pandan Wangi menarik nafas panjang untuk melonggarkan dadanya yang tiba-tiba saja terasa sesak. Katanya kemudian, “Maafkan aku, Mirah. Sejujurnya aku memang menunggu waktu yang tepat. Namun bukan berarti aku mengulur waktu dengan suatu pamrih pribadi. Tidak, Mirah. Justru aku menunggu saat yang tepat sampai Kakang Agung Sedayu sudah benar-benar sembuh dari sakitnya. Aku akan mengingatkan kakang Agung Sedayu tentang masalah ini dan biarlah dia sendiri yang akan menjelaskan kepadamu duduk permasalahan yang sebenarnya telah terjadi antara Kakang Agung Sedayu dengan Anjani, agar tidak terjadi salah paham.” Sekar Mirah mengerutkan keningnya mendengar penjelasan Pandan Wangi. Sebuah desir tajam tiba-tiba menggores jantungnya. “Apa maksud mbokayu ini sebenarnya?” berkata Sekar Mirah dalam hati, “Mengapa mesti menunggu sampai kakang Agung Sedayu sembuh? Seharusnya dengan mendengar langsung permasalahan ini dari kakang Agung Sedayu, mbokayu Pandan Wangi berkewajiban menyampaikannya kepadaku. Bukan malah sebaliknya, seolah-olah mbokayu Pandan Wangi membiarkan saja masalah ini bergulir semakin besar.” Sejenak Sekar Mirah berhenti berangan-angan. Ketika tanpa sengaja sudut matanya tertumbuk pada sepasang pedang yang tergantung di lambung mbokayunya, tanpa sadar tangan Sekar Mirah tiba-tiba saja terjulur untuk meraih tongkat baja putihnya yang tergeletak di sisi Bagus Sadewa. “Mirah?” terkejut Pandan Wangi yang menyadari di tangan kanan Sekar Mirah telah tergenggam senjata kebanggaan perguruan Kedungjati. Dengan cepat putri satu-satunya Kepala Tanah Perdikan Menoreh itu pun segera mengajukan sebuah pertanyaan, “Apa yang akan engkau perbuat dengan tongkat baja putihmu itu, Mirah?” Sekar Mirah tidak segera menjawab. Dipandangi kakak iparnya itu dengan pandangan tajam dan wajah yang tegang. Ingatannya segera melayang ke masa berpuluh tahun yang silam. “Pertama kali aku berjumpa dengan mbokayu ini, aku sudah dapat menangkap perasaan apa yang sedang berkembang di hatinya terhadap kakang Agung Sedayu,” berkata Sekar Mirah dalam hati mengenang masa lalu. “Kehadiranku di Menoreh dan kenyataan yang telah terjadi antara aku dan kakang Agung Sedayu agaknya tidak meredupkan cinta mbokayu kepada kakang Agung Sedayu. Itu terbukti ketika keluarga mbokayu sedang mendapat cobaan. Ketika kakang Swandaru tergoda dengan perempuan lain, seharusnya orang pertama yang dijadikan tempat berkeluh kesah adalah ayahnya, Ki Argapati. Akan tetapi mengapa mbokayu justru telah berkunjung ke rumah kami terlebih dahulu, bukan ke rumahnya sendiri? Menyampaikan segala keluh kesahnya kepada kakang Agung Sedayu, bukan kepada ayahnya Ki Argapati?” “Bukankah kakang Agung Sedayu adalah saudara tua seperguruan kakang Swandaru dan sekaligus sebagai pengganti gurunya yang telah tiada?” jawab suara hatinya yang lain, “Sudah sewajarnya jika kejadian yang menyangkut kakang Swandaru harus dilaporkan kepada kakak seperguruannya.” “Tetapi bukankah kejadian itu tidak ada sangkut pautnya dengan paugeran atau pun wewaler sebuah perguruan? Mengapa mesti kepada kakang Agung Sedayu?” kembali suara hatinya yang lain menjawab. “Mungkin ada juga sangkut pautnya dengan paugeran atau wewaler dari perguruan orang bercambuk itu. Setiap perguruan tentu mempunyai paugeran atau wewaler yang khusus.” terdengar jawaban dari sudut hatinya yang dalam walaupun ada sedikit keraguan. Angan-angan Sekar Mirah tiba-tiba terputus ketika terdengar Pandan Wangi mengulangi pertanyaannya, “Untuk apa tongkat baja putih itu, Mirah?” Namun jawaban yang diterima Pandan Wangi justru sebuah pertanyaan yang membuat sekujur tubuhnya bagaikan disiram banyu sewindu sehingga membekukan seluruh aliran darahnya. “Mbokayu,” bertanya Sekar Mirah kemudian, “Untuk apakah mbokayu malam-malam begini memakai pakaian khusus lengkap dengan sepasang pedang di lambung?” Tersirap darah Pandan Wangi sampai ke ubun-ubun. Untuk beberapa saat kakak ipar Sekar Mirah itu bagaikan membeku. Ternyata pertanyaan Sekar Mirah itu telah membuat jantungnya bedegup semakin kencang. Namun akhirnya Pandan Wangi segera mampu menguasai diri. Jawabnya kemudian, “Mirah, aku tadi mendengar suara ribut-ribut dari arah bilikmu, dan juga suara dinding yang berderak-derak telah membuat aku harus waspada dengan apa yang sedang terjadi. Sungguh, Mirah. Aku tidak ada maksud apa-apa dengan pakaian khusus dan sepasang pedang ini. Aku hanya berjaga-jaga jika sesuatu berkembang semakin buruk, aku sudah siap.” “Apakah mbokayu sudah mengetahui atau setidaknya menduga apa yang akan terjadi antara aku dan Anjani?” kejar Sekar Mirah kemudian. “O, tidak tidak,” jawab Pandan Wangi dengan serta merta dengan raut wajah sedikit memerah, “Aku memang sempat menangkap kata-kata Anjani sebelum meninggalkan bilik ini yang ..” “Dan di pihak manakah mbokayu akan berdiri ..?” potong Sekar Mirah dengan cepat sambil memandang tajam ke arah mbokayunya. Seakan-akan ingin dijenguknya isi dada Pandan Wangi. Kali ini jantung Pandan Wangi benar-benar bagaikan tersulut bara api dari tempurung kelapa. Dia tidak menduga bahwa adik iparnya itu akan berpikir sampai sejauh itu dalam menanggapi dirinya yang telah siap dengan pakaian khususnya dan sepasang pedang di lambung. “Mirah,” berkata Pandan Wangi kemudian setelah gemuruh di dalam dadanya sedikit mereda, “Mengapa engkau begitu mudahnya berburuk sangka kepadaku? Apa salahnya jika memang aku mengenakan pakaian khusus ini? Seperti telah aku katakan sebelumnya, aku tidak tahu keadaan sebenarnya yang telah terjadi dalam bilik ini. Tidak ada salahnya jika aku berjaga-jaga dan selalu siap dalam menghadapi keadaan yang tidak menentu,” Pandan Wangi berhenti sebentar untuk membasahi kerongkongannya yang tiba-tiba saja bagaikan tercekik. Lanjutnya kemudian, “Dalam hal Anjani, aku tidak berhak mencampuri urusan keluargamu. Berbicaralah dengan kakang Agung Sedayu. Aku tahu suamimu adalah seorang laki-laki sejati yang selalu memegang janji.” Sekar Mirah mengerutkan keningnya dalam-dalam. Kedua sorot matanya memandang tajam ke arah Pandan Wangi seolah-olah ingin ditembusnya dada putri satu-satu Ki Gede Menoreh itu untuk melihat apa warna jantungnya. “Mbokayu,” terdengar lirih suara Sekar Mirah namun penuh dengan getaran perasaan, “Aku ingin mbokayu berkata jujur. Sebenarnya masih adakah rasa cinta mbokayu kepada kakang Agung Sedayu?” Jika ada petir yang menyambar sejengkal di atas kepalanya, Pandan Wangi tentu tidak akan sekaget mendengar pertanyaan dari adik iparnya itu. Untuk beberapa saat pandangan Pandan Wangi menjadi berkunang-kunang dan nafasnya pun bagaikan tersumbat. “Mbokayu..?” desis Sekar Mirah perlahan begitu melihat Pandan Wangi tiba-tiba saja mengeluh pendek sambil menunduk dan memegangi kepalanya dengan kedua belah tangannya. Namun Pandan Wangi adalah perempuan yang sudah terbiasa dengan kehidupan yang sarat dengan duka lara, walaupun dia pada kenyataannya adalah putri satu-satunya kepala Tanah Perdikan Menoreh. Hatinya telah ditempa untuk menderita sejak kanak-kanak. Sejak ibu yang mengandung dan melahirkannya pergi dari sisinya untuk selama-lamanya. Kemudian ketika dia menginjak remaja, Sidanti saudara laki-laki satu-satunya kemudian juga telah pergi untuk menuntut ilmu ke tempat yang jauh bersama gururnya. Kebahagian sebagai keluarga yang berkumpul kembali hampir saja diraihnya ketika kakaknya Sidanti dan gurunya datang ke Menoreh, walaupun kesan pertama atas pertemuan mereka itu dirasakannya agak janggal. Dan ternyata kedatangan Sidanti memang tidak untuk membawakan setangkai bunga mawar yang indah untuk adik satu-satunya itu. Yang dibawa adalah seonggok bara yang kemudian membara dan membakar seluruh tanah Perdikan Menoreh menjadi abu. “Mirah,” pelan Pandan Wangi berkata sambil mengangkat wajahnya. Wajah yang terlihat sangat letih dan kosong. Perempuan kelahiran Menoreh ini memang luar biasa. Segala perasaan dan tekanan yang sedahsyat apapun telah mampu diendapkan didasar hatinya, walaupun untuk semua itu dia harus mengabaikan perasaannya. Lanjutnya kemudian, “Itu semua adalah masa lalu. Mengapa mesti diungkap kembali? Biarlah menjadi kenangan manis atau pun pahit dalam kehidupan kita masing-masing. Yang ada di dalam kehidupanku sekarang adalah kakang Swandaru, betapapun dia telah berkali-kali menyakiti hatiku. Namun bagiku, kakang Swandaru adalah tetap sebagai suamiku dan ayah dari anakku.” Kalimat terakhir dari mbokayunya itu bagaikan seribu jarum yang menghujam ke jantung Sekar Mirah. Betapa dia tahu kakak iparnya itu di masa gadisnya pernah menaruh harapan kepada Gupita, seorang anak gembala yang ternyata bernama Agung Sedayu. Namun biduk cinta yang baru berlayar untuk pertama kalinya itu pun akhirnya harus pecah berkeping keping dan kemudian karam di kedalaman laut kehidupan yang tak terukur, setelah Pandan Wangi mengetahui hubungan yang telah terjalin antara Agung Sedayu dan Sekar Mirah. “Sudahlah Mirah,” berkata Pandan Wangi selanjutnya begitu melihat Sekar Mirah hanya diam membeku, “Aku tidak ingin memperkeruh suasana. Tidak ada niat sebiji sawi pun di dalam hatiku untuk membiarkan rumah tanggamu menjadi goyah. Lebih baik engkau tanyakan sendiri persoalan keluargamu ini nantinya langsung kepada suamimu, sehingga apa yang akan engkau dengar nanti benar-benar sesuai dengan kenyataan yang telah terjadi.” Sekar Mirah masih diam membisu, namun wajahnya sudah tidak setegang tadi. Tangan kanannya yang menggenggam tongkat baja putihnya tampak terkulai lemah di atas pembaringan. “Aku akan ke sanggar, menengok keadaan Anjani,” berkata Pandan Wangi selanjutnya sambil bangkit dari duduknya, “Aku tidak ingin kalian mengadu kerasnya tulang dan liatnya kulit hanya karena persoalan seorang laki-laki. Betapa pun hebat dan sempurnanya laki-laki yang kalian perebutkan itu, semua itu tidak sepadan dengan harkat dan martabat kita sebagai perempuan.” Selesai berkata demikian tanpa menunggu tanggapan Sekar Mirah, Pandan wangi pun segera melangkah menuju ke pintu bilik. “Mbokayu..,” tiba-tiba terdengar suara sendat Sekar Mirah ketika langkah Pandan Wangi hampir mencapai pintu bilik. Ketika Pandan Wangi kemudian memutar tubuhnya, tampak Sekar Mirah telah bangkit dari duduknya dan berdiri termangu-mangu di tepi pembaringan. Senjata andalannya yang nggegirisi itu tampak tergolek di tepi pembaringan. “Ada apa Mirah?” terdengar sareh suara Pandan Wangi. Sejenak Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Sambil memandang mbokayunya dengan sepasang mata yang basah, terdengar suaranya lirih dan sendat, “Terima kasih mbokayu dan maafkan atas keterlanjuranku.” Pandan Wangi tersenyum sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian sambil melangkah kembali menuju pintu bilik, “Renungkanlah terlebih dahulu apa yang akan engkau perbuat. Dengan nalar yang dingin dan hati yang pasrah, berdoalah kepada Yang Maha Agung agar engkau diberi petunjuk.” Sekar Mirah hanya dapat menganggukkan kepalanya ketika bayangan mbokayunya itu telah hilang di balik pintu. Sepeninggal Pandan Wangi, Sekar Mirah tampak menjadi sedikit ragu-ragu. Namun ketika terpandang olehnya tongkat baja putih berkepala tengkorak yang berwarna kekuning-kuningan itu, semangatnya seakan tumbuh lagi. “Apa boleh buat. Seperti mbokayu Pandan Wangi, aku pun harus siap menghadapi segala kemungkinan,” desis Sekar Mirah sambil berjalan menuju geledek dari kayu jati yang terletak di pojok bilik tempat pakaian khususnya tersimpan. Dalam pada itu, sebelum para peronda di gardu-gardu menabuh kentongan dengan nada dara muluk, rombongan Ki Tumenggung Purbarana telah mendekati tikungan Kaliasat. Beberapa saat yang lalu, dengan bantuan pengawal Sangkal Putung yang ikut di dalam rombongan itu, dengan mudah mereka telah melewati Kademangan yang subur itu tanpa hambatan sama sekali. Dengan seijin Ki Tumenggung Purbarana, pengawal yang berasal dari Sangkal Putung itu pun kemudian diperbolehkan untuk tinggal dan tidak ikut meneruskan perjalanan. “Mohon ijin Ki Tumenggung,” berkata salah satu Lurah prajurit yang menyertainya, “Apakah rombongan ini akan belok ke kiri menuju Hutan Macanan atau kah mengambil jalan lurus yang menuju padang rumput Lemah Cengkar sebelum memasuki Jati Anom?” Sejenak Ki Tumenggung mengerutkan keningnya. Jawabnya kemudian, “Menilik isyarat panah berapi yang kita lihat sebelum memasuki kademangan Sangkal Putung tadi, rombongan ini tentu sedang dalam pengamatan orang-orang yang sengaja akan membuat permasalahan dengan kita,” Ki Tumenggung berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Pasukan berkuda ini cukup banyak dan memerlukan medan yang luas jika memang akan terjadi pertempuran. Aku lebih cenderung memilih lewat padang rumput Lemah Cengkar. Di padang rumput yang luas itu, nanti kita akan melintas dalam gelar yang luas dan bergerak dengan kecepatan yang tinggi agar sulit untuk disergap.” Lurah prajurit itu mengangguk-anggukkan kepala. Dengan sebuah hentakan kecil pada perut kudanya, dia melaju ke depan untuk memberi aba-aba agar pasukan berkuda itu mengambil jalan lurus menuju Lemah Cengkar. Ketika pasukan berkuda itu kemudian berderap dengan kecepatan sedang meninggalkan tikungan Kaliasat dan menyusuri sebuah bulak kecil yang langsung menuju lemah Cengkar, mereka pun kembali dikejutkan oleh lontaran panah berapi ke udara tiga kali berturut-turut. Semua orang yang berada di dalam pasukan berkuda itu ternyata sudah tidak terkejut lagi. Justru isyarat itu telah membuat mereka segera mempersiapkan diri. “Begitu kita memasuki padang rumput lemah Cengkar, atur jarak kalian,” perintah Ki Tumenggung kepada Lurah prajurit pengapitnya, “Usahakan kalian jangan berjajar dalam satu garis lurus agar memudahkan untuk saling membantu jika sewaktu-waktu terjadi penyergapan. Kita akan bergerak dalam Gelar Glathik Neba.” Para prajurit yang berkuda di sekitar Ki Tumenggung menjadi berdebar-debar mendengar rencana Ki Tumenggung untuk menggunakan Gelar Glathik Neba selama melintasi padang rumput lemah Cengkar. “Sebuah gelar yang berbahaya,” hampir semua prajurit yang mendengar kata-kata Ki Tumenggung itu berkata dalam hati. Tak terkecuali Lurah pengapitnya tampak mengerutkan keningnya dalam-dalam. Katanya kemudian, “Mohon maaf Ki Tumenggung. Kita sedang membawa tawanan yang sangat penting dan perlu mendapat perlindungan. Apakah tidak sebaiknya kita menggunakan gelar Cakrabyuha?” Ki Tumenggung tersenyum sambil menjawab, “Engkau benar. Gelar Cakrabyuha memang bertujuan untuk melindungi seseorang atau sesuatu yang sangat penting di pusat gelar, sedangkan gelar Glathik Neba justru akan memberi kesempatan kepada lawan untuk menyusup sampai ke pusat gelar.” Lurah pengapit itu kembali mengerutkan keningnya. Dengan agak ragu-ragu dia kembali bertanya, “Bagaimana dengan keselamatan Pangeran Jayaraga, Ki Tumenggung?” Kembali Ki Tumenggung tersenyum, bahkan kali ini agak lebar. Jawabnya kemudian, “Bukankah Pangeran Jayaraga juga berpakaian seperti prajurit kebanyakan? Mungkin hanya orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati itu yang masih dapat mengenalinya dalam pakaian prajurit kebanyakan serta dalam keremangan malam.” “Apakah Ki Tumenggung memang dengan sengaja memancing orang yang mengaku trah Mataram itu untuk memasuki pusat gelar?” bertanya Lurah itu selanjutnya. “Ya,” jawab Ki Tumenggung cepat, “Aku memang sengaja ingin bertemu dengan orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati itu,” Ki Tumenggung berhenti sebentar. Lanjutnya kemudian, “Setelah orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati itu memasuki gelar, kita segera mengubah gelar menjadi Cakrabyuha.” “Mengapa tidak sekalian saja kita memakai gelar gedhong minep atau jurang grawah pada awal pertempuran sehingga kita tidak perlu mengubah gelar?” bertanya Lurah itu kemudian. Kembali Ki tumenggung tersenyum sambil berpaling ke arah Lurah pengapit yang berkuda di sampingnya, jawabnya kemudian, “Penggunaan gelar gedhong minep atau jurang grawah akan sangat mudah ditebak tujuannya oleh lawan. Mereka tidak akan dengan sukarela memasuki gelar dan terjebak di dalam pusat gelar. Mereka tentu akan menggunakan gelar yang lebar, garuda nglayang atau capit urang misalnya. Sehingga mereka tidak akan langsung menyerbu ke dalam pusat gelar. Sebagai gantinya mereka akan menggunakan kedua sayap atau capit gelar itu untuk menusuk dan menghancurkan dinding gelar gedhong minep atau jurang grawah dari kanan dan kiri. Setelah dinding gelar jebol, barulah mereka akan memasuki gelar dan sekaligus menghancurkannya.” Lurah pengapit itu tampak masih ragu-ragu. Tanyanya kemudian, “Perubahan gelar dalam sebuah pertempuran yang kisruh akan sangat sulit dan tidak jarang membawa korban. Apakah kita mampu melakukannya, Ki Tumenggung?” Senyum Ki Tumenggung semakin lebar menanggapi pertanyaan Lurah prajurit yang masih cukup muda itu. Jawabnya kemudian, “Kita tidak menunggu sampai pertempuran benar-benar pecah. Begitu orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati itu memasuki gelar, aku akan menyambutnya dan kalian segera bergerak membentuk gelar Cakrabyuha.” “Apakah para prajurit tidak akan mengalami kesulitan, Ki Tumenggung?” Ki Tumenggung tertawa pendek. Jawabnya kemudian, “Tentu saja tidak. Bukankah kita sudah sering melakukannya pada saat gladhen? Untuk itulah aku menyuruh kalian jangan sampai berjajar dalam satu garis lurus, sehingga pada saat perubahan gelar terjadi, kalian tinggal menyesuaikan dengan cara bergeser beberapa langkah untuk membentuk lingkaran yang berlapis-lapis.” Lurah pengapit itu tampak mengangguk-anggukkan kepalanya sambil menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, “Maaf Ki Tumenggung. Aku memang sering mengikuti gladhen itu, tapi itu sudah lama sekali terjadi sebelum aku dipindah tugaskan ke Pajang. Dua pekan sebelum keberangkatan pasukan Mataram ke Panaraga, aku diperbantukan ke Mataram dan bergabung dengan pasukan yang melawat ke Panaraga ini.” “O..,” desis Ki Tumenggung sambil mengangguk-angguk. Bertanya Ki Tumenggung kemudian, “Di manakah tempat tugasmu di Pajang?” “Di bagian Pelayan Dalam, Ki Tumenggung.” “O..,” kembali Ki Tumenggung mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian, “Itu tidak akan menjadi masalah yang berarti. Tugasmu dalam pasukan ini sebagai senapati pengapit. Engkau tinggal menyesuaikan diri karena engkau akan selalu berada di sampingku.” “Siapakah yang akan memberi aba-aba untuk pergantian gelar?” bertanya Lurah itu kemudian. “Lurah prajurit yang berada di depan dan belakang gelar yang akan menyampaikan setiap perintahku ke seluruh pasukan melalui prajurit penghubung.” Lurah prajurit pengapit itu mengangguk-anggukan kepalanya. Memang sudah sekian lama dia tidak ditugaskan di pasukan yang langsung berhubungan dengan medan perang. Namun pendidikan dasar yang pernah diperolehnya ketika dia mulai menapakkan kakinya di dunia keprajuritan tidak akan pernah hilang dari ingatannya. Tak terasa perjalanan mereka telah mencapai ujung bulak yang pendek itu. Sekarang di hadapan mereka telah terhampar sebuah padang rumput yang luas, padang rumput lemah cengkar. Hampir setiap dada bergetar melihat padang rumput yang luas itu di dalam keremangan malam. Pohon beringin raksasa yang tumbuh di tengah-tengah padang itu terlihat bagaikan seorang raksasa yang sedang berdiri menunggu setiap mangsa yang akan lewat. “Bagaimana kalau cerita tentang siluman harimau putih itu benar-benar ada?” tiba-tiba seorang prajurit yang bertubuh kurus berbisik ke prajurit yang berkuda di sampingnya. “Siluman harimau putih itu memang ada,” sahut kawannya juga dengan berbisik. “Omong kosong!” seru prajurit kurus itu tanpa sadar sehingga beberapa orang telah berpaling ke arah mereka. “Engkau tidak usah berteriak,” desis kawannya, “Ada atau pun tidak ada itu bukan urusan kita. Dengar! Ki Lurah sudah memberi aba-aba untuk membuka gelar.” Dalam pada itu, Lurah prajurit yang berada di depan pasukan telah memberi isyarat untuk membuka gelar, sebuah gelar yang menurut perhitungan nalar memang sangat berbahaya jika diperuntukkan mengawal seseorang yang sangat penting. Namun bukan berarti gelar Glathik neba bukan sebuah pilihan yang tepat dalam sebuah pertempuran. Gelar Glathik neba akan digunakan dengan sadar oleh seorang Panglima perang jika kemampuan setiap prajurit orang-perorang di atas rata-rata. Demikianlah, sejenak kemudian ketika gelar itu telah terbentuk secara utuh, kembali terengar isyarat untuk segera memacu kuda-kuda itu dalam kecepatan tinggi melintasi padang rumput. Namun baru saja pasukan itu mulai memacu kuda-kuda mereka beberapa langkah, terdengar teriakan yang menggelegar memecah kesunyian malam di lemah cengkar. “Berhenti..!” teriakan yang disertai dengan tenaga cadangan yang mumpuni itu ternyata telah menggoncang setiap dada. Kuda-kuda yang sudah mulai melaju itu pun kemudian dikekang dengan tiba-tiba. Beberapa ekor kuda tampak mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi sambil meringkik keras-keras. Untunglah para prajurit itu sudah terlatih menggendalikan kuda, sehingga dengan segera mereka mampu menguasai kuda-kuda itu tanpa kesulitan yang berarti. Ki Tumenggung yang belum sempat memacu kudanya kencang-kencang itu untuk sejenak mengerutkan keningnya dalam-dalam. Walaupun malam cukup gelap, namun pandangan matanya yang tajam melebihi orang kebanyakan segera tahu siapakah yang telah berteriak untuk menghentikan laju kuda-kuda itu. “Maaf Pangeran,” desis Ki Tumenggung kemudian sambil merapatkan kudanya di sisi kuda Pangeran Jayaraga, “Apakah ada suatu kepentingan yang mendesak sehingga Pangeran telah menghentikan laju kuda-kuda kami?” Pangeran Jayaraga tidak segera menjawab. Diedarkan pandangan matanya ke segenap sudut-sudut padang rumput Lemah Cengkar yang tampak sunyi namun mendebarkan. Jawabnya sejenak kemudian, “Engkau terlalu ceroboh dengan memerintahkan pasukanmu berpacu dengan kecepatan tinggi untuk melintasi padang rumput ini. Apakah engkau sudah yakin dengan siasatmu itu, Ki Tumenggung?” Kembali Ki Tumenggung mengerutkan keningnya. Betapapun hatinya sedikit kesal dengan pertanyaan itu, namun pertanyaan Pangeran Jayaraga itu pun kemudian dijawabnya juga, “Kita adalah sepasukan berkuda yang terlatih. Dengan menggunakan gelar Glathik Neba dan berpacu dalam kecepatan tinggi, lawan yang hanya berdiri di atas kedua kaki mereka, tidak akan mampu menahan gerak pasukan ini.” Pangeran Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, “Engkau melupakan sesuatu, Ki Tumenggung. Orang-orang itu akan menggunakan akal yang licik untuk menjebak pasukan ini. Mereka tidak akan merasa bersalah atau pun malu untuk menggunakan cara-cara licik dalam menghancurkan lawan,” Pangeran Jayaraga berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Apakah pernah terlintas dalam benakmu bahwa mereka mungkin saja telah menaruh jebakan di sela-sela rumput ilalang yang tumbuh hampir setinggi pinggang itu? Aku tadi sempat melihat gerakan yang mencurigakan di antara rumput-rumput ilalang jauh di depan sana. Agaknya mereka sedang menunggu kita dengan senjata terhunus. Begitu kuda-kuda kita terjatuh karena melanggar jebakan yang telah mereka buat, dengan mudahnya ujung-ujung pedang mereka akan menembus dada para prajurit Mataram yang sedang dalam keadaan tidak berdaya.” Berdesir dada Ki Tumenggung Purbarana mendengar penjelasan Pangeran Mataram itu. Dengan cepat dia menghentak kudanya maju ke depan. Ketika kuda Ki Tumenggung kemudian maju beberapa tombak ke depan, jantung Ki Tumenggung pun bagaikan meledak. Pandangannya yang tajam segera melihat apa yang dimaksud oleh Pangeran Jayaraga. Di antara rumput ilalang yang tumbuh rapat berjajar-jajar hampir setinggi pinggang, tampak tali-tali yang terjulur silang melintang yang diikatkan pada pathok-pathok kayu setinggi setengah lutut orang dewasa. “Gila! Licik! Pengecut!” geram Ki Tumenggung sambil membungkuk dan mengayunkan pedang dari atas punggung kudanya. Tali-tali yang melintang di hadapannya pun terbabat putus. Ketika dia kemudian mencoba menghela kudanya dengan perlahan maju beberapa langkah lagi, tali-tali yang terikat silang melintang pada pathok-pathok kayu itu pun tampak semakin tak terhitung jumlahnya dan tersebar hampir di seluruh medan yang akan mereka lewati. “Maju..!” teriak Ki Tumenggung tiba-tiba sambil mengangkat senjatanya tinggi-tinggi dan kemudian diputar dua kali di udara sebelum akhirnya senjata itu menunjuk lurus ke depan. Serentak pasukan berkuda itu pun bergerak maju dengan tertib dan teratur dalam gelar sapit urang. Dengan perlahan pasukan itu bergerak. Dengan tetap dari atas punggung kuda masing-masing, senjata para prajurit itu pun terayun-ayun menebas tali-tali yang silang menyilang di hadapan mereka. Dalam pada itu, di tengah-tengah padang rumput lemah cengkar, para pengikut Pangeran Ranapati tampak menunggu dengan gelisah. Mereka bersembunyi di antara lebatnya rumput ilalang yang tumbuh rapat berjajar-jajar hampir setinggi pinggang. Sudah sekian lama mereka menunggu sambil berjongkok bahkan ada yang bertiarap. Kegelisahan mereka semakin memuncak ketika mereka melihat dalam keremangan malam pasukan berkuda Mataram itu mulai bergerak memasuki padang rumput. Namun alangkah kecewanya para pengikut Pangeran Ranapati itu. Begitu pasukan berkuda itu mulai berpacu memasuki padang rumput, terdengar teriakan menggelegar memekakkan telinga yang menyuruh pasukan berkuda itu untuk berhenti. “Gila!” geram salah satu pengikut Pangeran Ranapati yang berkumis tebal, “Mengapa mereka berhenti justru pada saat kuda-kuda itu baru saja dipacu? Apakah mereka melihat tali-tali yang telah kita pasang?” “Tentu tidak,” jawab kawan di sebelahnya, “Kita telah memasang pathok-pathok kayu itu agak ke tengah agar tidak mudah untuk dilihat. Namun agaknya salah seorang dari mereka mempunyai panggraita yang sangat tajam sehingga telah mencegah kuda-kuda itu memasuki padang.” Orang berkumis tebal itu hanya dapat mengumpat berkali-kali. Dalam perhitungannya, alangkah mudahnya menghancurkan pasukan berkuda Mataram itu. Begitu kuda-kuda itu berjatuhan dan melemparkan penunggangnya jatuh bergulingan di atas rumput, dengan mudahnya senjata mereka akan menghabisi para prajurit yang sedang tidak berdaya itu. Namun pada kenyataannya seseorang telah mencegah pasukan berkuda itu memasuki padang rumput Lemah Cengkar. Dalam pada itu, Pangeran Ranapati yang berdiri di bawah naungan rimbunnya pohon beringin tua dan terpisah agak jauh dari para pengikutnya, ternyata mempunyai perhitungan yang sama. “Tentu Adimas Pangeran Jayaraga yang telah mencegah pasukan berkuda itu memasuki padang rumput,” geram Pangeran yang mengaku telah terbuang dari lingkungan istana semenjak kanak-kanak, “Seharusnya Adimas Jayaraga menyadari bahwa aku dan para pengikutku justru sedang berupaya untuk membebaskannya dari hukuman.” Namun ternyata Pangeran Jayaraga telah menyadari dosa-dosanya dan berupaya untuk meluruskan kembali jalan hidupnya dengan mengikuti paugeran yang berlaku. Baik paugeran dalam tata pemerintahan Mataram, maupun paugeran dalam kehidupan kesehariannya yang berhubungan dengan bebrayan agung. Untuk sejenak suasana sangat mencekam. Pasukan berkuda itu bergerak dengan derap perlahan namun pasti. Ketika pasukan itu sudah hampir mencapai tengah-tengah padang, agaknya Pangeran Ranapati sudah tidak dapat menunggu lagi. Sejenak kemudian terdengar suara burung kedasih yang ngelangut dan menggetarkan jantung tiga kali berturut-turut. Agaknya suara burung kedasih itu sebagai isyarat bagi para pengikutnya untuk bergerak. Ki Tumenggung Purbarana pun ternyata juga mendengar suara burung kedasih itu. Sebagai seorang prajurit yang telah kenyang makan asam garamnya pertempuran, isyarat itu telah memberinya peringatan bahwa sebentar lagi lawan akan menyerang. Demikianlah akhirnya, para pengikut Pangeran Ranapati pun telah bermunculan dari tempat persembunyian mereka. Bagaikan hantu-hantu yang bangkit dari kuburnya, mereka segera meloncat keluar dan berlari berhamburan sambil berteriak-teriak dan mengumpat-umpat. Senjata-senjata mereka tampak teracu-acu mendebarkan dan berkilat-kilat tertimpa siraman sinar bulan tua. Jumlah mereka ternyata cukup banyak bahkan sepintas melebihi jumlah pasukan berkuda Mataram. “Maaf Ki Tumenggung,” berkata Lurah prajurit pengapit kepada Ki Tumenggung Purbarana yang tampak membeku di atas punggung kudanya, “Apakah kita akan bertempur dari atas punggung kuda?” “Ya,” jawab Ki Tumenggung dengan serta merta, “Namun kita jangan terpancing untuk maju ke depan lagi. Kita bertahan di sini saja. Masih banyak jebakan yang mereka pasang di depan. Kuda-kuda kita akan mengalami kesulitan.” “Baik Ki Tumenggung,” jawab Lurah pengapit itu sambil menggeser kudanya agak ke samping. Sementara Ki Tumenggung segera memberi isyarat kepada seorang Lurah prajurit yang berada beberapa langkah di depannya untuk memberi aba-aba. Sejenak kemudian terdengar aba-aba dari Lurah prajurit itu. Pasukan berkuda itu pun dengan cepat segera bergerak mundur beberapa langkah. Senjata-senjata pun mulai merunduk siap menyambut serangan lawan. Namun yang terjadi kemudian adalah sangat diluar perhitungan Ki Tumenggung Purbarana. Ketika para pengikut Pangeran Ranapati yang berlari-larian itu telah menjadi semakin dekat dengan tempat pasukan berkuda Mataram bertahan, tiba-tiba beberapa orang yang berada di barisan paling depan justru telah berhenti dan mengambil sikap. Dengan cekatan dan terampil mereka segera mempersiapkan busur dan anak panah. Pada awalnya pasukan berkuda Mataram mengira bahwa lawan akan menyerang dengan mempergunakan senjata jarak jauh. Namun pandangan tajam Ki Tumenggung Purbarana segera mengenali jenis anak panah yang digunakan oleh lawan. Anak panah itu bukan seperti anak panah biasanya yang tajam ujungnya. Ujung anak panah itu tampak tumpul dan dibebat dengan secarik kain. Sebelum pasukan Mataram menyadari apa yang akan dilakukan oleh para pengikut Pangeran Ranapati itu, tampak beberapa orang yang membawa busur dan anak panah itu telah mencelupkan ujung-ujung anak panah itu pada bumbung-bumbung kecil yang berada di ikat pinggang mereka. Ternyata bumbung-bumbung itu berisi minyak jarak. Sejenak kemudian batu-batu titikan telah dinyalakan pada sejumput gelugut aren. Segera saja ujung-ujung panah itu pun dinyalakan dan api pun berkobar di setiap ujung anak panah. “Gila!” teriak Lurah prajurit yang berada di paling depan, “Mereka akan menakut-nakuti kuda-kuda kita dengan panah berapi!” Namun ternyata dugaan Lurah prajurit itu meleset. Panah-panah berapi itu justru telah terlontar ke atas melewati pasukan berkuda itu dan jatuh di atas rumput-rumput ilalang di belakang mereka. Yang terjadi kemudian adalah sangat mendebarkan. Rumput-rumput ilalang itu pun dengan mudah segera terbakar dan menjalar dengan cepat. Kobaran api yang semakin membesar dan meluas itu ternyata telah membuat kuda-kuda pasukan Mataram menjadi gelisah dan ketakutan. Sebenarnya lah para prajurit Mataram itu sudah terbiasa dalam berlatih mengendalikan kuda. Namun api yang berkobar-kobar dengan dahsyatnya itu telah membuat kuda-kuda menjadi sangat liar dan sulit dikendalikan. Di saat keadaan pasukan Mataram sedang dilanda kesulitan itu lah, Ki Tumenggung Purbarana segera mengambil sebuah keputusan yang berani. “Turun dari kuda-kuda kalian!” teriak Ki Tumenggung kemudian, “Kita akan bertempur di atas tanah. Sekalian lecut kuda-kuda kalian!” Perintah itu tidak perlu diulangi sekali lagi karena para prajurit sudah tanggap akan maksud pemimpin mereka. Dengan tangkas para prajurit segera berloncatan turun dari kuda masing-masing. Begitu kaki mereka menjejak tanah, dengan sebuah sentuhan yang cukup keras pada bagian belakangnya, kuda-kuda itu pun menjadi semakin liar dan meloncat berlari sekencang-kencangnya ke arah depan dan menerjang apa saja yang menghalanginya. Sekarang giliran para pengikut Pangeran Ranapati yang dibuat terkejut bukan alang kepalang. Mereka tidak mengira kuda-kuda itu justru telah berlari kencang ke arah mereka. Namun agaknya tali-tali jebakan yang mereka buat di sela-sela rumput ilalang yang tumbuh rapat berjajar-jajar setinggi pinggang telah membuat beberapa ekor kuda jatuh terjerembab sebelum sempat melanggar para pengikut pangeran Ranapati. Walaupun dengan cepat kuda-kuda yang terjerembap itu kemudian bangkit berdiri dan kembali berlari. Sejenak medan di padang rumput lemah cengkar itu pun menjadi semakin kisruh. Beberapa pengikut Pangeran Ranapati sebagian telah berloncatan menghindari terjangan kuda-kuda yang luput dari tali jebakan. Namun tidak urung ada juga satu dua orang yang tidak sempat mengindar dan terjatuh terkena terjangan kuda-kuda yang menjadi liar itu. Dalam pada itu, api yang membakar rumput ilalang di belakang pasukan Mataram menjadi semakin membesar dan meluas. Ki Tumenggung yang melihat bahaya yang dapat ditimbulkan oleh api itu segera memerintahkan prajurit yang berada di barisan paling belakang untuk memadamkan api. Dengan cepat beberapa prajurit segera berpencar dan mencari apa saja yang dapat dijadikan alat untuk memadamkan api. Namun padang rumput lemah cengkar itu sangat luas dan diperlukan waktu untuk mencapai pepeohonan dan semak belukar yang tumbur di pinggir padang. Sementara para prajurit tidak berani meninggalkan pasukannya terlalu jauh. Lawan setiap saat dapat menyerbu. Betapapun para prajurit itu telah berusaha dengan alat seadanya, tombak-tombak panjang, perisai-perisai maupun pedang untuk mencegah agar api tidak menjalar semakin luas, namun kebakaran yang sudah terlanjur membesar dan meluas itu ternyata sangat sulit untuk dipadamkan. Di saat para prajurit itu hampir putus asa, tiba-tiba terdengar lamat-lamat sebuah tembang dandanggula yang ngelangut memecah udara malam di sela-sela hiruk pikuk yang terjadi di padang rumput lemah cengkar. Ketika mereka yang berada di padang rumput lemah cengkar itu sedang terpesona oleh tembang dandanggula yang ngelangut itu, tiba-tiba saja udara di atas lemah cengkar dengan cepat berubah menjadi dingin, sedingin banyu sewindu bahkan lebih dingin lagi. Sejenak kemudian, orang-orang yang berada di lemah cengkar itu pun harus berjuang sekuat tenaga untuk mempertahankan jantung mereka agar tetap berdenyut sehingga darah tetap mengalir di sepanjang urat nadi. Hawa dingin yang mencengkam itu benar-benar telah membekukan aliran darah mereka. Namun ternyata kejadian itu hanya berlangsung sekejap. Beberapa saat kemudian udara di atas lemah cengkar itu pun kembali seperti biasa. “Seorang yang sakti telah membantu memadamkan kebakaran itu,” berkata Pangeran Jayaraga dalam hati sambil menarik nafas dalam-dalam untuk menghangatkan dadanya yang hampir saja membeku. Sambil melemparkan pandangan matanya ke tempat api yang telah padam, Pangeran Jayaraga kembali berkata dalam hati, “Berdiri di pihak manakah orang sakti ini? Semoga saja dia hanya menjadi penonton yang baik.” Sementara Pangeran Ranapati yang masih berlindung di bawah bayangan pohon beringin raksasa di tengah-tengah lemah cengkar itu telah mengumpat beberapa kali. “Gila!” geram Pangeran yang lebih di kenal di padukuhan Cepaga dengan nama Teja Wulung, “Aku tahu ini pasti permainan Guru. Apa sebenarnya yang diinginkan oleh Guru?” Namun sebenarnyalah putra laki-laki satu-satunya Rara Ambarasari itu dapat memaklumi apa yang telah dilakukan oleh gurunya. “Sejak muda Guru memang telah bergaul erat dengan alam,” kembali Pangeran Ranapati berangan-angan, “Sudah sewajarnya jika guru tidak rela pada setiap perbuatan yang dapat merusak keseimbangan alam.” Demikianlah akhirnya, padang rumput lemah cengkar itu telah kembali menjadi seperti sediakala. Kedua pasukan itu pun segera menyusun gelar masing-masing dan bersiap untuk saling berbenturan. ***** Dalam pada itu di Tanah Perdikan Menoreh, sebelum para peronda memukul kentongan dengan nada dara muluk, Ki Rangga Agung Sedayu tampak sedang duduk terpekur di hadapan Kanjeng Sunan. Berdua mereka sedang berada di dalam sanggar selepas mendapat jamuan makan malam oleh Ki Gede Menoreh tadi sore. “Ki Rangga,” berkata Kanjeng Sunan kemudian, “Aku tahu Ki Rangga sebenarnya sudah tidak mempunyai masalah dengan kesehatan Ki Rangga. Bersyukurlah bahwa Yang Maha Agung telah memberikan anugrah berupa kekuatan wadag yang luar biasa kepada Ki Rangga.” “Hamba Kanjeng Sunan,” jawab Ki Rangga sambil menyembah, “Namun hamba masih memerlukan banyak petunjuk dari Kanjeng Sunan untuk menyempurnakan bekal hamba dalam mengemban tugas sebagai prajurit dan sekaligus sebagai kawula Mataram dalam hubungannya dengan bebrayan agung.” Kanjeng Sunan tersenyum sareh. Katanya kemudian, “Ki Rangga, sebenarnya apakah tujuanmu dengan menempa diri mempelajari semua ilmu jaya kawijayan guna kasantikan itu? Apakah engkau belum merasa cukup dan puas dengan keadaanmu sekarang ini? Apakah engkau ingin menjadi orang yang tak terkalahkan di atas bumi ini? Atau sebenarnya jauh di dalam lubuk hatimu telah terbesit sebuah keinginan untuk meraih mukti wibawa dengan berlandaskan ilmu yang telah engkau kuasai? Engkau ingin menjadi penguasa, Raja misalnya?” Tertegun Ki Rangga mendengar pertanyaan bertubi-tubi dari Kanjeng Sunan. Seolah olah kini dirinya dihadapkan pada sebuah belanga yang berisi air yang jernih dan tenang. Betapa seluruh noda-noda di wajahnya kini nampak sangat jelas. Apakah yang selama ini dicarinya dengan segala macam ilmu jaya kawijayan guna kasantikan itu? Apakah dengan mempelajari segala macam ilmu itu dirinya dijamin akan selamat jika musuh-musuhnya ingin membalas dendam? bersambung ke bagian 3 Pages 1 2 3 ♦ 15 Juli 2010 Dalam pada itu, Kiai Gringsing justru teringat kepada Pandan Wangi yang berlandaskan pada ilmu dari aliran Tanah Perdikan Menoreh. Di luar sadarnya, karena ketekunannya meningkatkan ilmu, maka Pandan Wangi telah merambah kepada sejenis ilmu yang nampaknya memperkaya kemampuannya, sebelum ia mengandung. Tetapi sudah tentu pada saat-saat ia menunggu kelahiran bayinya yang menjadi semakin dekat, maka Pandan Wangi harus menghentikan segala kegiatannya dalam olah kanuragan. Ia harus melakukan gerakan-gerakan khusus sesuai dengan keadaannya. Swandaru sendiri telah memandangi gurunya yang termangu-mangu. Tetapi. Swandaru tidak tahu apa yang sedang dipikirkan oleh gurunya itu. Karena itu, Swandaru pun telah menunggu. Baru sejenak kemudian gurunya itu berkata, “Baiklah Swandaru. Kedatanganmu menunjukkan perhatianmu yang besar terhadap guru dan saudara seperguruanmu, juga terhadap adikmu yang kebetulan juga berada di Tanah Perdikan ini. Kita wajib bersyukur bahwa semuanya telah lewat, meskipun satu dua korban telah jatuh. Agaknya Ki Jayaraga pun harus memulihkan kekuatan dan ketegaran tubuhnya. Bahkan Sekar Mirah pun telah terlibat dalam pertempuran pula. Namun Tanah Perdikan ini tetap tegak. Apalagi persoalan Pasukan Khusus Mataram di Tanah Perdikan ini sekaligus sudah teratasi.“ “Syukurlah Guru. Tetapi menurut pendengaranku, Guru akan meninggalkan Tanah Perdikan ini besok bersama pasukan Mataram?“ bertanya Swandaru. Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Namun Kiai Gringsing pun kemudian telah menjawab, “Ya. Besok aku akan kembali ke Jati Anom. Aku akan bersama-sama dengan Ki Patih Mandaraka sampai ke Mataram. Kemudian dari Mataram aku dapat sendiri kembali ke Jati Anom. Bukankah jaraknya tidak terlalu panjang?“ “Sangat berbahaya bagi Guru untuk kembali sendiri ke Jati Anom,“ berkata Swandaru. “Aku tidak sendiri dalam arti tanpa kawan sama sekali. Aku membawa dua orang pengawal,“ berkata Kiai Gringsing. “Tidak ada artinya. Bukankah Guru mengatakan bahwa mungkin masih ada pecahan orang-orang Madiun yang berkeliaran? Apalagi jika mereka mengetahui, bahwa Guru dalam keadaan yang agak lemah. Bukan kerena ilmunya, tetapi karena wadagnya yang sudah tidak mendukung kemampuan ilmu Guru. Lebih-lebih lagi, sebenarnya Guru dalam keadaan sakit,“ berkata Swandaru. Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Namun dalam pada itu Agung Sedayupun berkata, “Aku sependapat dengan Adi Swandaru Guru. Meskipun jarak antara Mataram, Sangkal Putung dan Jati Anom tidak terlalu jauh, tetapi sebaiknya Guru tidak menempuh perjalanan sendiri. Dua orang pengawal itu hanya kawan berbincang di perjalanan, karena jika terjadi sesuatu, mereka belum mampu ikut berbicara sama sekali. Kecemasan Guru tentang Adi Swandaru, justru membuat aku menjadi semakin cemas tentang perjalanan Guru kembali ke Jati Anom. Bahkan Ki Jayaraga telah menganjurkan kepadaku untuk mengantar Guru kembali ke Jati Anom bersama Glagah Putih, sebelum Adi Swandaru datang. Dengan kehadiran Adi Swandaru, maka Guru akan dapat diantar oleh Adi Swandaru sampai ke Jati Anom.“ Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak ingin disebut orang tua yang keras kepala. Karena itu, maka katanya, “Baiklah. Aku akan kembali ke Jati Anom bersama Swandaru. Jika kemarin aku berkeberatan diantar oleh Agung Sedayu, karena aku tahu Tanah ini memerlukan pembenahan segera. Bahkan mungkin masih akan dapat timbul persoalan-persoalan yang rumit.“ “Baiklah Guru,“ sahut Swandaru, “tetapi aku mohon, kita tidak perlu bersama-sama dengan orang-orang Mataram. Mereka akan kembali bersama pasukan segelar sepapan. Karena itu, rasa-rasanya kita akan lebih bebas jika kita menempuh perjalanan itu sendiri.“ “Tetapi aku sudah berjanji dengan Ki Patih Mandaraka untuk menyertainya,“ berkata Kiai Gringsing. “Guru dapat mengatakannya, bahwa aku sudah menjemput Guru,“ berkata Swandaru. Ternyata bahwa Kiai Gringsing tidak dapat menolak keinginan murid-muridnya. Karena itu, maka katanya, “Baiklah. Aku akan mencoba menyampaikannya kepada Ki Patih Mandaraka.“ “Kenapa harus mencoba? Bukankah segala sesuatunya terserah kepada Guru?“ sahut Swandaru. “Ya. Memang terserah kepadaku,“ jawab Kiai Gringsing, “tetapi bukankah aku harus mencabut kesediaanku? Aku sudah berjanji untuk berangkat bersama Ki Patih. Dan kita tahu nilai dari sebuah janji, meskipun janji ini bukan janji yang mempunyai akibat menentukan.“ Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak menjawab. Bahkan Kiai Gringsing-lah yang kemudian bertanya, “Jika tidak sekarang, kapan kita akan kembali?“ “Terserah kepada Guru. Besok atau lusa,“ jawab Swandaru. Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Nanti kita bicarakan kemudian. Sekarang, kita tinggal menunggu Ki Patih bangun. Karena itu, jika kita ingin beristirahat, kau dapat pergi ke rumah kakangmu Agung Sedayu. Biarlah aku di sini menunggu Ki Patih, untuk berbicara tentang rencanaku menunda keberangkatanku kembali ke Jati Anom.“ “Waktunya tinggal sedikit. Sementara kami berjalan, matahari telah mulai memancar. Biarlah kami menunggu di sini,“ berkata Swandaru. “Kau tidak letih? Atau barangkali kau akan beristirahat di sini?“ bertanya Kiai Gringsing. “Betapapun letihnya, di hadapan Guru tentu aku ingin menunjukkan bahwa aku adalah murid yang baik,“ jawab Swandaru. Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian tertawa. Katanya, “Baiklah. Kita menunggu di sini.“ Demikian, mereka sempat berbicara tentang peristiwa yang telah terjadi di Tanah Perdikan. Tentang Senapati Pasukan Khusus yang menentang perintah, dan tentang kehadiran pasukan Mataram yang hampir terlambat. Dalam pada itu, di banjar, para pemimpin prajurit Mataram telah bersiap. Demikian pula pasukan segelar sepapan yang akan kembali ke Mataram dengan membawa kawan-kawan mereka yang terluka. Ada beberapa orang yang telah menjadi korban dan telah dibawa lebih dahulu ke Mataram. Di dapur banjar padukuhan induk, beberapa orang perempuan telah sibuk pula menyiapkan makan bagi para prajurit yang akan berangkat ke Mataram itu. Bahkan juga beberapa orang perempuan di rumah Ki Gede. Ketika matahari mulai membayang, Sekar Mirah telah berada di rumah Ki Gede pula. Demikian pula Ki Jayaraga dan Glagah Putih. Sementara Ki Patih Mandaraka telah duduk di pendapa pula bersama Kiai Gringsing, Ki Waskita, Ki Gede dan Ki Jayaraga. Tiga orang yang menyertai Ki Patih Mandaraka ikut pula duduk bersama mereka. Dengan kecewa Ki Patih yang mendengar perubahan rencana Kiai Gringsing berkata, “Rasa-rasanya aku akan menjadi kesepian di perjalanan.“ “Maaf Ki Patih. Muridku yang muda baru pagi ini tiba. Aku ingin mengawaninya barang satu dua hari di sini,“ jawab Kiai Gringsing. Ki Patih ternyata dapat mengerti. Katanya, “Baiklah. Tetapi aku mohon Kiai dapat singgah di Mataram dalam perjalanan Kiai kembali ke Jati Anom.” “Mudah-mudahan Ki Patih. Namun agaknya semua yang aku ketahui dalam hubungannya dengan Madiun karena kepergianku ke Madiun, telah aku sampaikan kepada Angger Panembahan Senapati,“ berkata Kiai Gringsing. “Peristiwa yang terjadi di Tanah Perdikan ini akan memerlukan pembahasan,“ jawab Ki Patih Mandaraka. Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya, “Agaknya memang demikian.“ Namun pembicaraan mereka pun terhenti. Sekar Mirah yang sudah berada di rumah itu telah mengatur hidangan yang harus dihidangkan ke pendapa. Minuman hangat dan beberapa potong makanan. Kemudian telah dihidangkan pula makan pagi bagi para pemimpin prajurit Mataram yang ada di rumah Ki Gede, orang-orang tua dan para pemimpin Tanah Perdikan sendiri, yang menemui para tamu dari Mataram di saat-saat terakhir. Dalam waktu yang hampir bersamaan, maka para pemimpin prajurit Mataram serta seluruh pasukan yang ada di banjar dan sekitarnya pun telah mendapat hidangan minum dan makan pula, sebelum mereka berangkat meninggalkan Tanah Perdikan. Namun dalam pada itu, pasukan pengawal Tanah Perdikan di seluruh Tanah Perdikan justru telah berjaga-jaga. Mereka sepenuhnya bertanggung jawab atas perlindungan terhadap Tanah Perdikannya. Pengalaman pahit atas sikap Senapati dari Pasukan Khusus Mataram di Tanah Perdikan merupakan pelajaran, bahwa para pengawal Tanah Perdikan harus benar-benar mampu melindungi kampung halamannya. Tetapi pimpinan Pasukan Khusus yang baru, yang di bantu oleh Ki Lurah Branjangan yang berpengalaman luas, memberikan kemungkinan yang jauh berbeda dengan pimpinan yang lama. Ketika kemudian matahari naik di atas ujung pepohonan, maka pasukan Mataram telah benar-benar siap untuk berangkat. Ki Patih Mandaraka telah mohon diri kepada para pemimpin Tanah Perdikan dan orang-orang tua yang masih tinggal. “Aku mohon maaf, bahwa karena kehadiranku, beberapa anak muda terbaik di Tanah Perdikan ini telah gugur,“ berkata Ki Patih. “Tidak,“ jawab Ki Gede, “kami-lah yang mohon maaf, justru ternyata kami bukan tuan rumah yang baik.“ Ki Patih tertawa. Katanya, “Kita telah melakukannya bersama-sama, mempertahankan hak kita, di samping hak hidup kita.“ “Semoga perjalanan Ki Patih tidak mengalami hambatan apapun,“ berkata Ki Gede kemudian. Demikianlah, ketika cahaya matahari mulai terasa gatal di kulit, Ki Patih Mandaraka benar-benar telah meninggalkan padukuhan induk Tanah Perdikan. Para pemimpin Tanah Perdikan dan orang-orang tua mengantar mereka lewat banjar padukuhan induk, keluar gerbang padukuhan. Sementara itu, sekelompok pasukan pengawal berkuda Tanah Perdikan telah mendahului pasukan Mataram yang segelar sepapan itu. Untuk membangkitkan kebanggaan penghuni Tanah Perdikan Menoreh, serta menghapuskan kesan kecemasan dan ketakutan setelah Tanah Perdikan itu dilanda oleh kerusuhan yang mengguncangkan segi-segi kehidupan, maka pasukan Mataram telah berbaris dengan segenap tanda-tanda kebesaran pasukan sebagai pasukan pilihan. Sebenarnyalah orang-orang Tanah Perdikan Menoreh menjadi berbesar hati melihat sepasukan prajurit Mataram dengan segala macam pertanda kebesarannya. Rontek, umbul-umbul, klebet dengan tunggul masing-masing. Dengan demikian maka orang-orang Tanah Perdikan tidak merasa cemas bahwa mereka akan mengalami kesulitan atas kehadiran orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Dalam pada itu, atas perintah Ki Patih Mandaraka, maka di barak Pasukan Khususp un telah dipasang pula pertanda kebesaran Pasukan Khusus Mataram di Tanah Perdikan itu. Selain mereka, maka para pengawal Tanah Perdikan sendiri telah menunjukkan keperkasaan mereka di antara para prajurit Mataram yang akan meninggalkan Tanah Perdikan itu. Dalam pada itu, para pengawal telah mengantar pasukan Mataram yang segelar sepapan itu sampai ke Kali Praga. Ternyata aliran Kali Praga yang keruh itu nampak agak naik sedikit, sehingga pasukan yang segelar sepapan itu harus bersabar, bergantian menyeberang dengan rakit, meskipun semua rakit telah dikerahkan untuk pasukan Mataram itu. Namun akhirnya kelompok yang terakhir pun telah menyeberang pula. Sebelum naik ke atas rakit, Ki Patih Mandaraka masih sempat berpesan kepada Agung Sedayu yang memimpin sekelompok pengawal Tanah Perdikan, “Berhati-hatilah. Sebenarnyalah Kiai Gringsing sudah terlalu tua, dan percayalah kepadaku, Kiai Gringsing dalam keadaan sakit. Tetapi jangan sedih, karena ia telah menempuh kehidupan wajar sebagai kebanyakan orang, yang pada saatnya lahir, besar dan akhirnya kembali kepada Yang Maha Agung.” Terasa sesuatu bergejolak di dalam jantung Agung Sedayu. Tetapi ia melihat Ki Patih Mandaraka itu tersenyum. Katanya, “Kau harus bertanya kepada dirimu sendiri. Tanggapan apakah yang harus kau berikan kepada Kiai Gringsing?“ Agung Sedayu tidak dapat segera menjawab. Sementara Ki Patih Mandaraka telah menepuk bahunya sambil berdesis, “Kau adalah harapan bagi masa depan. Gurumu adalah bagian dari masa yang lewat. Tetapi masa ke masa itu tidak terputus, karena kau telah mewarisi ilmunya. Jangan terlalu berbangga jika gurumu pernah berkata kepadaku, bahwa kau telah memenuhi harapannya. Meskipun gurumu masih sedikit berprihatin tentang adik seperguruanmu.“ Ki Patih itu berhenti sejenak, lalu, “Tetapi aku percaya bahwa kau tidak saja sekedar ingin memenuhi harapan gurumu. Tetapi juga harapan banyak orang di Tanah Perdikan Menoreh khususnya, dan Mataram pada umumnya.“ Agung Sedayu hanya menundukkan kepalanya saja. Sementara itu Ki Patih berkata, “Sudahlah. Aku akan melanjutkan perjalanan. Bawa pasukanmu kembali ke Tanah perdikan dengan dada tengadah. Pasukan Khusus di Tanah Perdikan tidak menjadi masalah lagi bagi Ki Gede.” “Terima kasih Ki Patih,“ hanya kata-kata itu yang terlontar dari bibir Agung Sedayu. Sedangkan Ki Patih berkata, “Banyak pihak di istana yang memberikan pendapatnya, agar Mataram memberikan semacam pertanda bahwa kau sudah banyak memberikan pengorbanan dan pengabdian kepada Mataram. Sudah sepantasnya jika kau mendapat kedudukan yang tinggi di bidang keprajuritan. Tetapi sepanjang pengenalanku atas sifat-sifatmu, maka diperlukan satu penghargaan lain kepadamu.“ “Ah,“ desah Agung Sedayu, “tidak ada yang pantas mendapat penghargaan.“ “Aku tahu. Itu adalah sikapmu,“ jawab Ki Patih. “Jika kau mempunyai jiwa seperti kakakmu Untara, maka persoalannya akan berbeda. Kau dan kakakmu akan bersama-sama menerima anugrah pangkat Tumenggung.“ “Tempatku ada di antara anak-anak muda yang membangun bendungan, Ki Patih. Atau di antara mereka yang membuat jalan dari satu padukuhan ke padukuhan yang lain,“ jawab Agung Sedayu. Ki Patih tertawa. Katanya, “Baiklah, untuk sementara hal itu dapat kau lakukan Agung Sedayu. Kau dapat berada di lapangan. Tetapi sebenarnya kau dapat melakukan lebih dari itu. Membuat bendungan, jalan-jalan raya dan barangkali juga membuka tanah garapan baru. Tidak sekedar untuk satu daerah yang sempit. Tetapi kau dapat melakukannya untuk satu daerah yang jauh lebih luas. Sudah tentu tidak perlu harus kau lakukan sendiri.“ Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Ia tidak dapat dengan cepat menangkap maksud Ki Patih Mandaraka. Namun kemudian Ki Patih berkata, “Agung Sedayu. Pada suatu saat, kau akan melakukan kerja yang jauh lebih besar. Bukan orang yang langsung berada di dalam lumpur untuk membuat tanggul. Tetapi kau akan dapat menjadi seorang yang mempergunakan nalar budimu untuk merencanakan dan melaksanakan kerja yang besar. Bukan hanya sebuah bendungan yang akan mengairi tiga atau empat bulak persawahan. Tetapi kau dapat merencanakan lima atau enam buah bendungan. Membuat susukan yang membelah daerah yang luas, serta merencanakan membuat jalan bukan dari satu padukuhan ke padukuhan yang lain, tetapi dari satu kota ke kota yang lain.“ Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak sempat menjawab, Ki Patih sekali lagi menepuk bahunya sambil berkata, “Kau akan dapat mengisi masa depan. Sudahlah. Kau dapat bekerja lebih keras. Juga kau masih akan dapat meningkatkan ilmumu pada tataran yang setidak-tidaknya sama dengan gurumu, karena pada dasarnya kau mempunyai bekal lebih banyak dari gurumu.“ “Aku mohon restu,“ berkata Agung Sedayu. Ki Patih tersenyum. Namun kemudian sebuah rakit telah bergerak dibarengi dua rakit yang lain. Ki Patih telah menyeberangi Kali Praga, disusul oleh para prajurit yang masih tersisa di tepian. Namun, demikian Ki Patih mencapai sisi yang lain sambil melambaikan tangannya, maka Agung Sedayu pun telah melambaikan tangannya pula. Tetapi ia berkata di dalam hati, “Agaknya tempatku bukan di lingkungan yang lebih luas dari sebuah Tanah Perdikan.“ Ternyata semakin lama Agung Sedayu berada di Tanah Perdikan Menoreh, ia merasa semakin terikat dengan Tanah Perdikan itu. Namun ketika kemudian pasukan Mataram yang mengikuti Ki Patih Mandaraka itu kemudian meninggalkan tepian Kali Praga, serta Agung Sedayu pun telah berkuda bersama sekelompok pengawal kembali ke Tanah Perdikan, maka Agung Sedayu telah digelitik oleh kegelisahannya sendiri. Ia sadar, bahwa ia sama sekali tidak mempunyai hak apapun atas Tanah Perdikan itu. Jika ia berada di Tanah Perdikan itu, karena Sekar Mirah adalah adik Swandaru yang menjadi suami Pandan Wangi. “Satu belitan hubungan yang panjang,“ berkata Agung Sedayu di dalam hatinya. Sementara itu, ia masih juga dibayangi oleh hak yang ada pada adik Ki Gede Menoreh, yang meskipun seakan-akan telah mengasingkan diri, tetapi Ki Argajaya adalah orang kedua di Tanah Perdikan. Sedangkan Ki Argajaya adalah ayah Prastawa, yang kini menjadi salah seorang di antara para pemimpin pengawal Tanah Perdikan. Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Jalan yang akan dilaluinya nampak berkabut tebal. Namun Agung Sedayu tidak dapat dengan segera memecahkan kabut tebal itu. Ia memerlukan waktu, perkembangan keadaan dan perkembangan penalarannya sendiri. Demikianlah, maka Agung Sedayu pun telah membawa sekelompok pasukannya kembali ke padukuhan induk. Swandaru dan gurunya masih menunggunya di rumah Ki Gede. Sekar Mirah pun masih juga berada di rumah Ki Gede untuk menyiapkan hidangan bagi tamu-tamunya yang masih tinggal. Untuk beberapa lama Agung Sedayu dan Swandaru masih berada di rumah Ki Gede. Tetapi ternyata bahwa Swandaru merasa lebih bebas untuk berada di rumah Agung Sedayu. Karena itu, maka Swandaru pun kemudian telah mohon agar Kiai Gringsing bersedia untuk pergi ke rumah Agung Sedayu pula. Tetapi Kiai Gringsing sambil tersenyum menjawab, “Pergilah dahulu. Aku masih akan berada di sini bersama orang-orang tua yang sudah terlalu lama tidak bertemu. Tentu saja kita mengharap agar Ki Waskita berada di Tanah Perdikan ini untuk beberapa hari lagi. Nanti aku akan segera menyusul.“ “Tetapi bukankah seharusnya Guru sudah meninggalkan rumah ini pula?“ bertanya Swandaru. “Tetapi bukankah aku belum meninggalkan rumah ini? Sementara di sini masih ada tamu yang lain? Aku-lah yang telah memohon Ki Waskita untuk hadir. Kakakmu Agung Sedayu telah menyusulnya dan mohon agar Ki Waskita bersedia datang. Bukankah sudah seharusnya aku ikut menemui sementara Ki Waskita berada di Tanah Perdikan?“ jawab Kiai Gringsing. Tetapi Ki Waskita tertawa. Katanya, “Kerinduan seorang murid kepada gurunya. Silahkan Kiai. Biarlah aku berada di sini bersama Ki Gede dan Ki Jayaraga. Bukankah nanti Kiai akan datang lagi kemari? Aku tidak tergesa-gesa meninggalkan tempat ini. Apalagi karena Kiai juga menunda keberangkatan Kiai.“ Namun Kiai Gringsing tersenyum. Katanya, “Swandaru perlu beristirahat barang sejenak, seperti juga Agung Sedayu sendiri. Karena itu, biarlah mereka mendahului kembali ke rumah Agung Sedayu.“ Swandaru ternyata tidak dapat memaksa gurunya untuk meninggalkan rumah itu. Tetapi seperti kata gurunya, ia memang ingin beristirahat. Karena itulah, maka Agung Sedayu dan Swandarupun telah meninggalkan rumah Ki Gede dan menuju ke rumah Agung Sedayu. Namun sementara itu. Glagah Putih telah berada di rumah Ki Gede, sebagaimana Sekar Mirah dan Ki Jayaraga. Ketika Agung Sedayu dan Swandaru sampai ke rumah Agung Sedayu, ternyata para pengawal Swandaru pun telah mendapat kiriman minum dan makanan dari rumah Ki Gede. Namun masih ada di antara mereka yang masih tertidur di gandok. Namun begitu mereka mengetahui bahwa Swandaru telah datang bersama Agung Sedayu, maka kawan-kawan mereka pun dengan cepat telah membangunkan mereka. Dengan tergesa-gesa mereka pun membenahi diri dan siap melakukan tugas jika perintah itu datang. Tetapi Swandaru justru mendekati mereka sambil berkata, “Kita mendapat kesempatan beristirahat sekarang. Aku pun akan beristirahat. Tetapi kalian jangan lengah. Tanah Perdikan ini baru saja dilanda oleh malapetaka.“ Para pengawalnya tidak menjawab. Sementara Swandaru pun telah dipersilahkan untuk masuk ke ruang dalam. “Sekar Mirah berada di rumah Ki Gede,“ berkata Agung Sedayu yang rumahnya terasa lengang. Namun ia dapat minta pembantu rumahnya untuk menyediakan minuman bagi tamunya. “Kau sedang apa?“ bertanya Agung Sedayu kepada pembantunya itu. “Membersihkan ikan,“ jawab anak itu. “O, kau dapat begitu banyak?“ bertanya Agung Sedayu sambil memuji. “Dua kali aku turun ke sungai semalam,“ jawab anak itu dengan bangga. “Kau sendiri atau dengan Glagah Putih?“ bertanya Agung Sedayu pula. “Glagah Putih menjadi semakin malas sekarang ini,“ jawab anak itu, “ada-ada saja alasannya.“ Agung Sedayu tertawa. Katanya, “Tetapi ternyata kau dapat menangkap ikan sebanyak itu sendiri dengan menutup pliridan dua kali semalam. Tentu hari ini Nyi Sekar Mirah tidak usah berbelanja lagi. Kendo udang dan rempeyek wader pari akan menjadi lauk yang nikmat sekali.“ Agung Sedayu berhenti sejenak, lalu, “Tetapi tolong, kau buat minuman panas buat kami berdua. Aku dan tamuku.“ Namun ternyata anak itu berdesis, “Kita akan mendapat makan yang dikirim dari rumah Ki Gede, atau dari banjar seperti para pengawal di gandok itu.“ “Mungkin siang ini.“ jawab Agung Sedayu, “nanti sore kita sempat menikmati hasil buruanmu itu.“ “Tetapi siapakah yang akan membuat kendo dan rempeyek, jika Nyi Sekar Mirah berada di rumah Ki Gede?“ bertanya anak itu lagi. Sambil menepuk bahu anak itu Agung Sedayu menjawab, “Nanti aku akan memanggilnya. Sediakan dahulu dua butir kelapa yang masih agak muda.“ “Dua?“ anak itu menjadi heran. Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Dengan ragu-ragu ia bertanya, “Jadi berapa? Tiga atau berapa saja diperlukan.“ Anak itu termangu-mangu. Namun kemudian katanya, “Satu saja tentu sudah cukup.“ Agung Sedayu tertawa. Namun kemudian sekali lagi ia berkata, “Tolong, kau sediakan minuman hangat. Wedang sere. Gula kelapa yang kuning.“ Sementara itu, selagi pembantu di rumah Agung Sedayu itu menyiapkan minuman hangat, Swandaru sempat berbenah diri setelah pergi ke pakiwan. Demikian ia mandi, terasa tubuhnya menjadi segar. Pikirannya pun terasa bertambah bening. Apalagi setelah minum minuman hangat. Maka rasa-rasanya keletihannya selama perjalanan di malam hari telah pulih kembali. Ketika Swandaru melihat-lihat halaman dan kebun rumah Agung Sedayu yang tidak begitu luas, tiba-tiba saja ia tertarik pada sebuah bangunan tertutup yang agak besar di kebun belakang. Swandaru mengerti bahwa bangunan itu adalah sanggar tertutup yang dipergunakan oleh Agung Sedayu dan Sekar Mirah, barangkali juga Glagah Putih untuk berlatih. Karena itu, maka rasa-rasanya ia tertarik untuk memasukinya lagi, sebagaimana pernah dilakukannya. “Apakah aku diperbolehkan untuk melihat-lihat?“ bertanya Swandaru kepada Agung Sedayu yang menemaninya. “Tentu saja. Bukankah kau pernah melihat?“ sahut Agung Sedayu. Swandaru mengangguk-angguk kecil. Iapun kemudian telah melangkah ke pintu sanggar. Membukanya dan kemudian melangkah masuk. Sanggar itu tidak terasa gelap, karena ada bagian yang terbuka di atasnya, sehingga sorot matahari pun telah menyuruk masuk. Sanggar itu masih belum banyak berubah sebagaimana pernah dilihatnya. Tidak jauh berbeda dengan sanggarnya di Sangkal Putung. Bahkan sanggarnya di Sangkal Putung agak lebih luas dari sanggar Agung Sedayu itu, dengan perlengkapan yang juga hampir sama. Tetapi Swandaru tidak memasang beberapa benda kecil yang dianggapnya tidak banyak berarti. Namun dari Agung Sedayu ia mendengar bahwa benda-benda kecil itu adalah alat untuk melatih dan mempertahankan kemampuan bidiknya. “Kau satu-satunya orang yang pernah mengalahkan Sidanti,“ berkata Swandaru. “Ah. Itu sudah terjadi bertahun-tahun lampau. Dan kini Sidanti sudah tidak ada lagi,“ jawab Agung Sedayu. “Kemampuan bidikmu tentu semakin tinggi,“ berkata Swandaru. Agung Sedayu menarik nafas. Katanya, “Aku mencoba untuk mempertahankannya.“ Swandaru termangu-mangu. Ia melihat seikat kecil jerami yang dibalut dengan kain sepanjang dua jengkal. Kemudian segenggam yang lain, yang dibentuk bulat, tergantung di bawah jerami yang memanjang itu. Tetapi di sebelahnya terdapat semacam kitiran dengan daun yang berlainan warna. Namun kemudian Swandaru tertarik pada sebongkah batu hitam yang besar. Di atasnya terdapat batu padas yang mengeras, meskipun tidak sekeras batu hitam itu. Sambil meraba batu padas itu Swandaru bertanya, “Kau berlatih memecahkan batu-batu padas dengan cambukmu?“ Namun ternyata hampir di luar sadarnya Agung Sedayu menjawab, “Glagah Putih yang melakukan latihan dengan batu-batu padas yang mengeras ini.“ “Apakah Glagah Putih juga mempergunakan cambuk sekarang?“ bertanya Swandaru. Namun sebelum Agung Sedayu menjawab, Swandaru berkata selanjutnya, “Kakang, apakah Guru sudah mengijinkan orang lain mempergunakan ciri-ciri perguruan menurut aliran Orang Bercambuk itu? Bukankah Kakang menuntun Glagah Putih dalam keturunan ilmu menurut aliran Ki Sadewa? Aliran yang tidak mempergunakan ciri senjata cambuk.“ Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Memang tidak. Glagah Putih tidak mempergunakan ciri senjata cambuk.“ “O,“ Swandaru mengangguk-angguk, “dengan apa ia memecahkan batu-batu padas seperti ini?“ Agung Sedayu termangu-mangu. Di pinggir sanggar itu memang terdapat banyak batu padas berbongkah-bongkah. Glagah Putih memang mengumpulkan batu-batu padas itu untuk mempertajam kemampuannya memukul dari jarak jauh sebagaimana diajarkan oleh Ki Jayaraga, dengan sasaran yang berbeda-beda, karena Ki Jayaraga mengajarinya menyadap inti kekuatan dari sumber yang berbeda. Api, udara, air dan bumi. Di samping laku lain yang harus dijalani di luar sanggar. Karena Agung Sedayu tidak segera menjawab, maka Swandaru telah bertanya pula, “Nampaknya inti kekuatan aliran Ki Sadewa benar-benar luar biasa. Glagah Putih tentu sudah memasuki puncak kemampuan itu, sehingga mampu memecahkan batu-batu padas dengan tangannya.“ Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Anak itu sudah berlatih dengan sungguh-sungguh. Mudah-mudahan ia berhasil.“ “Apakah kau yang mengajarinya menurut aliran Ki Sadewa, sudah mampu melakukannya dengan tanganmu?“ tiba-tiba saja Swandaru bertanya. Agung Sedayu memang menjadi semakin bingung. Ia memang mengajari Glagah Putih sejak semula menurut jalur aliran ilmu Ki Sadewa. Tetapi ia sendiri adalah murid Kiai Gringsing yang menganut ciri tersendiri. Tetapi di dalam dirinya kedua aliran ilmu itu, bahkan dengan beberapa jenis ilmu yang dikuasainya dari sumber yang berbeda, telah luluh menyatu. Bahkan gurunya sama sekali tidak menganggap bahwa ia telah melakukan kesalahan. Gurunya justru berbangga karena Agung Sedayu telah memperkaya aliran ilmu yang diwarisinya dari gurunya itu, asal bukan jenis ilmu yang wataknya berlawanan. Namun karena Agung Sedayu harus menjawab pertanyaan Swandaru, maka iapun kemudian berkata, “Aku memang menuntun Glagah Putih menurut bekal yang sedikit diwarisi dari ayahnya. Ilmu yang bersumber sama dengan aliran ilmu Ki Sadewa. Tetapi sebagaimana kau ketahui, aku dimatangkan oleh ilmu dari aliran Orang Bercambuk itu, sehingga sudah tentu bahwa aku bukan Ki Sadewa, meskipun aku adalah anak Ki Sadewa. Tetapi aku belum sempat menerima warisan ilmu dari Ayah. Memang agak berbeda dengan Kakang Untara.“ Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Kakang. Sebaiknya kau memilih salah satu jalur dari beberapa jenis ilmu yang kau pelajari. Tetapi harus benar-benar kau tekuni sampai matang dari tingkat ke tingkat. “ Agung Sedayu mengangguk-angguk. Namun katanya, “Tetapi bukankah di dalam kitab Guru itu, pada tingkat-tingkat berikutnya terdapat juga beberapa jenis ilmu, meskipun dengan landasan yang sama?“ “Kau harus memilih Kakang,“ jawab Swandaru, “kita tidak boleh serakah sehingga ingin menguasai dua atau tiga jenis sebagaimana Guru. Mungkin menjelang usia tua kita dapat melakukannya sebagaimana dilakukan oleh Guru. Tetapi sudah tentu memerlukan waktu dan kematangan penguasaan ilmu. Mungkin saja sekarang kita dapat mempelajari dua atau tiga jenis ilmu. Tetapi justru semuanya akan tetap masih saja mentah dan tidak menyentuh inti kekuatan ilmu dari Guru kita.“ Agung Sedayu termangu-mangu. Ia tidak tahu, jawaban apa yang harus dikatakannya. Setiap kali mereka berbicara tentang ilmu, maka Agung Sedayu memang menjadi bingung. Namun Agung Sedayu itu harus mengakui kesalahannya, bahwa hatinya tidak terbuka sebagaimana Swandaru. Jika sejak semula ia terbuka, maka tidak akan terjadi kesalahan penilaian seperti itu, sehingga ia mengalami kesulitan untuk memperbaikinya. Selagi Agung Sedayu termangu-mangu, maka Swandaru telah mengurai cambuknya. Sambil tersenyum ia berkata, “Ilmu dari Orang Bercambuk itu tidak akan kalah dari aliran ilmu yang manapun. Sebenarnya aku ingin melihat Glagah Putih berlatih. Bagaimana ia memecahkan batu-batu padas itu.“ Agung Sedayu tidak menjawab. Namaun sementara itu Swandaru telah memutar cambuknya. Agung Sedayu memang menjadi berdebar-debar. Ia tahu, bahwa Swandaru ingin menunjukkan kemampuan ilmunya kepadanya. Bahkan kepada Agung Sedayu iapun berniat baik untuk mendorong agar ia berusaha untuk meningkatkan ilmunya. Namun terasa juga sikap ingin tahu dan kemudian melampaui kemampuan Glagah Putih, yang menilik dari alat-alat latihannya telah menjadi semakin meningkat ilmunya. Sejenak Swandaru masih memutar cambuknya. Kemudian dengan mengerahkan tenaga dan kemampuan ilmunya maka Swandaru telah menghentakkan cambuknya ke arah batu padas yang berada di atas batu hitam, sebagai bahan latihan Glagah Putih itu. Satu ledakan yang keras telah menggetarkan sanggar yang tidak terlalu besar itu. Seperti yang diduga oleh Agung Sedayu, maka batu padas yang mengeras itu telah pecah berhamburan. Bahkan Agung Sedayu telah melihat bahwa batu hitam itu pun telah terluka. Sebaris goresan menjelujur pada batu hitam itu. Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia pernah melihat Swandaru mencambuk tanah tempatnya berpijak sehingga seakan-akan terbelah. Agung Sedayu percaya akan kekuatan yang sangat besar pada adik seperguruannya itu, yang berpijak pada ilmu yang sama dengan landasan ilmu yang diwarisi dari Orang Bercambuk itu. Dengan kekuatan ilmu yang sangat besar itu, Agung Sedayu memang berpendapat, bahwa cambuk Swandaru agaknya mampu menembus ilmu kebalnya. Tetapi dalam pertempuran yang sebenarnya, maka sisa kekuatan cambuk yang menembus ilmu kebalnya tidak akan menyakitinya, karena kekuatan Swandaru yang diungkapkannya itu adalah sekedar ungkapan kewadagan. Ternyata Swandaru masih belum menggapai inti kekuatan ilmu Orang Bercambuk itu, dimana tenaga, kekuatan dan nilai dari ungkapan ilmunya itu justru tidak lagi menimbulkan bunyi ledakan yang sangat keras, karena semua tenaga telah terserap pada hentakan itu sendiri tanpa mengalir sedikitpun untuk mendorong getaran bunyi yang berlebihan. Sebenarnyalah Agung Sedayu pun merasa prihatin atas kelambatan perkembangan ilmu Swandaru, yang memang waktunya lebih banyak dirampas bagi kademangannya. Swandaru memang telah bekerja keras untuk menjadikan kademangannya satu kademangan yang besar dalam arti yang sebenarnya. Kesejahteraan hidup rakyatnya meningkat dengan pesat, sehingga Sangkal Putung banyak menjadi kiblat usaha perbaikan dari beberapa kademangan yang lain. Namun kademangan-kademangan yang lain tidak mempunyai Swandaru. Tidak mempunyai seorang penggerak yang berpegang keras pada paugeran yang sudah disusun bersama oleh seisi kademangan. Apalagi kademangan yang tidak pernah ditempa oleh kerasnya kehidupan dalam pusaran pergeseran pemerintahan seperti Sangkal Putung. Sebagai seorang pengawal, ilmu Swandaru memang sudah melambung tinggi. Seandainya ia harus bertempur melawan orang-orang berilmu, maka Swandaru memang tidak mudah dikalahkan. Tetapi jika ia harus menghadapi orang-orang seperti Sabungsari, bahkan Glagah Putih, apalagi Bango Lamatan, maka Swandaru masih harus melengkapi ilmunya. Ia masih harus mencapai inti kekuatan ilmu orang bercambuk, khususnya dalam ilmu cambuk itu sendiri, serta ilmu pelengkap lainnya yang tidak usah dicarinya kemana-mana, tetapi dapat dicari di dalam kitab yang diberikan gurunya kepada mereka. Tetapi sudah barang tentu memerlukan laku yang berat dan memerlukan waktu khusus, yang akan dapat mengurangi waktunya yang diperuntukkan bagi kademangannya. “Seharusnya Swandaru menyusun tenaga anak-anak muda yang akan dapat mengisi kekurangannya jika ia sendiri harus menjalani laku bagi dirinya sendiri,“ berkata Agung Sedayu di dalam hatinya, yang melihat Swandaru seakan-akan telah memegang segala kepemimpinan di Kademangan Sangkal Putung atas nama ayahnya. Namun demikian, Agung Sedayu tidak dapat berkata apa-apa. Ia menyadari, bahwa Swandaru tidak melihat perbandingan ilmu yang sebenarnya di antara kedua orang murid Kiai Gringsing itu. Sementara itu Agung Sedayu masih saja tertutup hatinya. Justru ia bimbang, bahwa ia akan dianggap terlalu sombong, tidak tahu diri dan membuat Swandaru marah, sehingga ia tidak dapat mengatakan apa-apa, meskipun ia sadar bahwa dengan demikian ia sudah menyembunyikan kebenaran. Bahwa Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Swandaru telah keliru menilai pula. Ia menganggap bahwa Agung Sedayu memang menjadi kagum akan kekuatannya. Ujung cambuknya bukan saja memecahkan batu-batu padas yang mengeras, tetapi batu padas hitam yang menjadi alas batu padas itu pun telah tergores oleh luka karena ujung cambuknya. Agung Sedayu memang seperti terbangun dari lamunannya ketika ia mendengar Swandaru bertanya, “Bagaimana cara Glagah Putih memecahkan batu-batu padas itu?“ Agung Sedayu memang menjadi bingung. Namun kemudian iapun menjawab, “Ia sedang melatih diri. Ia mempergunakan senjata yang merupakan hadiah terbesarnya dari Ki Patih Mandaraka. Sebuah ikat pinggang.“ “Ia memecahkan batu-batu padas dengan ikat pinggang?“ bertanya Swandaru. “Ya. Tetapi sudah tentu tidak sebagaimana kau lakukan. Glagah Putih memecahkan batu-batu padas sedikit demi sedikit seperti seorang mengupas buah-buahan,“ jawab Agung Sedayu dengan jantung yang berdebaran. Tetapi suara lain di dalam hatinya membentaknya, “Kenapa kau tidak berkata berterus-terang?“ Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Jika ia berterus-terang, maka ia menjadi cemas bahwa Swandaru ingin menguji langsung kemampuan Glagah Putih, sementara Glagah Putih yang masih sangat muda dan sedikit terpengaruh oleh kenakalan Raden Rangga itu akan menanggapinya. Meskipun Agung Sedayu tidak mengatakan yang sebenarnya, ternyata Swandaru telah menyahut, “Luar biasa. Masih semuda itu ia telah mempunyai kekuatan yang sangat tinggi. Tetapi sebagian besar dari kemampuannya tentu disebabkan oleh kekuatan yang tersimpan pada pusaka yang diterimanya dari Ki Patih Mandaraka. Glagah Putih tentu tidak akan dapat mempergunakan senjata lain untuk melakukannya, karena dalam senjata itu tidak tersimpan kekuatan yang sangat besar.“ Agung Sedayu mengerutkan dahinya. Namun ia berusaha sedikit menjelaskan, “Tetapi sebagaimana cambuk kita, yang membuat Adi Swandaru mampu memecahkan batu itu, bukannya cambuk itu. Tetapi kekuatan dan kemampuan Adi Swandaru. Dengan pedang pun aku kira Adi Swandaru akan dapat melakukannya, asal dibuat dari baja yang terpilih dan tidak justru patah.“ “Tentu agak lain,“ jawab Swandaru, “Guru memberikan cambuk kepada kita dengan perhitungan kekuatan bahan dan buatannya. Sama sekali bukan senjata yang memiliki kekuatan dukungan tersendiri, sebagaimana ikat pinggang itu.“ Tetapi Agung Sedayu menjawab, “Apapun ujud senjata itu, namun yang berperan akhirnya juga pemiliknya.“ Swandaru termangu-mangu sejenak. Namun ia menjawab, “Kakang tentu pernah mendengar berjenis-jenis senjata pusaka. Bahkan yang tersimpan di keraton pun terdapat beberapa macam benda pusaka, yang mempunyai pengaruh langsung kepada orang-orang yang memilikinya.“ Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun sebagaimana pernah dikatakan oleh beberapa orang tua, bahwa orang-orang yang menguasai senjata itulah yang menentukan. Tentu saja orang-orang yang berpribadi kuat, sehingga teguh kepada pegangan serta sumber hidupnya. Keseimbangan antara senjata dan para pemiliknya merupakan unsur yang menentukan. Dan Agung Sedayu sendiri ternyata dengan penuh keyakinan telah mempergunakan senjata yang tidak termasuk pusaka yang bertuah. Namun dengan kemampuan ilmunya, kepribadiannya yang tegak berpegang kepada sumber hidupnya, maka ia telah mampu melawan orang-orang yang merasa dirinya menggenggam pusaka di tangannya. Tetapi Agung Sedayu tidak menjawab. Ia mengangguk-angguk kecil. Namun Agung Sedayu terkejut ketika tiba-tiba saja Swandaru berkata, “Nah, aku ingin melihat Kakang mempergunakan cambuk yang Kakang terima dari Orang Bercambuk itu. Tentu Kakang tidak boleh kalah dari Glagah Putih yang menjadi murid Kakang itu.“ Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Sudahlah. Lain kali kita bermain-main di dalam sanggar ini, jika waktu kita terluang banyak. Sekarang, barangkali kita mempunyai pekerjaan lain. Aku belum melihat Sekar Mirah pulang. Aku kira tugasnya di rumah Ki Gede sudah selesai.“ Swandaru mengerutkan keningnya. Namun kemudian iapun tertawa, “Kakang selalu mengelak. Tetapi Kakang telah menunjukkan justru kemampuan Glagah Putih, anak ingusan yang berguru kepada Kakang.“ “Glagah Putih tidak hanya mewarisi ilmu dari aliran Ki Sadewa. Tetapi ia juga murid Ki Jayaraga,“ berkata Agung Sedayu. “Sebenarnya Kakang tidak perlu menyembunyikan kenyataan di hadapanku. Kita adalah saudara seperguruan. Kekuranganku adalah kekurangan Kakang. Sebaliknya, kelebihanku adalah kelebihan Kakang. Demikian pula sebaliknya.“ Agung Sedayu justru menjadi berdebar-debar. Tetapi kelemahannya tidak memungkinkannya untuk menyatakan kenyataan tentang dirinya dan tentang adik seperguruannya itu. Yang dikatakannya kemudian adalah, “Kita perlu beristirahat sekarang. Kita akan mendapatkan kesempatan lain untuk melihatnya kelak.“ Swandaru memang menjadi kecewa. Tetapi ia tidak dapat memaksa Agung Sedayu. Ia tidak ingin membuat kakak seperguruannya itu kemudian merasa rendah diri, justru saat-saat tenaganya diperlukan bagi Tanah Perdikan Menoreh. “Ia harus yakin akan dirinya,“ berkata Swandaru di dalam hatinya. “Jika ia tidak menyadari kekurangannya pada saat seperti ini, bukan saja Kakang Agung Sedayu yang akan mengalami kesulitan, tetapi juga anak-anak muda di seluruh Tanah Perdikan.“ Karena itu, maka Swandaru pun kemudian menggulung cambuknya kembali sambil berkata, “Pada kesempatan lain kita akan membuat perbandingan ilmu. Aku kira sudah waktunya, apalagi Guru sudah menjadi semakin tua, sementara kita masih jauh dari cukup memahami ilmu yang tertulis di dalam kitab yang diberikan oleh Guru kepada kita.“ “Jangankan memahami,“ berkata Agung Sedayu, “satu bab pun kita belum sempat mencapai intinya. Tentu memerlukan waktu.“ Swandaru mengerutkan keningnya. Tetapi menurut pendapatnya, Agung Sedayu tentu tidak dengan sengaja menyindirnya, karena Swandaru sendiri sebenarnya merasa bahwa ilmu cambuknya masih harus dikembangkan dan disempurnakan untuk memasuki inti ilmunya itu. “Kakang Agung Sedayu akan dapat menyebut ilmuku jika ilmunya sendiri mampu melampauiku,“ berkata Swandaru di dalam hatinya. “Yang dikatakan itu memang mirip sebuah keluhan. Nampaknya lebih banyak ditujukan kepada dirinya sendiri.“ Tetapi Swandaru tidak menjawab lagi. Ketika kemudian Agung Sedayu mempersilahkannya untuk pergi ke pendapa, maka mereka pun telah keluar dari sanggar, sementara Swandaru sempat meraba sejenis senjata yang jarang dipergunakan. Sebuah kapak bermata dua, berujung tombak dan bertangkai agak panjang. Juga sebuah pedang yang lengkung dan tajamnya luar biasa, tergantung di dinding tanpa sarung. Tetapi Swandaru berdesis sambil mengamati pedang itu, “Apakah pedang ini tidak mudah patah?“ Agung Sedayu menggeleng. Jawabnya, “Tidak. Tetapi tentu membutuhkan satu cara penggunaan yang khusus, yang perlu dipelajari tersendiri. Unsur-unsur gerak yang dipergunakan harus disesuaikan dengan watak senjata itu sendiri, sebagaimana kapak bermata dua dan berujung tombak itu. Di sudut itu ada pula sejenis senjata yang jarang dipergunakan di sini. Dua batang tongkat pendek yang dihubungkan dengan rantai.“ Swandaru mengangguk-angguk. Sementara itu Agung Sedayu berkata, “Ki Jayaraga-lah yang telah mempelajarinya dengan modal pengetahuan kecil yang diperolehnya dari seorang sahabatnya yang pernah mengembara. Ia mencoba mengembangkannya. Namun ternyata ia tidak mendapatkan banyak kemajuan, sehingga akhirnya minatnya telah hilang. Senjata itu seperti senjata-senjata asing yang lain, yang sekedar menjadi kumpulan senjata di sini. Ki Jayaraga masih sanggup untuk mengambil lagi beberapa jenis senjata yang disembunyikan di tempat yang tidak mudah ditemukan oleh siapapun.“ “Siapakah sebenarnya orang itu?“ bertanya Swandaru, “Nampaknya ia tidak banyak diketahui asal-usulnya.“ “Ya. Tetapi aku percaya kepadanya. Sikapnya, tingkah lakunya selama ia berada di sini, menunjukkan bahwa ia bukan seorang yang pantas di curigai. Ia hampir tidak pernah meninggalkan Tanah Perdikan ini sejak ia berada di sini. Ia memang pernah pergi satu dua hari. Lalu kembali. Paling lama sepekan. Antara lain untuk mengambil jenis-jenis senjata yang disimpannya,“ berkata Agung Sedayu. Lalu berkata pula, “Guru juga mempercayainya.“ Swandaru mengangguk-angguk pula. Tetapi ia tidak bertanya lagi. Sejenak kemudian mereka berada di pendapa. Ternyata di pendapa telah tersedia makanan yang agaknya dikirim oleh Sekar Mirah bagi Agung Sedayu dan Swandaru. Agaknya Sekar Mirah tidak dapat segera kembali karena masih ada yang harus dikerjakan di rumah Ki Gede. Karena itu, maka pembantu di rumah Agung Sedayu itu harus masak sendiri hasil buruannya semalam di pliridan. Tetapi ia sudah sering melakukannya. Tetapi ternyata dugaan Agung Sedayu bahwa Sekar Mirah tidak segera kembali itu keliru. Baru saja mereka mulai menghiruip minuman dan mencicipi makanan, maka mereka telah melihat Sekar Mirah memasuki halaman, rumah justru bersama Kiai Gringsing. Karena itu. maka dengan tergesa-gesa kedua orang muridnya telah menyongsongnya dan mempersilahkannya untuk naik ke pendapa. “Kami sudah bersiap-siap untuk pergi ke rumah Ki Gede,“ berkata Swandaru. “Aku kira kalian justru tidur nyenyak,“ desis Kiai Gringsing sambil tersenyum, “bukankah kalian semalam suntuk tidak tidur? Apalagi Swandaru yang menempuh perjalanan jauh, sehingga tentu menjadi letih dan kantuk.“ “Kami tidak merasa apa-apa Guru,“ jawab Swandaru, “apalagi setelah kami mandi. Rasa-rasanya tubuh kami telah menjadi segar kembali.“ Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Sambil naik ke pendapa dan kemudian duduk bersama Agung Sedayu dan Swandaru ia berkata, “Kalian memang memiliki daya tahan tubuh yang luar biasa.“ “Kami adalah murid Guru,“ jawab Swandaru. Tetapi Swandaru menjadi agak kecewa ketika Kiai Gringsing berkata, “Tetapi anak-anakku. Sebenarnya kalian tidak perlu menghambur-hamburkan tenaga seperti ini. Aku percaya bahwa kalian mempunyai daya tahan yang tinggi. Tetapi dalam keadaan yang tidak memaksa, kalian tidak perlu melakukannya, karena pada suatu saat kalian sangat memerlukannya. Tetapi jika terasa tidak mengganggu, maka hal itu pun tidak berpengaruh apa-apa.“ “Aku tidak merasa terganggu sama sekali, Guru,“ jawab Swandaru. Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Tetapi iapun berkata, “Namun bagaimanapun juga, jika kalian memerlukan istirahat, serta ada waktu untuk melakukannya, sebaiknya kalian lakukan.“ “Kami pun telah beristirahat sebaik-baiknya Guru,“ jawab Swandaru. “Syukurlah,“ berkata’Kiai Gringsing. Namun sementara itu Sekar Mirah telah pula keluar ke pendapa dan duduk bersama mereka setelah menjenguk ke dapur. “Apakah pekerjaanmu sudah selesai?“ bertanya Agung Sedayu. “Belum. Tetapi makan pagi telah terbagi ke seluruh pasukan yang bertugas. Perempuan-perempuan yang ada di rumah Ki Gede dan di Banjar sedang masak untuk makan siang. Sementara itu telah dibagi tugas. Para pengawal di padukuhan-padukuhan akan mendapat makan dari padukuhan mereka masing-masing. Di setiap banjar padukuhan, perempuan-perempuan dari padukuhan itu sendiri akan masak bagi anak-anak muda mereka, sehingga dengan demikian tugas di banjar dan rumah Ki Gede bagi perempuan-perempuan di padukuhan induk ini menjadi lebih ringan. Namun bagi para pengawal khusus yang bertugas bagi Tanah Perdikan ini dan sekitarnya, memang dikirim dari padukuhan induk.“ Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, “Satu cara yang baik. Dimana Glagah Putih?“ “Masih di rumah Ki Gede. Ki Waskita dan Ki Jayaraga yang berada di rumah Ki Gede sedang berjalan-jalan. Mungkin nanti mereka akan singgah pula kemari, karena mereka tahu Kiai Gringsing ada di sini,“ jawab Sekar Mirah. Kiai Gringsing tersenyum. Katanya, “Ya. Dan aku sudah berjanji bahwa aku akan menunggu mereka di sini.“ “Ki Waskita nampaknya sudah begitu rindu kepada Tanah Perdikan ini. Sawahnya, ladangnya dan parit-paritnya yang tidak pernah kering. Karena itu Ki Waskita tidak bersama-sama dengan Kiai Gringsing datang kemari. Tetapi kami berpisah di luar regol padukuhan induk,“ berkata Sekar Mirah pula. “Mereka memberi kesempatan kepadaku, jika ada pembicaraan yang penting di antara aku dan murid-muridku,“ berkata Kiai Gringsing. “Meskipun aku mengatakan bahwa tidak ada yang penting, tetapi sebaiknya aku membiarkan mereka berjalan-jalan lebih dahulu.“ “Memang tidak ada yang penting,“ berkata Swandaru, “tetapi kesempatan seperti ini jarang terjadi. Aku dan Kakang Agung Sedayu berada di tempat yang terpisah. Demikian pula Guru. Ternyata dalam kesempatan ini kita dapat bertemu.“ “Kau mempunyai tanggung jawab sendiri di Sangkal Putung, Swandaru, sementara Agung Sedayu mempunyai tugas dan kewajiban di sini. Karena itu, kalian memang tidak dapat berkumpul sebagaimana dua orang saudara sekandung. Di masa kanak-kanak mereka selalu bermain bersama. Kadang-kadang bertengkar, namun kemudian menjadi berbaik kembali. Namun setelah dewasa, maka mereka pun akan berpisah. Mereka akan pergi ke tempat tugas dan kewajiban mereka masing-masing,“ berkata Kiai Gringsing. “Bukankah dengan demikian justru pertemuan seperti ini menjadi penting?“ desis Swandaru. “Ya, ya. Aku mengerti maksudmu. Tetapi bukankah kita mempunyai waktu? Aku memang ingin berbicara dengan kalian berdua. Tetapi sebentar lagi, Ki Waskita dan Ki Jayaraga akan datang. Mereka tentu tidak akan dapat memperhitungkan dengan tepat, seberapa lama kita membutuhkan waktu untuk berbicara. Apalagi aku memang sudah terlalu tua. Apapun yang aku lakukan, namun jalanku sudah pasti.“ Agung Sedayu dan Swandaru termangu-mangu sejenak. Namun kemudian sambil menarik nafas dalam-dalam Agung Sedayu pun berkata, “Kami memang masih mempunyai waktu, Guru. Bukankah Guru sudah memutuskan untuk tinggal barang satu dua hari?“ Kiai Gringsing mengangguk. Katanya, “Bukan maksudku menunda-nunda pekerjaan yang dapat diselesaikan hari ini, karena hal yang demikian dapat berakibat kurang baik. Tetapi mungkin karena ketuaanku, dalam setiap langkah rasa-rasanya aku harus benar-benar mempersiapkan diri.“ Swandaru menundukkan kepalanya. Sebenarnya ia ingin segalanya berjalan cepat. Yang dapat dilakukan saat itu, sebaiknya dilakukan. Yang ternyata tidak, barulah dipersiapkan kemudian. “Kakang Agung Sedayu memang akan banyak kehilangan waktu dengan cara yang demikian,“ berkata Swandaru di dalam hatinya, “Tetapi itu sudah sifatnya. Karena itu pula maka ia tidak dengan cepat meningkatkan ilmunya, meskipun aku sudah membiarkan kitab dari Guru itu ada di sini. Agaknya ia lebih mengagumi kemampuan bidiknya daripada menyempurnakan ilmu cambuknya. Sementara itu ilmu bidiknya itu hampir tidak banyak berarti dalam benturan kekerasan di dunia olah kanuragan. Kecuali jika Kakang Agung Sedayu sudah puas menjadi seorang pemburu yang baik, sehingga akan mampu memanah burung pipit di puncak pohon yang tinggi sekalipun.“ Namun ia tidak dapat memaksa gurunya untuk berbuat lain. Apalagi setelah gurunya mulai berbicara tentang perkembangan Tanah Perdikan yang dinilainya memang agak lamban dibandingkan dengan Sangkal Putung. “Mungkin karena Tanah Perdikan ini tidak memiliki tanah sesubur Kademangan Sangkal Putung,“ berkata Kiai Gringsing. “Di beberapa bagian dari ngarai tanahnya memang baik. Sawah terbentang luas dan selalu basah. Tetapi ada bagian lain yang memang tandus dan kurang memberikan kemungkinan untuk dikembangkan.“ “Penanganannya memang harus lain,“ berkata Swandaru, “cara di Kademangan Sangkal Putung belum tentu dapat ditrapkan di sini, yang mempunyai beberapa bagian tanah pegunungan. Agaknya Tanah Perdikan ini sebaiknya berpikir untuk memperluas tanah garapan bagi para petani.“ “Kami sudah mencoba melakukannya,“ berkata Agung Sedayu, “memperluas tanah garapan. Tetapi kami harus memperhitungkan luas hutan yang harus tersisa. Sementara itu, kami pun telah mencoba untuk menanami lereng-lereng pegunungan gundul dengan jenis-jenis tanaman yang kami anggap sesuai.“ “Aku melihat hasilnya,“ berkata Kiai Gringsing, “memang tidak akan dapat dilihat dengan cepat. Tetapi perkembangannya sudah nampak.“ “Terima kasih Guru,“ jawab Agung Sedayu, “kami di sini akan berusaha lebih baik lagi.“ “Tetapi memang ada bedanya, bukan saja sasaran garapan,“ berkata Swandaru, “tetapi sumber penggerak itu sendiri. Aku tentu merasa bertanggung jawab mutlak atas perkembangan Kademangan Sangkal Putung. Agak berbeda dengan Kakang Agung Sedayu di sini.“ Terasa telinga Agung Sedayu memang menjadi panas. Tetapi seperti biasanya ia selalu mencoba untuk mengendalikan dirinya. Namun ternyata Sekar Mirah-lah yang menyahut, “Apakah Kakang Swandaru mengira bahwa Kakang Agung Sedayu tidak bersungguh-sungguh?“ “Bukan begitu,“ jawab Swandaru, “tetapi perbedaan kedudukan antara aku dan Kakang Agung Sedayu tentu berpengaruh. Aku dapat bertindak langsung sesuai dengan penalaranku tanpa harus berbicara dengan siapapun, karena Ayah sudah memberikan wewenang itu. Tetapi Kakang Agung Sedayu tidak.“ Wajah Sekar Mirah menjadi merah. Tetapi sebelum ia menjawab, Kiai Gringsing telah menengahi, “Yang dikatakan oleh Swandaru adalah sekedar tentang wewenang yang ada di tangan Swandaru dan Agung Sedayu. Namun tanggung jawab dan kemauan bekerja memang harus dibedakan. Tetapi sudahlah, kita dapat berbicara tentang banyak hal yang lebih berarti daripada wewenang. Nanti malam aku akan tidur di rumah ini. Dengan demikian kita akan sempat berbicara seberapa panjang kita akan berbicara, tentang sebuah perguruan kecil yang tidak berarti apa-apa di dunia olah kanuragan ini.“ Swandaru termangu-mangu sejenak. Namun iapun kemudian mengangguk-angguk. Ia merasa bahwa setiap kali gurunya telah membantu Agung Sedayu, justru pada saat-saat ia ingin mendorong agar kakak seperguruannya itu menyadari kelemahannya sendiri. Namun Swandaru kemudian tidak memaksakan pembicaraan apapun lagi. Yang kemudian ditanyakan oleh Kiai Gringsing adalah justru kapan mereka akan kembali. “Bukankah kita akan kembali tidak lebih dari besok?“ jawab Swandaru yang masih merasakan sesuatu yang bergejolak di dalam hatinya, “Meskipun seandainya besok siang sekalipun, karena kita tidak terikat untuk berangkat pagi hari.“ Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Besok kita akan berangkat setelah matahari turun. Kita tidak akan menjadi silau karena kita akan membelakangi matahari.“ Dalam pada itu, maka seperti yang telah dijanjikan, telah memasuki halaman rumah itu Ki Waskita dan Ki Jayaraga. Dengan tergesa-gesa Agung Sedayu telah menyongsongnya dan mempersilahkan mereka duduk di pendapa. Sementara Sekar Mirah mohon diri untuk pergi ke dapur. Untuk beberapa saat lamanya mereka berbincang-bincang. Mereka sempat mengenang masa muda mereka masing-masing. Kiai Gringsing dan Ki Waskita menjelang hari-hari tuanya banyak berhubungan dan bekerja bersama, sehingga mereka sempat bercerita tantang masa-masa itu. Ki Jayaraga yang hadir terakhir di Tanah Perdikan itu hanya dapat mendengarkan. Sekali-sekali ikut tertawa jika terjadi hal-hal yang lucu. Namun kadang-kadang keningnya ikut berkerut jika kedua orang tua itu bercerita tentang ketegangan-ketegangan yang terjadi. Namun sejenak kemudian Sekar Mirah telah menghidangkan minuman dan makanan bagi tamu-tamunya. Tetapi orang-orang tua yang ada di pendapa itu menghindar ketika mereka dipersilahkan untuk makan, karena mereka tahu, Sekar Mirah sudah menyediakan makan bagi mereka di rumah Ki Gede. “Aku ada di sini sekarang,“ berkata Sekar Mirah. Tetapi Ki Waskita menyahut, “Meskipun kau di sini, tetapi kau tentu sudah meninggalkan pesan. Nanti Ki Gede kecewa jika kami tidak bersedia menemaninya makan. Bahkan dengan Ki Jayaraga.“ Karena itulah, maka lewat tengah hari, Ki Waskita telah minta diri untuk kembali ke rumah Ki Gede. Bahkan bersama Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga. Yang tinggal di rumah Agung Sedayu adalah Swandaru, sehingga yang kemudian mendapat suguhan makan dengan kendo udang adalah Swandaru. Sementara itu para pengawalnya telah mendapat kiriman makan satu jodang dari rumah Ki Gede. Tetapi Sekar Mirah sendiri tetap berada di rumahnya untuk mengawani suami dan kakaknya makan siang. Setelah makan, Swandaru memang benar-benar ingin beristirahat. Tetapi ia tidak mau beristirahat di ruang dalam. Ia memilih di gandok bersama dengan para pengawalnya. “Silahkan beristirahat Kakang,“ berkata Sekar Mirah, “aku akan kembali ke rumah Ki Gede. Sekedar menunggui perempuan-perempuan yang masih sibuk. Kakang Agung Sedayu akan berada di rumah sampai sore. Kecuali jika Ki Gede memanggilnya.“ “Silahkan,“ berkata Swandaru, “juga Kakang Agung Sedayu jika mempunyai tugas, tinggalkan saja aku di sini. Aku memang ingin beristirahat di antara orang-orangku.“ Tetapi Agung Sedayu pun berkata, “Aku juga akan beristirahat di rumah.“ Dengan demikian, maka hanya Sekar Mirah sajalah yang pergi ke rumah Ki Gede untuk melakukan tugasnya. Bersama-sama dengan perempuan-perempuan di padukuhan induk menyiapkan makan bagi para pengawal yang bertugas tersebar di seluruh Tanah Perdikan. Dalam pada itu, kehidupan di Tanah Perdikan Menoreh telah mulai menjadi tenang. Anak-anak telah bermain kembali di halaman, sementara yang telah mengungsi dari satu padukuhan ke padukuhan lain pun telah kembali. Meskipun pasar masih tetap sepi, namun di jalan-jalan mulai nampak orang berjalan dari satu rumah ke rumah yang lain. Namun demikian, di bulak-bulak panjang, para pengawal masih saja hilir mudik mengamati keadaan. Bukan saja para pengawal berkuda, tetapi para petugas sandi pun berkeliaran di daerah perbatasan. Beberapa kademangan di sekitar Tanah Perdikan yang ikut terguncang karena peristiwa yang terjadi di Tanah Perdikan itu pun telah menjadi tenang pula. Ki Gede telah mengirimkan beberapa orang bebahu untuk menghubungi kademangan-kademangan itu, memberikan penjelasan apa yang sebenarnya terjadi di Tanah Perdikan. Kepada kademangan yang mengalami kerugian karena peristiwa itu, Ki Gede bersedia untuk memberikan bantuan sekedarnya. Tetapi kademangan-kademangan itu menolak. Mereka menganggap bahwa Tanah Perdikan sama sekali tidak bersalah. “Tanah Perdikan sendiri mengalami kerugian yang besar. Sawah yang terinjak-injak, bangunan yang rusak dan kehidupan yang terguncang. Yang sulit dinilai adalah jatuhnya beberapa orang korban di antara anak-anak terbaik dari Tanah Perdikan itu,“ berkata para pemimpin kademangan itu. Bahkan bagi mereka, Tanah Perdikan itu akan dapat menjadi tempat untuk bernaung jika terjadi sesuatu di kademangan mereka masing-masing. Di sore hari, ketika matahari telah menjadi rendah, Swandaru telah mengajak Agung Sedayu untuk melihat-lihat keadaan Tanah Perdikan itu. Berkuda keduanya berkunjung dari satu padukuhan ke padukuhan yang lain. Ternyata masih banyak yang dapat langsung mengenali Swandaru, meskipun di antara mereka sudah lama tidak bertemu. Dalam kesempatan itu Swandaru telah melihat-lihat pula usaha Tanah Perdikan untuk menghutankan tanah yang semula gundul di lereng-lereng pegunungan. Usaha untuk mengatasi lereng yang sering longsor, turun menimpa padukuhan-padukuhan di musim hujan. Usaha Agung Sedayu dan anak-anak muda Tanah Perdikan untuk membuat sawah bertingkat di tanah miring, namun yang dapat diairi dari daerah perbukitan, serta daerah rumput yang tersebar untuk memberikan tempat para gembala menggembalakan ternak mereka. Meskipun tidak dikatakan, ternyata Swandaru telah melihat langsung kemajuan di Tanah Perdikan yang dianggapnya lamban itu. Menjelang senja, maka keduanya telah kembali ke rumah Agung Sedayu. Ternyata beberapa saat kemudian, ketika langit mulai gelap, Kiai Gringsing pun telah datang pula bersama Ki Jayaraga. “Apakah Ki Waskita tidak datang pula?“ bertanya Agung Sedayu. “Ki Waskita mengawani Ki Gede berbincang,“ jawab Ki Jayaraga. Agung Sedayu tidak bertanya lagi. Sementara itu Glagah Putih dan Sekar Mirah telah berada di rumah itu pula. Seperti yang direncanakan oleh Kiai Gringsing, maka setelah minum minuman hangat dan makan beberapa potong makanan, maka Kiai Gringsing pun berkata, “Marilah, kita pergunakan kesempatan ini untuk berbincang-bincang. Khusus tentang perguruan kecil kita. Sudah tentu jika kita menyebut perguruan kecil kita, bukan berarti sebuah padepokan kecil di Jati Anom. Itu hanya ujud lahiriah dari sebuah perguruan.“ Ki Jayaraga yang menyadari kedudukannya telah berkata, “Silahkan. Nampaknya kalian memerlukan tempat tersendiri. Mungkin kalian dapat berbicara di sanggar, sehingga tidak akan diganggu oleh orang lain.” Kiai Gringsing tersenyum. Katanya, “Terima kasih Ki Jayaraga. Aku kira tempat itu cukup baik untuk berbicara secara khusus.“ “Marilah Guru,“ berkata Agung Sedayu, “kita pergi ke sanggar. Biarlah Glagah Putih mempersiapkan tempat, dan barangkali perlu lampu yang lebih terang.“ “Untuk apa?“ Kiai Gringsing justru bertanya, “Jika sudah ada lampunya, meskipun tidak terlalu terang, aku kira tidak menjadi soal.“ Tetapi ternyata bahwa Glagah Putih selain membersihkan sanggar, khususnya yang akan dipergunakan untuk duduk berbincang, juga telah menyalakan lagi lampu yang lebih terang dari yang sudah terpasang. Demikianlah, maka beberapa saat kemudian, Kiai Gringsing dan kedua orang muridnya telah berada di dalam sanggar. Mereka memang ingin berbicara secara khusus, karena kesempatan untuk bertemu semakin lama ternyata menjadi semakin jarang. “Kita hanya memanfaatkan waktu,“ berkata Kiai Gringsing kemudian, “tidak ada bahan pembicaraan khusus yang ingin aku sampaikan kepada kalian.“ “Guru,“ Swandaru-lah yang menyahut, “aku justru ingin mengusulkan, dalam kesempatan ini sebaiknya kami, murid-murid Guru, mengadakan perbandingan ilmu. Dengan demikian Guru masih mempunyai kesempatan untuk memberikan petunjuk dan arah kepada kami untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan yang telah kami perbuat.“ Agung Sedayu memang menjadi berdebar-debar. Setiap kali ia memasuki sebuah pembicaraan tentang ilmu, maka ia telah menjadi gelisah. Namun Kiai Gringsing yang telah menjawab, “Aku tidak akan dengan tergesa-gesa sampai ke sana. Sebenarnya, sebagai Guru, aku telah mengetahui tataran ilmu kalian masing-masing. Aku tahu pasti perbandingan ilmu di antara kalian, meskipun kalian tidak menunjukkan kepadaku dengan cara apapun juga. Karena perbandingan ilmu dengan cara yang dapat kita lakukan di sini tentu bukan batas kemampuan ilmu yang sebenarnya, karena masing-masing masih harus menahan diri dan menjaga agar yang lain tidak mengalami cedera. Namun berbeda dengan aku, aku telah melihat bagaimana Agung Sedayu bertempur di medan perang dengan mengerahkan segenap kemampuannya. Aku pun pernah melihat Swandaru memperagakan kemampuannya dengan menunjukkan batas-batas tingkat ilmunya.“ Swandaru mengerutkan keningnya. Tetapi sebelum ia mengatakan sesuatu, Kiai Gringsing telah berkata, “Yang ingin aku katakan kepada kalian pada kesempatan ini adalah justru hasil pengamatanku itu.“ Agung Sedayu memang menjadi semakin berdebar-debar. Namun Swandaru telah mendesak, “Kami memang sangat menunggu Guru.“ “Aku melihat kalian berada di simpang jalan,“ berkata Kiai Gringsing, “kalian telah menempuh pilihan yang berbeda dalam meningkatkan ilmu kalian. Agung Sedayu ternyata tidak mengikuti satu jenis ilmu. Tetapi ia merambah ke berbagai jenis ilmu, sehingga dengan demikian Agung Sedayu menguasai beberapa jenis ilmu yang ujud pengungkapannya berbeda-beda. Tetapi Swandaru telah menekuni satu jenis ilmu. Ilmu yang memang menjadi ciri perguruan yang menganut aliran Orang Bercambuk. Karena itu, maka Swandaru mampu menunjukkan kemampuan ilmu cambuk dengan sangat mengagumkan.“ “Guru,“ Swandaru memotong, “manakah yang lebih baik menurut Guru?“ “Aku tidak dapat mengatakan mana yang lebih baik, karena ternyata masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangannya,“ berkata Kiai Gringsing, “namun satu kenyataan, bahwa di dunia olah kanuragan telah terdapat berbagai macam ilmu yang berbeda-beda menurut aliran masing-masing. Bermacam-macam ilmu itu harus mendapat tanggapan dengan cara yang berbeda-beda pula.“ “Jadi menurut Guru, cara yang ditempuh Kakang Agung Sedayu itu lebih baik, meskipun hanya sepotong-sepotong dari berbagai jenis ilmu?“ bertanya Swandaru. “Bukan begitu,“ berkata Kiai Gringsing, “aku ingin menganjurkan kepada kalian berdua. Dengar. Kewajiban kalian hanya mendengar. Aku adalah guru kalian.“ Kiai Gringsing berhenti sejenak. Ternyata dalam usianya yang tua itu, ia masih dapat bersikap mantap. Kedua murid Kiai Gringsing itu saling berpandangan sejenak. Namun seperti yang dikatakan oleh gurunya, mereka hanya dapat mendengarkan. Sejenak Kiai Gringsing terdiam. Dipandanginya kedua orang muridnya berganti-ganti, sehingga keduanya pun kemudian telah menundukkan kepalanya. “Anak-anakku,“ berkata Kiai Gringsing kemudian, “aku tidak mengatakan bahwa cara yang kalian tempuh yang satu lebih baik dari yang lain. Tetapi aku ingin mengatakan, bahwa kedua-duanya mempunyai kelemahan. Swandaru yang hanya mengenal satu jenis ilmu betapapun tinggi pemahamannya, bahkan seandainya sudah sampai ke inti ilmu cambuk itu, namun masih terdapat kelemahan. Tanpa mengenal jenis ilmu yang lain, maka Swandaru kurang memiliki bekal apabila ia benar-benar terjun ke dunia olah kanuragan. Untuk menanggapi berbagai jenis ilmu, maka Swandaru pun harus memiliki berbagai jenis bekal yang cukup. Kemudian dengan puncak ilmu cambuknya maka Swandaru akan mendapat kesempatan mengakhiri perlawanan lawan-lawannya. Tetapi tanpa mengenal ilmu yang lain, maka kau akan menjadi sangat miskin menghadapi dunia dalam segala bantuknya. Kau akan tampil dengan bekal yang itu-itu juga, sehingga setiap orang akan mengenalinya, dan dengan mudah membaca kelemahan-kelemahanmu. Sebaliknya, dengan mempelajari seribu jenis ilmu sekalipun, jika semuanya hanya mengambang tanpa kedalaman, maka hal itu pun tidak berarti sama sekali. Dalam benturan ilmu, maka betapapun banyaknya ilmu yang ditampilkan, namun semuanya akan dapat ditembus lawan dengan mudah. Bahkan dalam saat-saat yang menentukan, ia tidak akan memiliki alat pemukul yang mematikan.“ Kiai Gringsing berhenti sejenak, lalu katanya, “Karena itu, aku ingin mengatakan kepadamu Swandaru, jangan terlalu yakin akan ilmu cambukmu. Kau harus berusaha untuk melengkapinya dengan jenis-jenis ilmu yang lain, yang dapat kau pelajari dari kitab yang pernah aku berikan kepada kalian berdua. Jangan hanya melihat ke permukaan dari setiap persoalan yang dikemukakan di dalam kitab itu. Tetapi kau harus menyusup ke kedalamannya. Apalagi ilmu cambuk yang kau jadikan puncak ilmu yang kau miliki. Terus terang, bahwa kau masih saja terbatas pada unsur kewadagan. Kau memang sudah memasuki laku untuk menyusup ke kedalaman, tetapi baru pada mulanya. Kau harus mempelajarinya lagi, kau harus menjalani laku yang barangkali cukup berat untuk mencapai inti ilmu cambukmu. Di samping itu, kau harus mengenali jenis-jenis ilmu yang lain, untuk menanggapi keanekaan dunia olah kanuragan.“ Sekali lagi Kiai Gringsing berhenti sejenak. Lalu katanya lagi, “Dan kau Agung Sedayu. Kau tidak boleh sekedar bergerak mendatar. Menjelajahi jenis-jenis ilmu yang luas, tetapi tanpa memilih satu di antaranya. Akan lebih baik jika kau dalami ciri perguruan kita, ilmu cambuk. Kau pun harus menjalani laku, sehingga kau akan memperoleh kedalaman ilmu yang sangat kau perlukan. Bahkan sekaligus ciri dari sebuah perguruan.“ Ketika kemudian Kiai Gringsing berhenti lagi berbicara, maka Agung Sedayu dan Swandaru menjadi termangu-mangu. Tetapi mereka belum berani mengatakan sesuatu. Mereka masih menunggu Kiai Gringsing meneruskan. Sebenarnyalah Kiai Gringsing berkata, “Aku masih mempunyai waktu sedikit. Seandainya aku tidak dapat melihat kalian sampai batas sebagaimana yang aku katakan, tetapi aku ingin melihat kalian mulai menjalani laku itu. Apapun alasan kalian, tetapi aku minta kalian melakukannya. Kecuali jika kalian tidak lagi menganggap aku sebagai seorang guru. Aku tidak dapat membiarkan kalian seperti sekarang ini, menuruti pilihan kalian sendiri. Tetapi pada saat-saat terakhir dari hidupku, aku dibebani kewajiban untuk memberikan penilaian atas kalian.“ Agung Sedayu mengangguk-angguk kecil, sementara Swandaru menjadi gelisah. “Nah,“ berkata Kiai Gringsing, “sekarang, siapa di antara kalian yang akan bertanya, bertanyalah.“ “Guru,“ Swandaru-lah yang bertanya untuk pertama kali, “apakah menurut Guru, ilmu cambukku masih terlampau dangkal?“ “Ya,“ jawab Kiai Gringsing tegas. “Seandainya tidak terlalu dangkal, maka ilmumu masih terbatas pada permukaan. Pada ujud dan kekuatan kewadagan. Kau akan tahu itu jika kau berulang kali mempelajari kitab itu. Kau terlalu puas dengan pencapaianmu, sehingga nampaknya kitab itu tidak berarti bagimu.“ Wajah Swandaru menjadi merah. Tetapi ia berhadapan dengan gurunya, sehingga bagaimanapun juga ia harus menahan diri. Sementara itu Kiai Gringsing berkata, “Aku minta kau memasuki tingkat berikutnya, khusus dalam ilmu cambuk. Kemudian jenis-jenis ilmu yang lain yang barangkali penting kau pelajari. Kau tidak usah mendalami jenis ilmu yang lain sebagaimana ilmu cambuk. Tetapi kau perlu mengenali kekuatan alam yang dapat kau sadap. Sudah tentu bukan lewat kekuatan kewadagan. Tetapi getaran dari inti kekuatan itulah yang kau serap di dalam dirimu.“ Swandaru mengerutkan keningnya. Sejak semula ia tidak tertarik kepada persoalan-persoalan yang rumit seperti itu. Namun ternyata gurunya bukan saja menyarankan, tetapi rasa-rasanya yang dikatakan itu adalah perintah. Apalagi ketika Kiai Gringsing berkata, “Lakukanlah sebaik-baiknya. Jika kau gagal, maka kau adalah muridku yang gagal pula.“ Swandaru tidak mengira bahwa gurunya akan berkata sekeras itu. Selama ini ia sudah sangat berbangga dengan ilmunya. Namun ternyata gurunya merasa sangat kecewa. Tetapi kemudian Kiai Gringsing berkata pula, “Dan kau Agung Sedayu. Banyak hal yang harus kau perhatikan.“ Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu, Kiai Gringsing berkata selanjutnya, “Kau tidak perlu merambah puluhan jenis-jenis ilmu. Tetapi kau harus mempunyai satu kekuatan yang akan dapat diandalkan untuk menyelesaikan persoalan. Seperti aku katakan, kau harus meletakkan ciri perguruanmu di atas segala macam ilmu yang kau kuasai. Seperti Swandaru, maka kau harus mempelajari tingkat-tingkat selanjutnya, sesuai dengan tataran yang tertulis di dalam kitab yang aku tinggalkan bagi kalian berdua.“ Agung Sedayu sama sekali tidak menjawab. Tetapi kepalanya tertunduk dalam-dalam. Dalam pada itu, Kiai Gringsing masih berkata selanjutnya, “Dalam waktu dekat kalian tidak perlu mengadakan perbandingan ilmu. Dunia kanuragan akan mengatakan kepada kalian, sampai di tingkat yang manakah kalian berdiri pada suatu saat. Tetapi aku tidak bermaksud memerintahkan kalian menjadi pengembara, apalagi petualang, untuk mencoba-coba kemampuan ilmu kalian. Justru kalian harus menjauhi kemungkinan benturan kekerasan. Hanya dalam keadaan terpaksa kalian mempergunakan kekerasan. Karena sebenarnyalah kekerasan bukan alat yang terbaik untuk menyelesaikan masalah. Tetapi dalam keadaan terpaksa, kemampuan ilmu yang kalian miliki akan dapat kalian pergunakan untuk melawan segala bentuk kejahatan serta sikap yang bertentangan dengan kebenaran dan keadilan.“ Kiai Gringsing’berhenti sejenak. Kemudian katanya, “Nah, dalam langkah-langkah yang akan kalian tempuh, kalian harus selalu mendekatkan diri kepada Sumber Hidup kalian. Mohon petunjuk-Nya, serta dengan tulus percaya bahwa hanya kehendak-Nya sajalah yang akan terjadi, karena sebenarnyalah apa yang datang dari pada-Nya adalah baik adanya.“ Kedua orang murid Kiai Gringsing itu mengangguk-angguk kecil. Betapapun sakit hati Swandaru, tetapi ia merasa bahwa peringatan gurunya tidak semata-mata ditujukan kepadanya, tetapi juga kepada Agung Sedayu. Gurunya memang cukup bersikap keras terhadapnya dan terhadap Agung Sedayu. Ternyata Kiai Gringsing itu masih berkata pula, “Anak-anakku. Kau harus menyadari, bahwa umurku tentu tidak akan panjang lagi. Bahkan berarti aku mendahului kepastian Yang Maha Agung, tetapi justru aku menyadari. bahwa tidak ada arah lain dari setiap kehidupan daripada dipanggil kembali oleh Penciptanya. Karena itu, dalam kesempatan yang sempit ini, aku akan selalu melihat perkembangan kalian. Apakah kalian melakukan perintahku atau tidak. Aku tidak akan memberikan hukuman apapun bagi kalian jika kalian mengingkari perintahku. Tetapi kalian tentu akan menyesali langkah kalian itu.“ Agung Sedayu dan Swandaru hanya mengangguk-angguk saja. Agaknya tidak ada lagi yang dapat mereka kemukakan kepada guru mereka, apalagi menilik kata-kata-nya, guru mereka itu sedang bersikap agak lain dari sikapnya sehari-hari. Kiai Gringsing nampak sebagai seorang guru yang kecewa melihat perkembangan ilmu murid-muridnya. Justru pada saat umurnya yang sudah terlalu tua. Namun sejenak kemudian Kiai Gringsing itu pun berkata, “Agaknya tidak ada lagi yang akan aku katakan. Tidak ada pula persoalan yang dapat kalian kemukakan. Aku hanya minta kalian lakukan perintahku kali ini, menjelang hari-hariku terakhir.“ Agung Sedayu dan Swandaru memang tidak dapat mengatakan sesuatu selain menundukkan kepalanya. Namun dalam pada itu, Swandaru berkata kepada dirinya sendiri, “Aku hanya tinggal melangkah satu langkah lagi. Aku harus mempelajari dan menempuh laku tingkat berikutnya ilmu cambuk yang tertulis dalam kitab Guru. Tetapi kakang Agung Sedayu tentu masih harus mempelajarinya lebih banyak. Dua atau tiga tataran, khususnya ilmu cambuk. Nampaknya perintah guru kali ini akan benar-benar dijalani oleh Kakang Agung Sedayu.“ Tetapi sementara itu dahi Swandaru pun telah berkerut ketika ia teringat pesan gurunya untuk mempelajari pula, meskipun hanya pada tingkat permulaan, beberapa jenis ilmu yang lain, untuk menghadapi seribu macam jenis dan bentuk ilmu kanuragan yang mungkin akan dijumpainya. “Tetapi itu pun perintah.“ Namun katanya kepada diri sendiri, “Tetapi tidak terlalu mengikat seperti perintah Guru, ciri ilmu perguruan ini.“ Dalam pada itu, Kiai Gringsing pun kemudian berkata, “Aku kira pertemuan kita sudah cukup. Namun marilah, kita mencoba untuk menyatukan diri dalam ungkapan pernafasan sesuai dengan landasan ilmu dari perguruan kita. Apakah kita masih tetap satu, atau ternyata kita sudah menempuh jalan kita masing-masing.“ Kedua murid Kiai Gringsing itu tidak menjawab. Namun mereka pun kemudian telah bangkit berdiri. Kiai Gringsing-lah yang kemudian melangkah lebih dahulu ke tengah-tengah sanggar itu. Kemudian duduk bersila. Sementara Agung Sedayu dan Swandaru telah melakukan hal yang sama di belakangnya. Perlahan-lahan tangan ketiga orang itu bergerak. Kedua tangan mereka telah terjulur lurus sejajar ke depan dengan telapak tangan menghadap ke dalam. Kemudian perlahan-lahan pula tangan itu bergerak. Telapak tangan mereka kemudian menelungkup menghadap ke bawah. Kemudian dengan cepat gerakan-gerakan mereka bertumpu pada siku mereka. Kedua tangan mereka telah melakukan unsur-unsur gerak sesuai dengan ajaran aliran ilmu mereka, sehingga akhirnya kedua tangan mereka terangkat di muka dada. Kedua telapak tangannya berada dalam satu susun yang berhadapan. Satu menghadap ke atas dan yang lain ke bawah. Kemudian perlahan-lahan sekali tangan itu bergerak. Tangan kiri melekat di lambung kanan, sedang tangan kanan terletak di pundak sebelah kiri. Ketiga orang itu terdiam beberapa saat. Nafas mereka berjalan teratur melalui lubang hidung mereka. Baru beberapa saat kemudian, tangan mereka telah terurai. Kemudian kedua telapak tangan mereka menelakup di depan dada. Menurun ke bawah, kemudian terlepas. Ketiga orang itu menarik nafas dalam-dalam. Rasa-rasanya tubuh mereka menjadi semakin segar. Darah di urat-urat nadi mereka rasa-rasanya berjalan semakin lancar. “Kita sudah selesai,“ berkata Kiai Gringsing, “kita akan kembali ke pendapa. Namun aku masih akan sedikit berpesan. Lihat berkali-kali cara mengatur pernafasan ini. Lihat pula serba sedikit tentang usaha pengobatan dengan getaran ilmu yang pernah kita pelajari, dan lihat pula ilmu pengobatan dengan berbagai macam cara, dalam hubungannya dengan pengetahuan simpul-simpul syaraf dan jalur-jalur urat nadi. Membekukan kerja simpul-simpul syaraf dan melepaskannya kembali, serta cara pengobatan dengan wajar. Maksudnya dengan obat-obatan yang dapat kalian pelajari pula pada kitab itu. Nah, dengan demikian kalian dapat mengetahui, bahwa kitab yang aku berikan kepadamu berisi berbagai macam hal yang sangat berarti bagi kalian. Kitab itu adalah satu rangkaian dari beberapa macam ilmu yang saling berhubungan dan bersusun dengan alas ilmu yang sama. Karena itu, maka kitab itu sangat berharga. Kitab itu tidak boleh jatuh ke tangan orang-orang yang tidak berhak, karena dengan demikian mereka akan dapat menyalah-gunakannya.“ Agung Sedayu dan Swandaru mengangguk-angguk. Mereka mengerti nilai dari kitab itu, karena sejak semula mereka telah mengerti isinya. Tidak sekedar sejenis ilmu sebagaimana tercantum dalam beberapa macam kitab yang lain. Tetapi kitab yang mereka terima dari Kiai Gringsing adalah ujud lengkap dari perguruan mereka seutuhnya. Sebagaimana dikatakan oleh Kiai Gringsing, tidak akan ada orang yang mampu menguasai semua jenis ilmu yang tercantum di dalam kitab itu. Tetapi murid-murid Kiai Gringsing diperintahkan untuk menyadap isi kitab itu sebanyak-banyaknya, dan yang terpenting sedalam-dalamnya. Bukan sekedar mendatar, sebagaimana telah dikatakannya. Demikianlah, maka sejenak kemudian Kiai Gringsing itu pun telah melangkah keluar. Sementara itu, Swandaru yang berjalan di sebelah Agung Sedayu berkata, “Besok kitab itu akan aku bawa. Kitab itu sudah terlalu lama ada di sini.“ Agung Sedayu memang sudah mengira bahwa setelah mereka mendengarkan pesan gurunya, maka Swandaru akan dengan segera memerlukan kitab itu. Tetapi Agung Sedayu tidak keberatan. Ada atau tidak ada kitab itu di rumahnya, maka ia akan dapat mempelajarinya, sebagaimana dipesankan oleh gurunya. Namun demikian, sebelum menyerahkan kepada Swandaru. Agung Sedayu masih berniat untuk membacanya sekali lagi, agar isi kitab itu terpahat semakin dalam di dinding jantungnya, serta untuk menyegarkan kembali ingatannya atas isi kitab itu. Terutama pada bab-bab yang memang menarik baginya atau memang sudah mulai dirambahnya. Dan seperti pesan gurunya, tingkat-tingkat terakhir dari ilmu cambuknya. Demikianlah, maka mereka pun kemudian telah berada di pendapa kembali. Ternyata mereka memerlukan waktu cukup lama. Malam sudah menjadi semakin malam. Tetapi Ki Jayaraga, Glagah Putih dan Sekar Mirah masih menunggu dan kemudian menemani mereka duduk di pendapa. Namun mereka sama sekali tidak mempertanyakan tentang pertemuan khusus antara guru dan kedua muridnya itu. Bahkan setelah minum beberapa teguk dan makan beberapa potong makanan, maka Agung Sedayu pun mempersilahkan gurunya untuk beristirahat. Demikian Kiai Gringsing masuk ke dalam bilik yang disediakan untuknya, maka Swandaru pun telah pergi ke gandok pula. Ia sengaja berada di antara para pengawalnya. Rasa-rasanya Swandaru berada di kademangannya, di antara para pengawal kademangan yang sedang meronda. Ketika Glagah Putih sempat pergi ke belakang, dilihatnya pembantu rumahnya tidak berada di dalam biliknya, di sebelah dapur. Tetapi anak itu tidur di serambi berkerudung kain panjang. Di sebelahnya terletak kepis yang sudah dipersiapkan untuk turun ke sungai, serta cangkul dan parang. Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Agaknya anak itu tertidur ketika ia menunggu tengah malam. Nampaknya anak itu hanya akan turun ke sungai sekali saja. Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Tetapi ia menjadi iba kepada anak itu. Anak yang menurut pendapatnya sangat tekun. Nampaknya ia masih belum jemu dengan pliridannya. Sementara itu kawan-kawannya yang lain sudah berganti orang. Mungkin adiknya, mungkin sepupunya, atau mungkin orang lain lagi yang meneruskan memelihara pliridan itu. Karena itu, maka Glagah Putih telah mengambil alat-alat itu dan pergi ke sungai tanpa membangunkannya. Ketika ia turun ke sungai dan memasang icir serta menutup pliridannya, ternyata seorang yang sebaya dengan umurnya masih juga turun ke sungai bersama dua orang adiknya. “Kau masih sempat juga menutup pliridan?“ bertanya anak muda itu, “Dimana anak yang sering melakukannya itu?“ “Tertidur. Nampaknya ia letih sekali,“ jawab Glagah Putih. Namun Glagah Putih pun bertanya pula, “Dan kalian juga memerlukan turun ke sungai?“ “Untuk melepaskan ketegangan,“ jawab anak muda itu, “selama ini urat-urat di kepalaku serasa menjadi kencang. Dengan turun ke sungai, berendam di air yang dingin sambil menutup pliridan, rasa-rasanya semuanya menjadi kendor kembali.“ Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Terasa bukan saja tubuh. Tetapi perasaan pun menjadi sejuk.“ Namun ketika anak-anak muda itu meninggalkannya, Glagah Putih terkejut. Anak yang tertidur itu agaknya telah terbangun. Karena ia kehilangan alat-alatnya, maka ia telah melihat ke sungai. “Kau akan menutup pliridanku sendirian tanpa aku?“ bertanya anak itu. “Kau tertidur,“ jawab Glagah Putih. “Aku yang membuka pliridan ini. Seenaknya kau menutupnya tanpa minta ijin kepadaku,“ geram anak itu. “Aku kasihan melihatmu tertidur. Nampaknya nyenyak sekali. Barangkali kau sangat letih, sehingga aku mencoba membantumu,“ jawab Glagah Putih. “Kau bohong. Besok kau tentu bercerita, bahwa kau-lah yang telah mendapat ikan dari pliridan ini,“ sahut anak itu. Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Namun iapun kemudian berkata sambil tersenyum, “Tidak. Besok aku akan bercerita kepada semua orang bahwa bukan aku yang mendapatkan ikan dari pliridan ini.“ Anak itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun telah melihat cara Glagah Putih memasang icir. Sambil bersungut ia berkata, “Kau pasang icir terlalu tinggi. Tentu banyak ikan yang tidak masuk ke dalamnya.“ Glagah Putih hanya tersenyum saja. Tetapi ia tidak menjawab sama sekali. Sementara itu, di dalam biliknya, Agung Sedayu menekuni kitab yang diberikan oleh gurunya. Besok kitab itu akan dibawa oleh Swandaru ke Sangkal Putung. “Sudah jauh lewat tengah malam Kakang,“ Sekar Mirah memperingatkan. Namun Agung Sedayu menjawab, “Aku ingin menyegarkan kembali ingatanku tentang isi kitab ini Mirah. Jika besok kitab ini dibawa ke Sangkal Putung. aku tidak akan merasa kehilangan sumber ilmu yang dikehendaki oleh Guru. Perintah Guru sudah tegas, bahwa baik ilmuku maupun ilmu Adi Swandaru harus ditingkatkan.“ Sekar Mirah yang telah berbaring di pembaringan itu pun telah bangkit dan mendekati Agung Sedayu. Ia telah mendengar serba sedikit dari Agung Sedayu apa yang telah dikatakan oleh Kiai Gringsing. Karena itu, maka Sekar Mirah itu pun berkata, “Kakang. Aku kira sebagian besar dari kata-kata Kiai Gringsing itu ditujukan kepada Kakang Swandaru. Sebagaimana kau ketahui bahwa Kakang Swandaru masih jauh ketinggalan dari Kakang Agung Sedayu. Agaknya Kiai Gringsing pun kurang terbuka. Kakang Agung Sedayu sejak semula sudah mempunyai sifat tertutup. Kebetulan Guru Kakang pun mempunyai sifat yang mirip dengan sifat Kakang, sehingga rasa-rasanya Kakang pun menjadi semakin tertutup pula. Aku yang mencoba untuk mengatakan apa yang sebenarnya, Kakang Swandaru tidak pernah mempercayaiku, karena aku adalah istrimu, yang dianggap terlalu mengagumi suaminya. Tetapi dengan demikian anggapan Kakang Swandaru terhadap Kakang Agung Sedayu tidak berubah.“ “Sebenarnya aku sendiri tidak berkeberatan,“ berkata Agung Sedayu. “Mungkin Kakang tidak berkeberatan. Tetapi bukankah hal itu telah menyesatkan Kakang Swandaru? Sehingga jika pada suatu saat ia berhadapan dengan satu kenyataan, maka dapat terjadi dua kemungkinan. Ia akan menutup kekurangannya, atau hatinya menjadi patah sama sekali.“ “Jika Adi Swandaru menjalani perintah Guru kali ini, maka persoalannya akan lain. Adi Swandaru akan benar-benar mampu meningkatkan ilmunya. Sebenarnya ia masih mempunyai peluang yang sangat luas. Ia masih muda dan bekalnya pun telah cukup. Ia menguasai ilmu dasar dengan sangat baik. Khususnya ilmu cambuk,“ jawab Agung Sedayu. “Dan sekarang Kakang yang semalam suntuk tidak tidur. Jika Kakang meningkat semakin pesat, bagaimana Kakang Swandaru akan dapat menyusul Kakang? Tetapi bukan maksudku menghambat Kakang Agung Sedayu. Aku akan lebih senang jika kemampuan Kakang Agung Sedayu meningkat sampai ke tataran tidak terbatas. Yang penting bukan memaksa Kakang Swandaru untuk mengejar ketinggalannya, yang sulit untuk dilakukan. Tetapi menyadarkan dimana sebenarnya ia berada, dibandingkan dengan Kakang Agung Sedayu.“ sahut Sekar Mirah. “Bukankah kau tahu sifat kakakmu itu?“ bertanya Agung Sedayu. Sekar Mirah mengangguk. Sementara Agung Sedayu berkata, “Aku mengakui bahwa aku kurang terbuka. Tetapi aku memang terlalu memperhitungkan sifat Swandaru. Agaknya demikian pula Guru, sehingga ia telah menempuh satu cara yang lain.“ “Dan sekarang Kakang-lah yang menekuni kitab itu. Kakang perlu beristirahat,“ berkata Sekar Mirah. Agung Sedayu tersenyum. Katanya kepada istrinya, “Tidurlah dahulu Mirah. Aku kurang sebentar.“ Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Meskipun suaminya mengerti maksud gurunya, tetapi ternyata bahwa iapun merasa telah dicambuk untuk meningkatkan ilmunya, khususnya ciri dari perguruannya, ilmu cambuk. Meskipun ilmu cambuknya sudah jauh lebih baik dari Swandaru yang terlalu membatasi diri pada kekuatan kewadagan. Sekar Mirah pun tahu benar sifat suaminya. Karena itu, maka iapun telah kembali ke pembaringan. Namun sudah barang tentu ia tidak dapat tertidur. Sekali-sekali ia masih saja memandangi Agung Sedayu yang duduk menekuni kitab Kiai Gringsing, yang esok pagi akan dibawa oleh Swandaru kembali ke Sangkal Putung. Namun Sekar Mirah pun berharap sebagaimana diharapkan oleh Agung Sedayu, bahwa Swandaru akan mengadakan waktu khusus untuk meningkatkan ilmunya, merambah ke tingkat berikutnya, sehingga ia tidak membatasi diri kepada unsur kewadagan semata-mata. Dalam pada itu, Agung Sedayu telah membaca kembali bagian-bagian terpenting dari isi kitab itu. Terutama bagian-bagian yang harus didalami sebagai bagian tertinggi dari ilmu cambuknya. Ciri dari kekuatan raksasa dari perguruannya, perguruan Orang Bercambuk. Tetapi sebagaimana telah diketahui oleh gurunya, ternyata Agung Sedayu telah mendapatkan beberapa bagian ilmu yang tidak diwarisinya dari perguruannya. Kiai Gringsing memang tidak berkeberatan sama sekali. Justru ilmu yang didapatnya semasa Agung Sedayu masih sering mengembara dan berkeliaran bersama Raden Sutawijaya atau Pangeran Benawa menyusuri tempat-tempat yang dapat dipergunakannya untuk menjalani laku serta latihan-latihan yang berat. Namun Agung Sedayu pun percaya, jika seseorang mampu menguasai beberapa jenis ilmu dari kitab Kiai Gringsing dengan landasan ilmu dasar perguruan Orang Bercambuk itu, maka ia akan menjadi orang yang pilih tanding. Tetapi sementara itu, Agung Sedayu masih juga bertanya-tanya di dalam hatinya. Kenapa gurunya belum pernah memperlihatkan penguasaannya ilmu cambuk pada tataran tertinggi. Gurunya pernah bertempur dengan orang-orang berilmu sangat tinggi sehingga terluka. Namun ilmu yang dipergunakannya belum sampai pada tataran puncak ilmu cambuk, sebagaimana dapat dilihat dalam kitab itu. Padahal menurut perhitungan Agung Sedayu, gurunya tentu sudah menguasai kemampuan puncak dari ilmu cambuk itu sampai ke intinya. Namun Agung Sedayu pun menyadari, bahwa pada tingkat itu, ilmu cambuk itu akan sangat dahsyat. Dalam pada itu Agung Sedayu yang tenggelam dalam isi kitab Kiai Gringsing benar-benar tidak mengingat waktu. Agung Sedayu seakan-akan tidak mendengar ayam jantan yang berkokok sekali dan dua kali, la baru menyadari bahwa fajar hampir menyingsing ketika ayam jantan berkokok untuk yang ketiga kalinya. Agung Sedayu menggeliat. Ketika ia berpaling kepada Sekar Mirah, maka Sekar Mirah ternyata telah tertidur. Perlahan-lahan Agung Sedayu beringsut sambil menutup kitabnya. Diletakkannya kitabnya di sebelah bantalnya. Kemudian iapun telah berbaring pula, untuk memberikan kesan kepada Sekar Mirah bahwa iapun telah tidur pula. Namun sebenarnyalah bahwa sekejap pun Agung Sedayu tidak dapat tidur sampai menjelang matahari terbit. Ketika Sekar Mirah terbangun, maka iapun dengan serta merta telah bangkit. Tetapi ia menarik nafas dalam-dalam ketika ternyata Agung Sedayu telah berbaring pula di sampingnya. Sekar Mirah sama sekali tidak mengganggu Agung Sedayu yang disangkanya baru saja tertidur. Ia sendiri kemudian bangkit dan keluar dari dalam biliknya, menuju ke dapur. Sekar Mirah tidak membangunkan ketika ia melihat anak yang membantu di rumahnya masih saja tidur di serambi. Agaknya ketika ia kembali dari sungai bersama Glagah Putih, ia kembali tidur di serambi, berkerudung kain panjang. Tetapi tidak berselisih lama, maka Agung Sedayu pun telah bangun pula. Demikian pula Glagah Putih seperti biasanya. Sesaat kemudian Ki Jayaraga pun telah bangun pula. Sejenak kemudian, maka telah terdengar suara sapu lidi di halaman, serta derit senggot timba di sumur. Tetapi bukan saja di rumah Agung Sedayu. Seisi padukuhan itu seakan-akan telah terbangun. Sesaat kemudian, Kiai Gringsing pun telah berada di pendapa pula. Swandaru yang sudah terbangun masih duduk di antara para pengawalnya, yang telah terbangun dan duduk-duduk di serambi gandok. Namun dalam pada itu, Agung Sedayu terkejut ketika Kiai Gringsing pagi-pagi memanggilnya. Dengan nada rendah ia berkata, “Tolong, kawani aku setelah kau mandi, ke rumah Ki Gede.“ “Baik Guru,“ jawab Agung Sedayu. “Mumpung masih sangat pagi. Aku ingin berjalan-jalan pula menghirup segarnya udara pagi di Tanah Perdikan ini,“ berkata Kiai Gringsing pula. “Bagaimana dengan Adi Swandaru?“ bertanya Agung Sedayu. “Kita bertanya saja kepadanya, apakah ia akan ikut atau tidak. Atau nanti saja, sekaligus mohon diri di saat kita kembali ke Jati Anom,“ jawab gurunya. Agung Sedayu mengangguk-angguk. Namun kemudian ia tidak bertanya langsung kepada Swandaru. Tetapi dipanggilnya Swandaru naik ke pendapa. “Apakah kau mau ikut?“ bertanya Kiai Gringsing. “Kemana Guru?“ bertanya Swandaru. “Aku akan pergi ke rumah Ki Gede. Ada sesuatu yang ingin aku katakan kepada Ki Gede dan Ki Waskita. Nanti aku datang lagi kemari dan bersiap-siap untuk pulang ke padepokan. Siang nanti kita akan singgah lagi ke rumah Ki Gede,“ jawab Kiai Gringsing. “Kenapa tidak nanti saja sama sekali Guru?“ bertanya Swandaru. Lalu, “Bukankah lebih baik nanti saja sama sekali, di saat kita berangkat, singgah dan minta diri?“ “Nanti kita terlalu tergesa-gesa,“ jawab Kiai Gringsing, “aku masih ingin berbicara sekali dengan Ki Waskita.“ “Guru masih kembali lagi kemari sebelum sekali lagi singgah di rumah Ki Gede?“ bertanya Swandaru. “Ya,“ jawab gurunya. “Kita hanya akan mondar mandir saja kesana-kemari. Bukankah sebaiknya sekali saja singgah dan langsung menuju ke Jati Anom?“ bertanya Swandaru. “Sudah aku katakan, ada sesuatu yang ingin aku bicarakan dengan Ki Waskita dan Ki Gede. Tidak penting sekali. Tetapi rasa-rasanya ada yang terhutang,“ jawab Kiai Gringsing. “Jika demikian, aku menunggu Guru di sini,“ jawab Swandaru. Kiai Gringsing mengangguk-angguk kecil. Sementara Swandaru berkata selanjutnya, “Aku akan bersiap-siap selama Guru berada di rumah Ki Gede.” Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya, “Sebenarnya selain pergi ke rumah Ki Gede untuk bertemu Ki Waskita dan Ki Gede, aku juga ingin berjalan-jalan untuk melihat matahari memanjat naik.“ Tetapi Swandaru merasa segan untuk pergi. Di rumah Ki Gede ia akan menjadi patung saja. Ia tentu tidak akan banyak dapat berbicara. Apalagi bersama orang-orang tua seperti gurunya, Ki Waskita dan Ki Gede. Karena itu, maka ia benar-benar tidak mengikutinya ketika gurunya kemudian meninggalkan halaman rumah itu, meskipun orang tua itu belum mandi. “Aku akan mandi di rumah Ki Gede, setelah berjalan-jalan,“ berkata Kiai Gringsing. Namun keseganan Swandaru itu sejalan dengan keinginan Kiai Gringsing. Karena Kiai Gringsing ingin berbicara sendiri dengan Agung Sedayu. Sebenarnya Sekar Mirah pun telah mencoba menahan dan minta agar Kiai Gringsing minum dan makan lebih dahulu. Namun Kiai Gringsing hanya sempat minum beberapa teguk minuman hangat saja. “Nanti saja aku makan,“ jawab Kiai Gringsing, “masih terlalu pagi.“ Demikianlah, maka Kiai Gringsing diikuti oleh Agung Sedayu telah meninggalkan rumah itu menuju ke rumah Ki Gede. Tetapi ternyata jarak yang pendek itu telah ditempuh untuk waktu yang lama, karena seperti yang dikatakan oleh Kiai Gringsing bahwa ia telah membawa Agung Sedayu untuk berjalan-jalan. Ketika mereka melewati sebuah lorong kecil yang berbelok ke kiri, maka keduanya telah mengikuti lorong itu dan keluar dari padukuhan induk. “Bawa aku ke tempat yang jarang dikunjungi orang,“ berkata Kiai Gringsing. Agung Sedayu terkejut. Tetapi kata-kata gurunya itu tegas. Bahkan katanya kemudian, “Aku perlu menunjukkan sesuatu kepadamu, tanpa orang lain.“ Agung Sedayu telah mengenali Tanah Perdikan itu sebagaimana ia mengenal halaman rumahnya sendiri. Karena itu, maka iapun segera mengetahui, kemana ia harus pergi. Beberapa saat kemudian, keduanya telah berada di lereng sebuah bukit kecil yang jarang didatangi orang. Sebuah gumuk kecil di pinggir sebuah hutan yang masih lebat. “Tempat ini memang jarang di kunjungi orang, Guru. Selain jalan yang sulit, di daerah ini masih terdapat binatang buas yang sering berkeliaran,“ berkata Agung Sedayu. Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Aku ingin menunjukkan sesuatu kepadamu. Mungkin aku memang bukan seorang guru yang baik, karena aku telah membawamu tanpa adik seperguruanmu. Tetapi selain seorang guru, maka aku pun seorang yang tidak dapat mengingkari kenyataan tentang muridku yang hanya dua orang itu.“ “Apakah maksud Guru?“ bertanya Agung Sedayu. “Kau adalah muridku yang tua. Aku berharap bahwa kau akan dapat menggantikan kedudukanku jika aku sudah tidak ada. Kecuali mengendalikan dirimu sendiri, maka kau pun wajib mengendalikan adik seperguruanmu, jika sekali-sekali ia menyimpang dari jalan kebenaran,“ berkata Kiai Gringsing. “Apakah Guru melihat gejala seperti itu?“ bertanya Agung Sedayu. Tetapi justru gurunya itu bertanya kepadanya, “Bagaimana menurut pendapatmu?“ Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi iapun kemudian menjawab, “Bagiku Adi Swandaru adalah orang yang baik. Ia telah berusaha menegakkan satu keyakinan hidup, terutama dalam tugas dan kewajibannya sebagai anak seorang Demang. Ia telah berbuat apa saja bagi kesejahteraan kademangannya.“ “Secara pribadi, apakah kau tidak melihat sesuatu yang dapat membahayakan kelurusan tingkah lakunya?“ bertanya Kiai Gringsing. Agung Sedayu termangu-mangu. Adik seperguruannya itu memang mempunyai sikap yang agak garang. Cepat mengambil keputusan, dan di atas semuanya itu, ia mempunyai harga diri yang terlalu tinggi. Ia menilai dirinya sendiri lebih dari orang lain, sehingga karena itu, maka ia telah salah membuat perbandingan ilmu dengan Agung Sedayu sendiri. Karena itu, dalam keadaan yang khusus maka Swandaru akan dapat mengambil sikap yang tergesa-gesa, dan karena itu kurang dapat dipertanggung-jawabkan. Agung Sedayu itu memang sedikit tergetar ketika gurunya berkata, “Dengarlah. Aku sudah minta kedua muridku untuk meningkatkan ilmunya. Itu memang perlu sekali. Kita pun kadang-kadang mempunyai harga diri, sehingga kepada orang lain kita harus menunjukkan bahwa perguruan kita termasuk perguruan yang harus diperhitungkan.“ Kiai Gringsing berhenti sejenak, lalu katanya pula, “Tetapi untuk itu kita tidak boleh lepas kendali. Kita harus tetap menempatkan diri kita sebagai seorang yang terikat oleh paugeran hidup di antara sesama dan bertanggung jawab kepada sumber hidup kita.“ Agung Sedayu mengangguk-angguk. Tetapi ia masih menunggu gurunya melanjutkan. “Agung Sedayu,“ berkata gurunya, “aku sudah menganjurkan kalian mempelajari sampai tingkat yang terakhir dari ilmu cambuk sebagai satu ciri dari perguruan kita. Kau tentu sudah tahu, bahwa selama ini kalian meninggalkan tingkat terakhir dari ilmu itu. Bahkan Swandaru masih harus meningkat dua tataran lagi. Namun seandainya kalian benar-benar menekuninya dan melakukan laku yang berat itu, maka kalian akan sampai pada satu tingkat yang sulit untuk diatasi. Aku masih yakin, bahwa seandainya kau memiliki kemampuan itu, kau masih akan selalu mengendalikan dirimu sehingga kau tidak akan mempergunakannya. Agaknya berbeda dengan Swandaru. Jika ia sampai juga pada puncak ilmu itu dengan menjalani laku yang tertulis di dalam kitab itu, maka aku tidak yakin, bahwa Swandaru akan dapat mengendalikan dirinya sebagaimana kau. Meskipun sebenarnya aku memperhitungkan bahwa Swandaru tidak akan sampai pada tingkat terakhir itu. Tetapi siapa tahu, bahwa tingkat itu akan dicapainya pula.“ Agung Sedayu termangu-mangu. Ia mulai dapat meraba arah pembicaraan Kiai Gringsing. Sebenarnyalah maka Kiai Gringsing itu berkata, “Karena itu Agung Sedayu, Swandaru tidak boleh menjadi orang tertinggi dalam ilmu cambuk ini. Dengan demikian maka kau mempunyai beban ganda. Mempelajari ilmu itu tanpa niat mempergunakannya, sekaligus mengawasi Swandaru, apalagi jika iapun mencapai tataran tertinggi itu. Namun aku yakin bahwa kau akan lebih matang dari padanya.“ Jantung Agung Sedayu terasa berdetak semakin cepat. Ia dapat mengerti pesan gurunya itu. Tetapi ia tidak mengira bahwa gurunya menjadi sangat berhati-hati terhadap adik seperguruannya. Namun dalam pada itu Kiai Gringsing berkata. “Aku sependapat dengan kau, bahwa Swandaru adalah anak muda yang baik. Ia mencintai kampung halamannya di atas segala-galanya. Tetapi ia juga sangat mencintai dirinya sendiri dalam hubungannya dengan orang lain. Memang bukan satu kesalahan, tetapi akibatnya dapat menjadi kurang baik. Jika dalam hubungan ini ia memiliki ilmu tertinggi dari cabang ilmu cambuk itu, maka tanpa orang lain yang melampaui kemampuannya, ia akan dapat berbahaya, tanpa maksud-maksud buruk.“ Agung Sedayu mengangguk-angguk kecil. Katanya, “Aku mengerti Guru.“ “Nah,“ berkata Kiai Gringsing, “kau memang harus mempunyai gambaran, seberapa jauh kemampuan tertinggi dari ilmu cambuk itu. Jika kau meningkat satu tataran lagi, maka kau akan sampai pada puncak kemampuan ini.“ Agung Sedayu menjadi tegang ketika ia melihat gurunya mengurai cambuknya. Dengan nada datar ia berkata, “Lihat, aku akan menunjukkan kepadamu, sampai tingkat yang manakah ilmu cambuk Swandaru sekarang ini.“ Dengan tegang Agung Sedayu memperhatikan Kiai Gringsing memutar cambuknya. Kemudian menghentakkan cambuk sendal pancing. Suaranya meledak keras sekali, sebagaimana pernah dilakukan oleh Swandaru. Jika hentakan ujung cambuk itu mengenai batu padas, maka batu padas itu tentu akan pecah. Namun kemudian Kiai Gringsing pun berkata, “Sekarang kau lihat, seberapa jauh kau mampu mencapai tingkat ilmu cambukmu itu.“ Sejenak kemudian. maka Kiai Gringsing itupun telah sekali lagi menghentakkan cambuknya pula. Suaranya hampir tidak terdengar. Namun getarannya terasa menghentak sampai ke jantung. Dalam tataran itu, ujung cambuk Kiai Gringsing itu telah dapat melumatkan batu padas menjadi debu. Namun kemudian Kiai Gringsing itu berkata, “Sekarang, lihat. Bagaimana jika ilmu itu meningkat satu tataran lagi dan bila sudah mencapai puncak kematangannya.“ Jantung Agung Sedayu menjadi benar-benar berdebar-debar. Ia melihat gurunya memutar cambuknya. Semakin lama semakin cepat sehingga suara desingnya telah menerpa isi dada. Rasa-rasanya desingnya saja telah mampu menahan lawan, jika hal itu dilakukan dalam satu pertempuran. Agung Sedayu yang pernah membaca untuk menangkap dan memahatkan isi kitab guruya pada bagian tetakhir itu, memang mengetahui bahwa bagian tetakhir itu memuat laku yang sangat berat, namun akan menghasilkan kekuatan yang sangat tinggi. Namun kini gurunya telah memperlihatkannya, bagaimana ilmu cambuk itu pada tataran akhir. Demikianlah, setelah membuat ancang-ancang sejenak, maka Kiai Gringsing pun telah melepaskan serangan dengan ilmu cambuknya pada tataran tertinggi dari puncak ilmu cambuk, yang dikenal sebagai ciri dari perguruan Orang Bercambuk itu. Agung Sedayu adalah seorang yang berilmu sangat tinggi. Namun ia seperti orang bingung melihat gurunya melepaskan ilmu cambuk pada tataran tertinggi itu. Dari hentakan cambuknya yang hampir tidak berbunyi sama sekali telah meluncur seleret cahaya kebiru-biruan. Cahaya yang meluncur dengan kecepatan tatit kecil di pinggir hutan itu. Memang tidak terdengar ledakan dahsyat. Tetapi ledakan itu telah terjadi. Gumuk itu benar-benar bagaikan telah meledak, sehingga batu-batu padas pun telah berguguran, meskipun tidak melontarkan bunyi yang terlalu keras. Untuk beberapa saat Agung Sedayu berdiri termangu-mangu. Ia mempunyai kemampuan ilmu untuk menyerang dari jarak jauh dengan mempergunakan sorot matanya. Tetapi dibandingkan dengan serangan ilmu cambuk itu, maka kekuatannya masih berada di bawah. Agaknya seseorang sulit untuk menghindari serangan yang demikian menggetarkan jantung itu, betapapun seseorang memiliki ilmu tinggi. Sedangkan jika seseorang terkena serangan itu, meskipun orang itu dibalut dengan ilmu kebal rangkap, namun ia tidak akan mampu bertahan untuk tetap hidup. Bahkan agaknya serangan itu dapat ditujukan bukan hanya kepada seseorang, tetapi kepada sekelompok orang. Dalam pada itu, Agung Sedayu pun tiba-tiba menyadari, kenapa gurunya telah memerintahkannya untuk menguasai ilmu sampai ke tataran tertinggi meskipun ia tidak berniat mempergunakannya, karena kitab itu juga akan berada di tangan Swandaru. Yang meskipun butuh waktu yang lama, tetapi jika dikehendaki akan dapat mencapai tingkat itu pula. Sementara itu Agung Sedayu pun seakan-akan telah menjadi saksi, bahwa sepanjang ia menjadi murid Orang Bercambuk itu, ia belum pernah melihat gurunya mempergunakan puncak ilmu cambuknya itu, meskipun ia pernah menyaksikan dalam satu pertempuran gurunya telah terluka. “Ilmu itu terlalu dahsyat,“ berkata Agung Sedayu di dalam hatinya. “Nah, Agung Sedayu,“ berkata Kiai Gringsing, “kau sudah melihat kedahsyatan ilmu itu. Kuasailah, tetapi dengan tekad untuk tidak mempergunakannya sama sekali.” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Segalanya sudah jelas baginya, apa yang harus dilakukan. Tetapi Agung Sedayu masih bertanya kepada gurunya, “Guru. Kenapa Guru tidak memerintahkan saja agar Adi Swandaru tidak perlu mempelajari ilmu cambuk itu sampai tataran yang terakhir? Ia cukup meningkatkan ilmu cambuknya satu tataran saja lagi, sehingga ilmunya akan berada pada tataran yang sama dengan ilmuku. Namun jika Guru sependapat, ilmuku mudah-mudahan lebih matang dari ilmunya.” Tetapi Kiai Gringsing menggeleng. Katanya, “Jika aku mencoba melarangnya, maka pada suatu saat. dimana aku tidak lagi mampu melarangnya, maka ia justru akan berusaha dengan diam-diam mempelajarinya. Aku pun tidak mungkin menutup bagian tertinggi dari ilmu itu, atau menghapusnya dari kitab itu, karena dengan demikian aku sudah menyusut ilmu itu. Karena itu, satu-satunya jalan bagiku adalah memaksamu untuk selalu berada di tingkat tertinggi dari segala macam ilmu yang dapat dipelajari dari kitab itu. Tetapi aku pun tidak akan menutup kenyataan bahwa kau sebagai manusia biasa tentu dibatasi oleh keterbatasanmu. Sebenarnyalah, aku lebih percaya kepadamu daripada Swandaru. Mungkin sekali lagi aku harus mengaku bahwa aku bukan seorang guru yang baik, karena ternyata aku tidak adil berbuat terhadap murid-muridku. Tetapi aku mempunyai landasan yang aku anggap dapat dipertanggung-jawabkan.“ Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Aku sangat berterima kasih kepada Guru, bahwa Guru masih mempercayaiku sebagai murid, betapapun mungkin aku kurang memenuhi keinginan Guru.“ “Sebenarnya bagiku kau sudah lebih dari cukup. Apalagi kau mampu menyerap ilmu dari luar dinding perguruan kita, serta membuatnya luluh menyatu dengan ilmu kita. Itu satu keuntungan yang dapat memperkaya perguruan kita, karena jika kau sempat menurunkan ilmu kepada orang lain, maka ilmu itu tingkatnya tentu lebih tinggi dari apa yang dapat aku berikan kepadamu. Atas dasar itu pula maka aku percaya kepadamu, bahwa kau akan dapat menjaga nama perguruan kita dengan sebaik-baiknya.“ Agung Sedayu menundukkan wajahnya. Tetapi ia tidak menjawab lagi. Karena itu, maka Kiai Gringsing pun kemudian berkata, “Marilah. Kita pergi ke rumah Ki Gede.“ “Mari Guru,“ jawab Agung Sedayu, yang tiba-tiba saja merasa bebannya menjadi semakin berat. Sambil berjalan ke padukuhan induk Kiai Gringsing masih sempat bertanya, “Bukankah kitab itu ada padamu sekarang?“ “Ya Guru,“ jawab Agung Sedayu, “tetapi Adi Swandaru telah mengatakan bahwa kitab itu akan dibawanya ke Sangkal Putung nanti, jika ia kembali bersama Guru.“ Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Dengan nada dalam ia bertanya, “Bukankah kau tidak memerlukannya?“ “Kenapa?“ bertanya Agung Sedayu. “Maksudku, bukankah kau telah mampu memahatkan pengertian, bahkan kata demi kata yang tertulis pada kitab itu, pada ingatanmu?“ bertanya gurunya. “Ya Guru,“ Jawab Agung Sedayu. “Bailah. Jika demikian, biarlah kitab itu ada pada Swandaru selagi ia berniat untuk meningkatkan ilmunya yang ketinggalan,“ berkata Kiai Gringsing. “Menurut perhitunganku, maka ia akan terhenti pada tataran berikutnya. Tetapi sekali lagi aku pesan kepadamu, kau harus mencapai puncak kemampuan ilmu cambuk itu.“ Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi sambil melangkah, kepalanya justru telah menunduk. Beberapa saat kemudian, maka mereka telah berada di rumah Ki Gede. Dengan singkat, Kiai Gringsing menyatakan bahwa siang nanti setelah matahari turun, ia akan kembali ke Jati Anom. “Aku mohon maaf Ki Waskita, bahwa aku tidak dapat tinggal di sini lebih lama lagi. Sebenarnya kita masih dapat bersama-sama mengawani Ki Gede beberapa saat lagi. Tetapi Swandaru tidak dapat tinggal terlalu lama di sini,“ berkata Kiai Gringsing. Ki Waskita tersenyum. Katanya, “Rumahku tidak sejauh rumah Kiai Gringsing. Setiap saat aku dapat datang dan pergi, hilir mudik dari rumahku ke rumah ini. Tetapi aku pun telah merencanakan untuk mohon diri besok.“ “Begitu tergesa-gesa?“ Kiai Gringsing-lah yang kemudian bertanya. “Seperti yang aku katakan. Aku dapat hilir mudik kapan saja aku ingini,“ jawab Ki Waskita. Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Sambil tersenyum ia berkata, “Bukankah aku juga dapat berbuat seperti itu? Asal saja Ki Gede memberikan bekal untuk upah menyeberangi Kali Praga.“ Ki Gede pun tertawa. Sementara itu, mereka masih berbincang beberapa saat, sementara Sekar Mirah telah berada di rumah itu pula. Sekar Mirah pula-lah yang kemudian telah menyediakan hidangan bagi Kiai Gringsing serta tamu-tamu yang lain. Sekar Mirah pula-lah yang telah menyiapkan dan kemudian mengirimkan makan bagi para pengawal Swandaru yang ada di rumahnya. Dalam pada itu, setelah makan dan minum, serta matahari menjadi semakin tinggi, Kiai Gringsing telah minta diri untuk pergi ke rumah Agung Sedayu. “Nanti pada saatnya, kami, maksudku aku dan Swandaru, akan singgah lagi kemari untuk minta diri,“ berkata Kiai Gringsing. “Kenapa Kiai tidak menunggu di sini saja?“ bertanya Ki Gede. Kiai Gringsing termangu-mangu sejenak. Tetapi kemudian iapun menjawab, “Biarlah aku meninggalkan Tanah Perdikan ini dari rumah muridku.“ Ki Gede tersenyum. Katanya, “Jika demikian silahkan. Agaknya memang ada alasannya, kenapa Kiai Gringsing harus mondar mandir.“ Kiai Gringsing pun tertawa. Ia memang merasakan sikapnya sendiri yang agak gelisah. Tetapi iapun menyadari, bahwa hal itu disebabkan oleh tanggung jawabnya terhadap kedua muridnya. Tanggung jawab atas sikap lahir dan batin mereka. Demikianlah, maka sejenak kemudian Kiai Gringsing pun telah meninggalkan rumah Ki Gede untuk kembali ke rumah Agung Sedayu. Di rumah Agung Sedayu, Kiai Gringsing berbenah sebentar. Demikian pula Swandaru dan para pengawalnya. Dalam waktu yang singkat itu, Kiai Gringsing masih sempat memberikan beberapa pesan kepada muridnya selagi mereka ada bersama-sama. Seperti yang direncanakan oleh Swandaru, maka kitab Gurunya itu pun telah disimpan di dalam sebuah kantong kain dan dibawa ke Sangkal Putung. Dengan sangat-sangat gurunya berpesan, agar kitab perguruan dari Orang Bercambuk itu disimpan baik-baik. Kitab itu tidak boleh jatuh ke tangan siapapun juga selain para murid dari perguruan Orang Bercambuk. “Aku akan menjaganya dengan baik. Guru,“ janji Swandaru. “Kalian juga harus merahasiakan bahwa kalian telah menyimpan kitab tentang ilmu yang termasuk dalam tataran yang tinggi. Karena jika ada orang yang berniat buruk, tentu akan berusaha untuk mengambilnya. Meskipun di dunia ini ada beberapa kitab yang tidak kalah pentingnya dari kitab perguruan Orang Bercambuk, termasuk kitab yang disimpan oleh Ki Waskita, yang memuat antara lain ilmu yang dapat menumbuhkan bayangan di dalam angan-angan orang lain sehingga seakan-akan telah hadir satu ujud yang disebut ujud semu, tetapi ada kekhususan yang terdapat di dalam kitab kita itu. Yaitu ilmu pengobatan yang jarang sekali ada duanya. Penguasaan terhadap berbagai macam racun dan bisa beserta penangkalnya, serta jenis-jenis tumbuh-tumbuhan yang dapat menjadi obat dari berbagai macam penyakit dan luka,“ berkata Kiai Gringsing. Kedua murid Kiai Gringsing itu mengangguk-angguk. Mereka menyadari, betapa pentingnya kitab itu, sehingga karena itu, maka apapun yang terjadi kitab itu tidak boleh terlepas dari tangan mereka. “Guru,“ berkata Swandaru, “untuk beberapa lama kitab ini akan berada di Sangkal Putung. Aku berjanji bahwa kitab itu akan terlindung dengan baik di Sangkal Putung. Mudah-mudahan Kakang Agung Sedayupun akan dapat berbuat demikian pula.“ Kiai Gringsing pun berpaling kepada Agung Sedayu dan bertanya, “Bukankah kau juga berjanji?“ Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun iapun kemudian menjawab, “Aku berjanji, Guru.“ “Nah,“ berkata Kiai Gringsing, “aku merasa tenang. Agaknya segala sesuatunya telah siap. Matahari telah hampir mencapai puncak. Kita akan segera berangkat. Jika kita singgah barang sebentar di rumah Ki Gede, maka pada saat matahari turun, kita akan berjalan ke arah yang berlawanan dengan arah sinar matahari.“ Demikianlah, maka sejenak kemudian Kiai Gringsing pun telah meninggalkan rumah itu. Agung Sedayu, Ki Jayaraga dan Glagah Putih mengantar mereka sampai ke rumah Ki Gede, sementara Sekar Mirah telah berada di rumah Ki Gede pula. Ternyata Kiai Gringsing tidak dapat menolak ketika Sekar Mirah kemudian menghidangkan makan dan minum untuk mereka yang akan berangkat menempuh perjalanan ke Jati Anom. Ketika Swandaru sempat berbincang dengan Ki Gede, maka Ki Gede mendengarkan dengan gembira tentang Pandan Wangi yang sudah hampir melahirkan. Dengan demikian Ki Gede akan segera mempunyai cucu. “Bukankah Pandan Wangi mengerti, bahwa ia harus menghentikan segala kegiatannya dalam olah kanuragan?“ bertanya Ki Gede. “Ya Ki Gede,“ jawab Swandaru. ”Pandan Wangi berusaha untuk menjaga dirinya sendiri dan anaknya yang bakal lahir itu.“ “Syukurlah. Apakah anak itu laki-laki atau perempuan, mudah-mudahan ia akan menjadi anak yang baik,“ berkata Ki Gede. Demikianlah, mereka sempat berbincang-bincang sejenak. Setelah makan dan minum, serta matahari mulai nampak condong, maka Kiai Gringsing pun telah minta diri untuk kembali ke Jati Anom. “Apakah Kiai tidak akan kemalaman di perjalanan?“ bertanya Ki Gede. “Justru perjalanan kami akan menjadi sejuk,“ sahut Kiai Gringsing. Namun kemudian katanya, “Mudah-mudahan kami sampai di tujuan sebelum malam.“ Demikianlah, sejenak kemudian Kiai Gringsing telah benar-benar meninggalkan rumah Ki Gede. Beberapa orang telah mengantarnya sampai ke regol. Demikian pula Sekar Mirah yang berdesis, “Hati-hati Kakang. Sungkemku kepada Ayah dan seluruh keluarga di Sangkal Putung. Mudah-mudahan Mbokayu Pandan Wangi akan melahirkan dengan selamat. Jika saja kami tahu sebelumnya, kami akan berusaha untuk dapat mengunjunginya saat ia melahirkan.“ “Jaraknya terlalu jauh Mirah,“ jawab Swandaru, “tetapi aku akan berusaha.“ Sejenak kemudian, maka Kiai Gringsing, Swandaru dan beberapa orang pengawalnya telah meninggalkan padukuhan induk. Mereka menyusuri jalan menuju ke Kali Praga. Swandaru telah minta kepada Kiai Gringsing, agar mereka menempuh jalan yang jauh dari Mataram. “Mataram sedang dalam kesiagaan penuh, Guru. Kita lebih baik menjauhi kemungkinan bertemu dengan pasukan peronda yang barangkali belum kita kenal, sehingga dapat terjadi salah paham,“ desis Swandaru. Kiai Gringsing dapat mengerti alasan Swandaru. Meskipun sebenarnya ia ingin bertemu dan berbicara dengan Panembahan Senapati setelah terjadi usaha untuk membunuh Ki Patih Mandaraka. Tetapi niat itu pun telah ditundanya. Karena itu, maka mereka pun telah memilih jalan utara. Mereka menyeberang di penyeberangan sebelah utara pula. Penyeberangan yang tidak sebesar penyeberangan yang berada di tengah. Bahkan masih lebih sepi dibandingkan dengan penyeberangan di sebelah selatan. Meskipun demikian, ketika mereka sampai ke tepi Kali Praga, mereka masih harus menunggu, karena rakit penyeberangan yang sedang membawa orang baru saja berangkat, sementara rakit yang lain, yang menuju ke sisi barat, masih berada di tengah. Beberapa saat mereka menunggu. Namun kemudian rakit itu pun telah menepi. Tetapi rakit yang tidak begitu besar itu tidak dapat membawa Kiai Gringsing, Swandaru dan para pengawalnya sekaligus, sehingga karena itu, maka mereka memerlukan dua buah rakit untuk membawa mereka beserta kuda mereka. Namun bagaimanapun juga, sekelompok orang-orang berkuda itu memang menarik perhatian. Beberapa orang bahkan telah menduga-duga. Dua orang yang mengaku pedagang dengan pedang di lambung telah mendekati Kiai Gringsing yang sedang menunggu rakit yang sebuah lagi, sambil bertanya, “Ki Sanak? Darimana Ki Sanak datang atau kemana Ki Sanak akan pergi, dengan pengawalan yang kuat itu? Apakah Ki Sanak Saudagar yang membawa dagangan yang mahal, atau sedang dalam perjalanan untuk menyampaikan peningset pengantin laki-laki kepada pengantin perempuan yang bernilai sangat tinggi, atau karena perang yang terjadi di Tanah Perdikan baru-baru ini?“ Kiai Gringsing tersenyum. Katanya, “Aku memang penakut. Pengawal itu memberikan ketenangan di hatiku dalam perjalananku, meskipun aku tidak membawa apa-apa. Perang di Tanah Perdikan itu merupakan desakan utama agar aku melindungi diriku dengan para pengawal itu.“ Orang yang mengaku pedagang itu mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak bertanya lagi. Demikianlah, maka Kiai Gringsing telah melanjutkan perjalanannya langsung ke Jati Anom. Orang tua itu tidak singgah di Sangkal Putung. Swandaru-lah yang mengantarnya ke Jati Anom, baru kemudian kembali ke Sangkal Putung. Perjalanan mereka memang merupakan perjalanan panjang. Apalagi mereka tidak melalui jalan yang biasa dilalui iring-iringan para pedagang dan orang-orang yang menempuh perjalanan jauh. Mereka telah menempuh jalan yang lebih sepi. Tetapi jalan itu lebih banyak melalui lereng Gunung Merapi, sehingga kadang-kadang mereka harus sedikit naik turun. Ternyata perjalanan mereka tidak secepat yang mereka perhitungkan. Bagaimanapun juga Kiai Gringsing yang tua itu harus mengingat kekuatan dan ketahanan kuda-kuda mereka. Mereka memasuki Jati Anom setelah hari menjadi gelap. Sekelompok prajurit peronda yang melihat iring-iringan lewat di bulak panjang telah bergegas menyusulnya. Tetapi Kiai Gringsing dan Swandaru mengerti, bahwa orang-orang berkuda itu adalah prajurit Pajang di Jati Anom yang sebagian besar telah mengenal mereka. Karena itu, maka kuda-kuda mereka berderap dengan tenang tanpa merubah kecepatan. Sebenarnyalah ketika para prajurit itu menyusul iring-iringan dari Tanah Perdikan Menoreh itu, pimpinannya yang telah mengenal Kiai Gringsing segera menemuinya dan bertanya, “Darimana Kiai?“ “Kami dari Tanah Perdikan,“ jawab Kiai Gringsing. “O. Demikian Kiai mendengar berita tentang keributan yang terjadi di Tanah Perdikan, Kiai langsung menengok murid Kiai,“ desis pemimpin prajurit itu. “Tidak. Ketika terjadi keributan justru aku sedang berada di sana. Swandaru-lah yang kemudian menyusul untuk melihat keadaanku dan keadaan kakak seperguruannya. Karena itu, ia membawa pengawal,“ jawab Kiai Gringsing. “O,“ pemimpin prajurit itu mengangguk-angguk, “lalu bagaimana keadaan Tanah Perdikan sekarang?“ “Semuanya sudah dapat diatasi. Prajurit Mataram datang tepat pada waktunya,“ jawab Kiai Gringsing. “Kami sudah mendengar laporannya di sini. Syukurlan bahwa semuanya selamat,“ berkata pemimpin prajurit itu. Namun kemudian pemimpin prajurit itu berkata, “Nah, selamat jalan Kiai. Jaraknya tinggal sejengkal lagi. Kami akan melanjutkan tugas kami.“ Kemudian sambil berpaling kepada Swandaru ia berkata, “Apakah kau akan singgah menemui Ki Untara?“ Swandaru menggeleng sambil menjawab, “Tidak sekarang. Besok lain kali aku akan menemuninya.“ Demikianlah, maka iring-iringan prajurit yang sedang meronda itu telah memisahkan diri. Kemudian melanjutkan tugas mereka mengelilingi daerah yang bukan saja termasuk Kademangan Jati Anom, tetapi jangkauan prajurit-prajurit itu jauh lebih luas lagi. Sebenarnyalah jarak yang harus ditempuh oleh Kiai Gringsing tinggal beberapa bulak lagi. Mereka telah melampaui Tanah Cengkar yang sering disebut-sebut ditunggui oleh seekor harimau putih. Kemudian menuju ke sebuah padepokan kecil. Di padukuhan terakhir, mereka lewat di sebuah barak kecil di sudut padukuhan. Di barak itu Untara telah meletakkan sekelompok prajuritnya yang bertugas mengawasi keadaan, dan dalam keadaan memaksa dapat dengan cepat mendekati padepokan kecil yang dititipkan oleh adiknya kepadanya. Meskipun di padepokan itu ada Kiai Gringsing, namun jika Kiai Gringsing itu sedang pergi, maka padepokan itu memang memerlukan sandaran kekuatan. Apalagi jika sekelompok orang datang dan berniat buruk di padepokan kecil itu, sementara para pemimpinnya tidak ada. Ketika Kiai Gringsing lewat di muka barak itu, maka ia telah menghentikan kudanya. Berbincang sejenak dengan prajurit yang bertugas jaga di regol. Kemudian melanjutkan perjalanan. bersambung

api di bukit menoreh 415